Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI dan No. VII Tahun 2000 yang jadi acuan, pilihan yang diambil sudah jelas: Kepolisian Republik Indonesia adalah polisi sipil. Sayangnya, peraturan pelaksana yang seharusnya menjelaskan keputusan para wakil rakyat ini kemudian justru membuatnya menjadi rancu. Pembagian tugas pengamanan negara kepada tentara untuk ancaman luar negeri dan kepada polisi untuk dalam negeri telah membuat militerisasi polisi sulit dihindarkan. Sebab, muncul kesan bahwa semua gangguan keamanan, selama masih dilakukan oleh penduduk dalam negeri, menjadi tanggung jawab polisi semata.
Padahal, gangguan keamanan itu bisa berbentuk pemberontakan bersenjata sehingga tak mungkin dipadamkan tanpa kekuatan militer yang lebih kuat. Gerakan separatis di Aceh adalah contoh nyata. Angkatan Gerakan Aceh Merdeka tak mungkin dihadapi oleh polisi yang cuma dilengkapi dengan persenjataan ringan. Namun, bila polisi dilengkapi dengan perangkat militer lengkap, lantas apa bedanya dengan tentara?
Bila Undang-Undang Dasar 1945 yang dijadikan landasan, pemisahan tugas kepolisian dan militer lebih mudah dilakukan. Polisi menjadi penanggung jawab keamanan dalam negeri selama keadaan tertib sipil dan darurat sipil. Bila presiden telah memutuskan berlakunya keadaan darurat militer ataulebih gawat lagiperang di sebuah kawasan, tentara menjadi penanggung jawab keamanan di daerah itu. Selain itu, penggunaan tentara untuk penguatan satuan polisi juga diperkenankan dalam keadaan tertib sipil ataupun darurat sipil, selama koordinasi masih berada di bawah pimpinan sipil setempat.
Konsep polisi sipil ini, sayangnya, berbenturan dengan doktrin pertahanan keamanan rakyat semesta, yang menjadi acuan pertahanan Republik Indonesia. Masalahnya, menurut perjanjian hukum internasional, kedudukan polisi sipil adalah sebagai non-combatants (tidak terlibat dalam perang). Sementara itu, doktrin hankamrata mewajibkan semua komponen bangsaartinya termasuk polisiuntuk memerangi pasukan lawan atau menjadi combatants. Atau, dalam istilah yang sering diucapkan para pejabat sipil ataupun militer Orde Baru, polisi Indonesia adalah polisi pejuang.
Beban kata "pejuang" ini kini terasa begitu berat. Masalahnya, konsep pejuang sebetulnya hanya berlaku ketika negara berada dalam keadaan perang, dan seharusnya menjadi kedaluwarsa di saat damai. Sayangnya, kendati sudah hampir 55 tahun merdeka, masih banyak pemimpin bangsa ini yang belum juga mau menerima kenyataan bahwa keadaan "perang" sudah lama usai, dan karena itu ajektif pejuang sudah seharusnya dimuseumkan seperti semua bedil tua yang kini tersimpan rapi di museum-museum militer.
Di masa damai, semua yang pejuangapakah polisi, tentara, atau wartawanharus didemobilisasi dan kembali ke kehidupan normal. Bila tidak, konsep supremasi hukum tidak akan pernah tegak. Semua pelanggaran hukum tak dapat ditindak karena pelakunya menganggap pelanggaran tersebut dilakukan demi "perjuangan". Sebaliknya, pemerintah juga harus mengakui keadaan normal ini dengan memastikan bahwa semua biaya polisi ataupun tentara ditanggung oleh negara. Soalnya, selama sebagian besar biaya operasi polisi ataupun tentara masih didanai oleh usaha sendiri, sulit untuk menanggalkan kata "pejuang" dari institusi polisi dan militer. Dan selama kedua institusi ini merasa dirinya sebagai pejuang, penyakit kebal hukum (impunity) akan terus mengidap dalam mental para anggotanya.
Penyakit impunity di kalangan penegak hukum ataupun tentara akan melahirkan radikalisasi di lapisan masyarakat, terutama yang menjadi korban penggunaan kekerasan oleh aparat. Bila dibiarkan berlarut-larut, radikalisasi ini akan berkembang menjadi gerakan separatis, baik yang mengharamkan penggunaan kekerasan maupun yang menghalalkannya. Bila tetap dibiarkan, akan bermuara pada disintegrasi bangsa ini.
Untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan ini, profesionalisasi di semua linitermasuk polisi dan tentaraharus dijalankan. Polisi sipil harus dibentuk, diberi anggaran yang memadai, dan dibebaskan dari tugas-tugas kemiliteran. Kalaupun dibutuhkan kehadiran satuan khusus untuk menghadapi ancaman terorisme, perlengkapan dan doktrinnya harus tetap bernuansa sipil. Kekerasan digunakan sebagai pilihan terakhir, dan ditujukan pada pelumpuhan, bukan pemusnahan.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, satuan polisi yang bertabiat militeristik sebaiknya memang dipisahkan. Salah satu kemungkinan yang patut dipertimbangkan adalah menggabungkan Brimob dan unit Komando Teritorial Angkatan Darat menjadi sebuah unit paramiliter semacam Gendarme di Prancis atau Carabiniery di Italia. Tugas utamanya adalah mendukung polisi sipil melakukan tugasnya dalam keadaan darurat sipil, dan membantu tentara bila menghadapi ancaman berkekuatan militer seperti insurgensi.
Unit paramiliter itu sepatutnya bukan merupakan institusi permanen. Kecuali sebagian kecil personel inti, unit ini harus menjadi lahan tempat warga negara yang memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban bela negaranya, melalui wajib militer. Sebab, membela negara tidak cuma monopoli polisi dan tentara, tapi juga kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo