TAK ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur. Dan tak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur melebihi umat si Gus sendiri. Kemudian amma ba'du tak ada makhluk yang paling cuek untuk dipahami ataupun tak dipahami, the heavyweight champion asli Jombang yang berkaca mata minus belasan. Omongannya aneh-aneh. Sepak terjangnya membuat orang di sekitarnya atau jutaan lain di pelosok menjadi belingsatan. "Ketua Ketoprak" ini bahkan masih belum diwawuh alias masih dijothak atawa masih dalam posisi mufarroqah dengan abah segala abah yaitu Kiai As'ad Syamsul Arifin. Memang, domisili si Gus yang blunat ini di fokus panggung pentas sejarah umat terbesar di negeri ini. Maka, setiap tetes keringatnya, termasuk setiap sapuan bau ketiaknya, menelusup ke setiap telinga umat: Umat yang langganan untuk diajak memperjuangkan segala sesuatu di segala bidang yang sifatnya nasional serta langganan pula untuk dipanggang sesudah sesuatu itu tercapa dan kemapanan terkukuhkan. Si Gus kaca mata supertebal ini tentu tergolong paling tahu nasib langganan itu, sehingga ia lakukan berbagai macam hal yang seolah-olah atau sungguh-sungguh penuh syubat. Itu bukan sekadar karena setiap metode pandang senantiasa kewalahan merumuskan dahsyatnya komplikasi permasalahan umat ini. Tapi lebih karena sedemikian kompleksnya permasalahan itu, maka tak seorang tokoh pun tak merasa bingung dari mana memulai antisipasi. Dalam keruwetan semacam itu adalah si Gus yang tampak paling progresif untuk beristiqamah dengan persepsi, keyakinan, dari keputusan-keputusan politis, ekonomis, dan kulturalnya sambil mengandalkan ngelmu mbudeg, alias menulikan beberapa klep pintu telinganya. Bahkan di kampung halamannya sendiri ia diejek oleh seorang tokoh: "Ia bukan kembali ke khittah, melainkan ke khinthah!" Khinthah itu maksudnya perut. Yang lain mengejeknya dengan bahasa yang lebih Jombang: "Ia sudah sampai bertelanjang bulat, tapi dibeli hanya semurah itu!" Berbagai langkah politisnya yang nonpolitis atau langkah nonpolitisnya yang politis sering dinilai sebagai gegedhen pantek tinimbang cagak, lebih besar pasak daripada tiang. Kalau saya didudukkan sebagai pembela Gus Dur, saya akan memilih menangkis semua tuduhan kepadanya dengan teori walayah. Yakni teori tentang "wali". Seseorang yang nglakoni, baik dalam tasawuf eksklusif maupun dalam medan jihad makro, baru boleh dianggap telah mencapai tingkat wali apabila orang banyak sudah melihatnya sebagai tukang sihir dan orang gila. Tingkat "ilmu sihir" dan "kegilaan" si Gus saya kira sudah cukup memadai. Dalam arti metode-metode baku penilaian dan penglihatan umum sudah tak sanggup lagi menembus hakikat realitasnya yang sejati. Ia sudah disalahpahami. Lapis realitas yany tampak di mata orang hanyalah bahwa ia tukang sihir dan wong gendheng. Mudah-mudahan saya benar. Sebab, setiap saat kita menapaki "mudah-mudahan" berlanjut ke "mudah-mudahan" berikutnya, kita tidak bisa menyimpulkan suatu tindakan hanya dari sepenggal- an waktu ketika tindakan itu dilakukan: ketepatan penilaian memerlukan berbagai perangkat konteks dari masa silam dan masa datang. Seorang sweeper sepak bola pada momentum tertentu bisa saja menendang bola ke belakang, karena ia mengoperkannya kepada kiper: kita jangan lantas menyimpulkan "pemain kita menendang bola ke gawangnya sendiri". Sebagai playmaker, si Gus mestinya memiliki konsepsi dasar dan kerangka strategi untuk membangun serangan, dan untuk itu bola boleh naik turun atau maju mundur. Susahnya, sepak bola NU tak bisa kita tentukan running timenya seperti 90 menit pertandingan sepak bola di Senayan. Jadi, sejak semula si Gus pasti memang sudah menyiapkan diri untuk oke-oke saja dianggap orang gila. Kita yang sibuk di masjid-masjid pinggiran kota atau di pelosok dusun tidak bisa cukup cepat memahami fisibilitas transaksi-transaksi jual beli atau perniagaan sejarah yang diselenggarakan oleh si Gus. Ketika mendengar (sejak beberapa tahun silam) bahwa NU bermaksud menciptakan kelas ekonomi baru umat Islam, dan tatkala beberapa hari yang lalu si Gus menandatangani berdirinya Bank Perkreditan Rakyat dengan PT Bank Summa -- 50 biji sekarang dan 2.000-an pada 20 tahun mendatang -- kita jadi teringat betapa kaum muslimin adalah musuh satu sama lain dalam mekanisme ekonomi. Penindas dan si tertindas sama-sama beragama Islam. Rentenir mengimani sembahyang para korbannya. Para juragan dan budak-budaknya berjamaah dan beriktikaf bersama sambil menyimpan konteks perhubungan ekonomis mereka sebagai sesuatu yang seolah tak ada kaitannya dengan pemelukan agama mereka. Pada skala makro, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa strata penghisap maupun si terhisap sama-sama mengucapkan doa "tanpa dosa" dalam salat-salat mereka. Seakan-akan agama hanyalah pasal jungkar1ungkir, cari nafkah adalah pasal yang lain sama sekali. Dengan kata lain, umat Islam tidak memiliki "jamaah ekono- mi". Mereka berjamaah hanya dalam ritus, tapi tidak dalam realitas. Ukhuwah Islamiyah sekadar berarti kirim-kiriman kartu, bukan persaudaraan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam "ekonomi besar", mekanisme perniagaan bersifat steril dari negosiasi akidah. Dalam "ekonomi kecil", di dusun misalnya kalau seseorang harus merumahsakitkan sanak familinya dan butuh biaya besar, kaum muslimin di sekelilingnya segera mengerubunginya untuk kenduri: maksudnya mendorong supaya orang itu menjual sawah atau kerbaunya. Kalau kepepet kan harganya merosot jauh. Jadi, Nahdlatul Bank yang dirintis Gus Dur itu mudah-mudahan sebuah jawaban untuk menjelaskan bahwa ia bukan orang gila. Tapi kalau si Gus tidak gila lagi, level kewaliannya jadi turun. Jadi, saya anjurkan untuk segera menelurkan hal-hal yang bisa membuatnya dianggap orang gila lagi, supaya kelak orang tak lagi segan menyebut Gus Dur sebagai waliyullah yang muttafaqun alai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini