AKSI mogok makan mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) berakhir dengan damai. Tepat Sabtu tengah malam, Stevanus Rendy Bosco Dom alias Rendy mulai makan dan minum lagi setelah mogok selama empat hari. Bahkan acara penyaliban Rendy, yang direncanakan sebagai puncak aksi mahasiswa, juga dibatalkan. Sekitar 500 mahasiswa mengakhiri aksi protes itu dengan menyerahkan sebuah salib berukuran 50 cm kepada wakil yayasan dan senat guru besar. "Salib itu untuk merujukkan mereka," kata seorang mahaslswa. Aksi unjuk rasa di halaman kampus Jalan Ciumbuleuit Bandung itu dimulai Rabu pekan lalu. Puncaknya, tengah malam, Rendy menyatakan aksi mogok makan dan minum. Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 1984 itu mendirikan tenda berukuran 1 x 1,5 meter. Aksi Rendy ternyata menarik simpati teman-temannya. Mereka ikut ramai-ramai menggelar beberapa poster dan membaca puisi. Mereka menuntut penjelasan perihal pemilihan rektor. "Saya lakukan ini karena permintaan untuk berdialog dengan rektor dan pimpinan Yayasan Unpar tak pernah ditanggapi," kata Rendy pada TEMPO dengan nada lemah. Kericuhan di perguruan tinggi swasta yang cukup beken di Bandung itu merupakan buntut pemilihan rektor yang dilakukan pertengahan Mei lalu. Para mahasiswa merasa tak puas dengan proses terpilihnya Dr. Pande Raja Silalahi sebagai rektor baru Unpar. Rektor lama, Dr. Koesdarminta, 62 tahun, 15 Februari lalu telah mengakhiri masa jabatannya yang kedua. Biasanya, pihak yayasan langsung menunjuk rektor baru, tanpa lewat pemilihan senat. Namun, untuk periode 1990-1994 kali ini, proses pemilihan rektor dilakukan agak lain. Yayasan, menurut Prof. Beny Suprapto, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Unpar, minta supaya Senat Guru Besar mengajukan bakal calon rektor. Senat Guru Besar yang berjumlah 15 orang itu diminta mengajukan tiga calon dengan urutan prioritas. Dari nama yang diajukan ke yayasan, menurut salah seorang anggota senat, ternyata muncul tiga nama. Mereka adalah Dr. Koesdarminta Dr. Pande Raja Silalahi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Yon Sunyoto O.S.C., bekas Dekan Fakultas Filsafat. Berdasarkan usulan senat, 12 suara memberikan prioritas bagi Koesdarminta, 2 untuk Pande, dan 1 untuk Yon Sunyoto. Dari tiga bakal calon itu, menurut Prof. Beny, yayasan mempertimbangkan Koesdamrinta dan Pande sebagai calon terpilih. "Untuk menentukan salah satu, prosesnya tak sederhana," kata Beny. "Akhirnya yayasan berpendapat bahwa proses peremajaan pimpinan perlu dilakukan sejak sekarang. Maka, pilihan jatuh pada Pande," alasan Beny. Setelah yayasan menetapkan Pande sebagai rektor, ada suara kecewa. Bahkan mahasiswa menganggap ada "perang dingin" antara senat dan yayasan, yang kemudian dibantah Beny "Pertentangan itu tak ada. Saya sudah ketemu anggota senat. Kalaupun ada suara yang tak setuju, itu hanya terbatas dalam forum. Dan itu wajar," katanya. Yayasan, menurut seorang anggota senat sumber TEMPO, memang mempunyai wewenang untuk menunjuk rektor. Namun, kewenangan itu harus melihat kenyataan di lapangan. "Kalau ternyata jago kami tak terpilih, kami sebenarnya sakit hati," kata- nya. "Jadi, kami lebih tahu kondisi sebenarnya. Karena itu, dengarlah suara kami," kata anggota senat ini. Apa pun hasil pemilihan, yang jelas 19 Mei lalu Unpar telah melantik rektor baru, yaitu Dr. Pande Raja Silalahi, 41 tahun. Lelaki kelahiran Binjai, Sumatera Utara, itu sebelumnya dikenal sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Unpar sejak 1986. Di luar kampus, ia menjabat Ketua Departemen Ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta. Kini ia masuk jajaran Dewan Direksi CSIS. Setelah lulus Fakultas Ekonomi Unpar 1973, Pande melanjutkan tugas belajar di Hiroshima University, Jepang mengambil jurusan Economic and Political Science. Gelar doktor diraihnya di Kobe Unversity of Commerce, 1980. Bagi Pande, jabatan rektor Unpar adalah suatu tugas suci. Agaknya, ia tak mempedulikan suara sumbang. "Saya pikir orang yang mencaci maki saya itu hanya orang yang misinformasi. Dan logis dalam setiap organisasi ada pihak yang tak senang," kata Pande. Tentang proses pemilihan rektor, menurut Pande, hal itu sudah sesuai dengan aturan. "Tak ada yang salah," kata ekonom yang baru tahun lalu melangsungkan pernikahan itu. Ia menganggap, aksi mahasiswa itu dilancarkan karena informasi yang mereka peroleh kurang lengkap. Itulah yang membuat forum dialog antara pihak yayasan, dosen, dan mahasiswa sangat perlu. "Sikap saya adalah seperti seorang ayah kepada anaknya. Bisa berdialog empat mata atau mereka menyampaikan aspirasinya melalui lembaga kemahasiswaan yang ada," katanya. Sementara itu, Dr. Koesdarminta menolak memberikan tanggap- an. "Jangan tanya masalah itu. Saya ini orang kecil, apa yang sudah terjadi, ya, sudahlah," kata Koes. Demikian pula sikap mahasiswa yang semula memprotesnya. Wakil mahasiswa membaca pernyataan yang isinya menunggu hasil dialog yayasan, senat, dan mahasiswa. Mereka juga menyinggung soal drop out dan uang kuliah. Setelah itu, Rendy mendapat karangan bunga simpati dari teman-temannya sambil meneteskan air mata. Kampus pun kembali tenang menjelang masa ujian pekan ini. Gatot Triyanto (Jakarta), Ahmad Taufik dan Dwiyanto Rudi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini