Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Munir, Ujian Sejarah Tak Kunjung Sudah

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKARUT hilangnya dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Munir menunjukkan kelemahan pemerintah dalam satu dari dua perkara. Pertama, hilangnya dokumen, jika itu benar terjadi, menunjukkan buruknya sistem administrasi pemerintah. Siapa pun yang menghilangkan—pejabat di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau Joko Widodo—harus bertanggung jawab.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengancam penjara dua tahun kepada mereka yang terbukti menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen publik. Undang-Undang Kearsipan memberi ganjaran lebih berat: penjara 10 tahun. Jika dokumen itu ternyata tak hilang, cuma disembunyikan dengan maksud agar pengusutan perkara Munir tak beranjak ke mana-mana, ini tentu soal yang lebih serius.

Kita boleh menduga, salah satu atau kedua presiden tak punya niat mengungkap otak pembunuh sang aktivis. Setidaknya bisa kita katakan, mereka sedang menerapkan strategi buang badan yang kekanak-kanakan. Komisi Informasi Pusat pada awal bulan lalu telah meminta pemerintah mengumumkan dokumen penting itu kepada masyarakat. Sekretariat Negara menyatakan tidak memiliki arsip hasil penyelidikan tersebut sehingga tak bisa me­ngabarkannya. Yudhoyono menyebutkan seluruh naskah telah disetor ke Badan Arsip Nasional.

Bekerja enam bulan pada masa Yudhoyono, tim yang terdiri atas polisi, diplomat, jaksa, aktivis hak asasi manusia, dan dokter forensik itu menduga kuat keterlibatan Badan Intelijen Negara dalam kematian Munir. Polisi telah mengungkap peran para pekerja lapangan. Pengadilan telah menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda, dengan hukuman 20 tahun penjara. Pimpinan dan sejumlah karyawan Garuda telah pula diterungku karena terbukti membantu pembunuhan itu.

Pejabat BIN paling tinggi yang pernah diadili adalah Deputi Penggalangan Muchdi Purwoprandjono. Namun pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung membebaskannya. Hingga kini jaksa tidak mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap perkara Muchdi. Motif pembunuhan pun sampai sekarang tinggal misteri.

Tim Pencari Fakta sesungguhnya telah bekerja banyak. Tim ini menemukan lalu lintas komunikasi telepon antara Pollycarpus dan Muchdi. Polly pernah pula berbicara dengan pejabat lain untuk membicarakan soal "ikan besar di Singapura"—sandi pelenyapan Munir, yang terbunuh dalam penerbangan Singapura-Amsterdam.

Patut disayangkan, pengadilan tak secara serius menelusuri kesaksian Budi Santoso, Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN, jabatan yang berada dalam rentang kendali Muchdi. Memberi kesaksian di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2008, Budi secara blakblakan menceritakan operasi intelijen pelenyapan Munir. Indikasi kuat keterlibatan lembaga telik sandi itu terungkap pula dalam kesaksian agen lainnya, Raden Mohammad Patma Anwar. Di pengadilan, ia mengatakan pernah diminta merancang pembunuhan Munir dengan cara menabrak sang aktivis dengan mobil atau menggunakan jasa dukun santet.

Menggantung lebih dari satu dasawarsa, pemerintah harus secepatnya menuntaskan kasus Munir. Mula-mula adalah dengan cara membentuk tim pencari fakta baru. Tim ini seyogianya terdiri atas orang-orang independen dari dalam dan luar pemerintah. Agar berkelanjutan, anggota TPF lama dapat pula direkrut kembali.

Tugas utama "TPF baru" adalah mengumpulkan fakta baru sebagai bekal jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali. Sesungguhnya ini bukan tugas berat. Asalkan dibekali cukup wewenang—termasuk otoritas menerobos pelbagai arsip BIN—mereka bisa menemukan detail informasi yang pokok-pokoknya sebetulnya telah diketahui. Pemanggilan sejumlah saksi lama dapat pula dilakukan, misalnya Budi Santoso. Agar makin benderang, TPF dapat pula menelusuri kematian misterius sejumlah saksi kunci kasus Munir dan mencari kaitannya dengan perkara utama.

Presiden Joko Widodo tak perlu ragu bertindak. Dugaan keterlibatan mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono tak perlu membuatnya kikuk. Keberadaan Hendro dalam lingkaran kekuasaan memang sepatutnya disesali, tapi tak boleh menjadi belenggu yang membatasi gerak langkah Presiden.

Perkara Munir yang tak tuntas di era Susilo Bambang Yudhoyono selayaknya menjadi pemicu Jokowi untuk bekerja lebih keras. "Test to our history"—tekad penuntasan kasus Munir yang pernah disampaikan Yudhoyono—biarkan menjadi kata-kata pada masa lalu tapi sepatutnya menjadi kenyataan pada masa sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus