Merenungi Bumi* EMIL SALIM KETIKA seorang senator Amerika Serikat menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah manusia, maka ia mengambil prakarsa, bersama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, untuk mencurahkan satu hari bagi ikhtiar penyelamatan bumi dari rupa-rupa kerusakan. Hari yang dipilih adalah tanggal 22 April, dijadikan Hari Bumi. Bumi adalah bagian dari lingkungan hidup. Dengan demikian, antara Hari Bumi dan Hari Lingkungan tak ada perbedaan yang prinsipiil. Hanya sejarah kelahirannya berbeda. Hari Bumi diprakarsai oleh masyarakat dan diperingati terutama oleh lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat. Sedangkan Kon- perensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup, yang berkumpul 5 Juni 1972 di Stockholm, menetapkan tanggal konperensi ini sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Ini bersifat resmi dan diperingati oleh pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia. Apa pun latar belakang Hari Bumi dan Hari Lingkungan ini, kedua-duanya sama penting. Maksud utama keduanya adalah menggugah kepedulian manusia dan masyarakat pada lingkungan yang cenderung semakin rusak. Kerusakan bumi tercermin pada tingkat erosi yang naik, praktis di semua negara. Sungai-sungai semakin dangkal dan menimbulkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Air tanah semakin surut. Air laut menerobos pantai dan menerjang air tanah. Banyak pakar berpendapat bahwa air tawar bakal menjadi bahan langka di akhir abad ke-20 ini. Kerusakan bumi juga ditandai oleh berubahnya tanah menjadi gurun pasir. Tanah yang semula ditumbuhi rumput menderita tekanan hewan yang melahap rumput. Tanah tak lagi diikat oleh akar rumput sehingga bertebaran menjadi padang pasir. Tanah juga dieksploitasi secara berkelebihan oleh manusia, sehingga menyedot habis lapisan atas tanah yang subur dan meninggalkan kapur, pasir, dan tanah liat. Apa pun tak mau tumbuh di atas hamparan tanah kritis ini. Isi tanah pun digali untuk mengeruk hasil tambang mineral. Jika bahan tambang sudah habis dikuras, tanah ini ditinggalkan begitu saja, tak bisa dimanfaatkan. Sehingga berserakanlah lubang-lubang tanah bekas penambangan sebagai bopengan di muka bumi ini. Tanah juga menjadi tempat penampung sampah buangan bikinan manusia yang tak berguna. Sampah padat, sampah cairan, dan tinja sama-sama masuk ke dalam tanah, sungai, atau lautan. Dalam proses pembangunan yang dilaksanakan manusia selama ini, orang cenderung mengambil manfaat bumi dan mengembalikan limbah racun ke dalam bumi. Bisakah cara-cara ini berlanjut? Ketika jumlah manusia masih terbatas, dampak pengaruh perbuatan manusia kurang kentara. Tetapi bila manusia melewati jumlah lima milyar jiwa dan menuju delapan milyar pada pertengahan abad ke-21 nanti, tekanan penduduk pada bumi semakin terasa. Tambahan lagi, jumlah manusia yang membesar ini senantiasa ingin meningkatkan jumlah konsumsinya dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih. Jumlah sumber alam yang sekarang dipakai oleh satu orang di negara industri adalah 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan sumber alam yang dipakai satu orang di negara berkembang. Tingkat konsumsi sumber alam di negara maju sangat boros. Dengan pola konsumsi seperti negara maju, jumlah sumber alam seluruh bumi yang tersedia dapat menopang hanya sebanyak 250 juta orang secara berkelanjutan tanpa menguras alam. Tapi jumlah penduduk negara maju lebih dari satu milyar dan memiliki pola konsumsi sumber alam yang boros. Segera pula akan menyusul penduduk negara berkembang yang juga ingin meningkatkan jumlah konsumsinya, meniru Jepang, Eropa Barat, dan Amerika. Sehingga, lagi-lagi, sumber alam akan terkuras. Generasi masa kini mungkin bisa menikmati tingkat konsumsi tinggi. Tapi ini akan merugikan generasi masa depan. Dalam keadaan seperti ini, apakah yang dapat diperbuat? Jalan pemecahan utama adalah merombak isi pembangunan. Pola pembangunan tidak boleh diarahkan pada eksploitasi sumber alam secara habis-habisan, tetapi pada pengelolaan sumber alam secara berkelanjutan. Pola pembangunan perlu mengindahkan ambang batas. Lewat ambang itu, sistem tatanan lingkungan akan hancur berantakan. Sumber alam perlu dikelola dengan mengindahkan daya dukung lingkungan. Sehingga pohon ditebang di bawah ambang batas laju pembaruannya. Ikan ditangkap di bawah ambang batas pembiakannya. Sumber alam diperlakukan bagaikan modal pokok yang tetap utuh terpelihara dan kita memanfaatkan bunga modal untuk dikonsumsi. Teknik analisa mengenai dampak lingkungan, teknik menghasilkan secara berkelanjutan, dan teknik pembangunan berwawasan lingkungan lainnya sudah dan dapat dikembangkan untuk menghentikan pola pembangunan yang merusak lingkungan. Supaya teknik pembangunan berwawasan lingkungan dapat terlaksana, diperlukan kesadaran dan kemauan manusia untuk mengubah cara-cara pembangunan konvensional yang dilakukan selama ini. Yang dibutuhkan adalah orientasi pandangan untuk tidak hanya mementingkan kemajuan pembangunan sektoral, tetapi juga memperhitungkan dampak pembangunan kepada lintas sektor. Yang diper- lukan adalah jangkauan penglihatan untuk tidak hanya mengejar sebesar-besar kemakmuran rakyat generasi masa kini, tetapi juga kemakmuran generasi masa datang. Yang diperlukan bukan lagi cara pembangunan yang menomor satukan kepentingan manusia semata-mata dan secara egosentris mengorbankan makhluk lain, tetapi yang diperlukan adalah kesadaran tanggung jawab manusia untuk memelihara makhluk dan segala isi alam selaku khalifah di muka bumi. Yang dibutuhkan adalah perubahan wawasan, perluasan pandangan, dan pendalaman tanggung jawab manusia untuk hidup di muka bumi ini. Dan untuk inilah kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan keadaan bumi kita pada Hari Bumi ini, untuk kemudian melangkah maju di atas jalan lurus pola pembangunan berkelanjutan ke arah kesejahteraan generasi demi generasi di atas kelestarian bumi yang satu-satunya ini. * Tulisan ini disebarluaskan oleh Dana Mitra Lingkungan dan berbagai penerbitan terkemuka Indonesia dalam rangka Hari Bumi 1991.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini