Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aparat seharusnya tidak menganggap remeh kasus karnaval siswa taman kanak-kanak yang bercadar dan membawa senapan mainan. Bagaimanapun, karnaval memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI di Probolinggo, Jawa Timur, itu berkonotasi dengan gerakan kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak seharusnya dilindungi dari hal-hal yang berpotensi memicu kekerasan. Alasan pengelola sekolah bahwa hal tersebut merupakan hiburan semata sungguh tak bisa diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karnaval yang menghebohkan ini terjadi pada 18 Agustus lalu. Siswa Taman Kanak-kanak Kartika V Probolinggo menggelar karnaval dengan aksesori yang tak biasa: memakai cadar hitam sambil menenteng senjata api tiruan. Karnaval ini pun memicu kehebohan setelah videonya menjadi viral di media sosial.
Memperingati HUT kemerdekaan memang lazim mengenakan atribut yang unik, baik baju adat maupun seragam profesi tertentu, seperti dokter, tentara, dan polisi. Tapi memakai atribut cadar hitam dan membawa senjata api tiruan jelas bukan hal biasa. Kita tahu bahwa "cadar" dan "senjata" mengingatkan pada atribut kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang terornya menakutkan dunia.
Saat diperiksa polisi, pengelola TK Kartika berdalih bahwa atribut itu dipilih karena pertimbangan sederhana saja. Sekolah tidak ingin membebani orang tua dengan biaya tambahan untuk menyewa kostum. Semua atribut cadar itu, termasuk senjata api tiruan, bahannya sudah tersedia di sekolah.
Alasan itu tak bisa diterima begitu saja. Pihak sekolah boleh saja mengklaim tak mengeluarkan banyak biaya untuk karnaval itu. Tapi harga yang dibayar dengan membuat anak TK memakai kostum seperti itu jelas "tidak murah". Senjata dan cadar hitam sudah mengarah pada gerakan terorisme, salah satu simbol kekerasan yang seharusnya dijauhkan dari anak-anak. Jika memang ingin mengenalkan nilai kepahlawanan, semestinya pihak sekolah menganjurkan memakai aksesori para pejuang, seperti baju biasa, baju petani, dan bambu runcing.
Kasus di Probolinggo harus menjadi salah catatan bagi Dinas Pendidikan ataupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apa yang terjadi di TK Kartika ini bisa jadi juga berlangsung di banyak sekolah lain, hanya mungkin tak diketahui publik lantaran tidak viral. Pendidikan mesti steril dari hal-hal kekerasan seperti itu.
Langkah polisi, yang berencana mencari penyebar videonya, juga tak tepat. Daripada mencari pengunggah video yang memang ada faktanya itu, lebih baik berfokus saja pada mengklarifikasi kebenaran sesungguhnya soal ini: benarkah pemakaian atribut itu semata untuk meminimalkan biaya? Atau karena kekurangpekaan pengelola sekolah?
Aktor dan produser film Amerika, Edward James Olmos, pernah mengatakan, "Pendidikan itu vaksin bagi kekerasan." Apa yang dilakukan pengelola taman kanak-kanak di Probolinggo itu justru mengajarkan sebaliknya.