Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIK Indonesia pada masa pendaftaran calon legislator sudah menyerupai bursa pemain sepak bola. Para politikus berpindah-pindah partai selayaknya pemain profesional berganti klub menjelang musim kompetisi. Praktik ini mempertegas kelemahan partai politik kita: tidak memiliki garis ideologi yang jelas dan gagal menciptakan sistem kaderisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai-partai mendaftarkan calon legislator menjelang batas akhir pendaftaran untuk Pemilihan Umum 2019 pada Selasa pekan lalu. Komisi Pemilihan Umum membuka pendaftaran sejak dua pekan sebelumnya. Sejumlah politikus berpindah partai. Mereka beralasan tak mendapat posisi bagus di partai asalnya. Ada pula dugaan tawaran "biaya transfer" dari satu partai untuk calon-calon inkumben yang bersedia pindah. Ada pula calon legislator yang berpindah partai karena gagal melaju ke Senayan melalui partai sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pindah partai memang tidak haram. Tidak ada larangan yang mengatur soal ini. Namun hal ini menunjukkan sikap pragmatis para politikus. Mereka hanya memandang partai sebagai kendaraan buat mencapai tujuan pribadi atau tangga untuk memanjat karier politik yang lebih tinggi. Partai tidak dianggap sebagai alat untuk memperjuangkan gagasan-gagasan demi kepentingan masyarakat.
Dari sisi partai politik, pola rekrutmen ini makin menunjukkan tidak ada diferensiasi antara satu partai dan partai lain. Garis-garis yang memisahkan mereka sangat tipis-atau malah kabur sama sekali. Gejala lain tentang tidak jelasnya "jenis kelamin" partai terlihat pada koalisi pada saat pemilihan kepala daerah. Hampir tidak ada anggota koalisi yang sama dan sebangun di setiap daerah.
Satu partai tak punya gagasan khas yang membedakannya dengan partai lain. Partai cenderung seragam walau warna bajunya berbeda-beda. Sistem multipartai di Indonesia pun terasa semu.
Fenomena lain yang terulang adalah jalan pintas partai mendulang suara dengan merekrut selebritas. Sebanyak 54 pesohor telah didaftarkan sebagai calon anggota legislatif dari berbagai partai. Benar, tidak tertutup kemungkinan mereka kompeten menjadi legislator. Namun pola rekrutmen yang asal comot ini menunjukkan kegagalan partai membangun kader berkualitas.
Dalam jangka panjang, kemalasan partai membangun kaderisasi ini akan membahayakan konsolidasi demokrasi. Sikap petinggi partai yang hanya mengejar kepentingan jangka pendek, yang sering dibarengi dengan politik transaksional, membuat stok negarawan di masa depan akan sangat terbatas.
Berbagai hal itu akan membuat citra partai makin terpuruk. Apalagi, pada partai yang berpusat pada figur ketua umumnya, pola penyusunan calon legislator juga tidak transparan. Hal itu dilakukan pada saat mengatur penentuan nomor urut dan pembagian daerah pemilihan calon legislator. Kandidat tidak ditempatkan sesuai dengan performanya, tapi berdasarkan kedekatan hubungan dengan pengambil keputusan.
Praktik-praktik tak sehat itu membuat banyak orang enggan masuk partai. Mereka merasa tidak ada manfaatnya menghadapi kekuatan oligarkis di partai politik. Walhasil, kesempatan publik mendapat penyelenggara negara yang berkualitas makin kecil dengan pola perekrutan calon legislator semacam itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo