Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Aliran Korupsi

Sudah pasti korupsi sebanyak ini berkat kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan. Malah bawahan itu yang memancing.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGIKUTI berita persidangan yang mengadili mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) bisa membuat leher kita pegal karena capek untuk menggeleng-geleng. Uang hasil korupsi mengalir ke seluruh anggota keluarga. Dari istri, anak, sampai ke cucu. Begitu pula peruntukannya. Membeli parfum untuk istri, cicilan mobil untuk anak, sampai membeli durian. Selain capek menggeleng-geleng kita bisa marah, tapi kepada siapa marah itu kita tujukan? Ibarat kita beradu layang-layang, urusan korupsi ini sudah seperti benang kusut, tak bisa diurai dari mana menemukan awalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari aib ini? Yang pertama tentu nasihat klasik yang sudah basi di era kini, yakni jabatan itu adalah amanah. Untuk sebesar-besarnya kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa, lebih-lebih jika itu berkaitan dengan jabatan kenegaraan. Amanah yang harus dijaga oleh seluruh keluarga. Bukan untuk dimanfaatkan sebagai kepentingan keluarga. Tampaknya pesan itu sudah kedaluwarsa pada era yang bobrok saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelajaran lain adalah sangat mungkin tabiat dan perilaku para bawahan SYL adalah mental koruptor pula. Sudah sangat pasti korupsi sebanyak ini berkat kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan. Malah bawahan itu yang memancing adanya penyalahgunaan anggaran dengan niat supaya mendapat promosi jabatan. Istilah sekarang, bawahan itu menjilat atasannya–hal yang sudah umum.

Ada cerita dari seorang menteri yang sudah menyandang status terpidana koruptor. Aib itu berawal dari hal yang remeh-temeh. Menteri yang profesi awalnya pengusaha sukses dan suka beramal (juga sangat religius) itu ngobrol dengan stafnya soal keluarga. Sang menteri keceplosan soal istrinya yang akan berulang tahun, tapi dia bilang tak terbiasa merayakannya. Stafnya tertawa (sambil melakukan penjilatan), masak ulang tahun istri tak dirayakan.

Singkat cerita, stafnya itu pun merancang acara di hotel yang mewah dan dananya tak diketahui sang menteri dari mana diambil. Yang pasti, menteri itu senang berbinar-binar dan mungkin berkata dalam hatinya: “Enak juga ya jadi menteri….” Di kemudian hari, tawaran dari anak buah menteri itu semakin menarik dan dia pun mulai berani pula meminta sesuatu untuk pribadi dan keluarganya tanpa tahu dari mana anggarannya. Apakah dana itu dari kantong pribadi para staf? Tidaklah, justru para staf ikut kecipratan dari utak-atik anggaran.

SYL bisa jadi cuma meng-copy-paste tabiat seperti ini, sampai ada belanja durian puluhan juta rupiah dan makanan online saban hari. Ah, sudahlah, tak usah dirinci lagi penjilatan yang dilakukan anak buah SYL. Apa pelajaran dari sini? Seharusnya para staf ini juga kena sanksi, kenapa sudah tahu melanggar anggaran tapi dana tetap dikeluarkan? Kenapa tak mengingatkan SYL bahwa tabiat itu salah, lalu menolak semua permintaan SYL? Bukankah sangat tidak masuk akal pedangdut mendapat honor bulanan dan sang cucu bisa menjadi anggota tim ahli?

Apakah kementerian lain bersih dari aroma seperti ini? Sulit untuk menjawab ya. Selama mental pejabat korup dan penjilat atasan jadi mode serta pengawasan internal mandul, jangan berharap tak ada penggarongan uang rakyat seperti ini. Apalagi lembaga pengawas negara bisa diajak “kerja sama”.  Misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa disuap agar anggaran kementerian mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian. Ketua KPK bisa ditemui untuk diminta “saling pengertian”. Itu fakta. Bukankah Ketua KPK Firli Bahuri sudah dinonaktifkan dalam kasus SYL ini, meski kasusnya dibuat tak jelas?

Akhirnya hanya SYL yang masuk sidang. Ia jelas bersalah. Apakah istri, anak, cucu, mantan staf SYL, termasuk auditor BPK dan Firli Bahuri, lepas dari jerat hukum? Para mantan staf SYL bukanlah pahlawan dengan membeberkan aliran dana korupsi dalam sidang Pengadilan Tipikor. Mereka pasti ikut menikmati uang haram ini. Mari kita potong benang kusut ini sambil menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden yang berjanji bertekad melawan korupsi lebih berani, yang tak mampu dilakukan Presiden Joko Widodo.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus