NAMA Menteri Tenaga Kerja Sudomo mendadak mencuat tinggi di antara para pengayuh becak dan pedagang kaki lima. Di Medan sejumlah tukang becak mengacungkan jempolnya tatkala ditanya komentar mereka tentang bekas pangkopkamtib itu. "Beliau patut digelari bapak rakyat kecil," cetus Maruahal Sibarani, 37, pemilik 20 becak dayung di Jalan Sei Belut, Medan. Yang membuat mereka gembira adalah imbauan Sudomo agar pedagang kaki lima dan tukang becak tidak ditertibkan dulu, tapi agar diatur dengan baik karena menyangkut lapangan kerja. Seruan Sudomo itu diucapkannya dua pekan lalu, dalam suatu upacara Pertemuan Kontak Tani Nelayan di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dua hari kemudian, imbauan itu dipertegasnya lagi: ia tidak setuju pada rencana pemerintah DKI Jakarta untuk menghapus becak mulai awal 1985. Alasan Sudomo masuk akal. Sebab, dalam Pelita IV mendatang, akan terdapat tambahan angkatan kerja 9,3 juta orang. Padahal, dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi rata-rata lima persen setahun, diperkirakan dalam lima tahun itu hanya tersedia kesempatan kerja 6,1 juta. Dengan begitu, ada tantangan untuk menciptakan tambahan kesempatan kerja buat 3,2 juta orang. "Karena itu, saya lebih menghormati orang-orang yang bekerja pada sektor informal, pedagang kaki lima, tukang becak, atau penjual jamu, yang merupakan usaha mandiri, daripada lulusan universitas yang datang ke Departemen Tenaga Kerja merengek-rengek minta pekerjaan," kata Sudomo. Sudomo mengatakan, setiap usaha informal hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang seluas-luasnya. "Di masa mendatang, bila tersedia alternatif lain bagi mereka, becak memang bisa dihapuskan. Tapi selama alternatif itu belum ada, kita jangan menghapusnya karena itu hanya menambah jumlah penganggur," katanya. Masalah pedagang kaki lima dan becak memang sudah cukup lama memusingkan banyak pemerintah daerah. Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang pertama kali bertindak keras, dan banyak pemda yang kemudian meniru cara penanganannya. Pada akhir 1971, Ali Sadikin menyatakan berlakunya sistem Daerah Bebas Becak (DBB) mula-mula di beberapa jalan utama, kemudian diperluas meliputi hampir seluruh penjuru kota. Pedagang kaki lima juga di tertibkannya, dengan menetapkan lokasi usaha mereka. Tujuan sampingnya: menyetop arus urbanisasi ke Jakarta. Hasilnya lumayan. Diperkirakan, 35.000 dar sekitar 150.000 becak yang ada menghilang dalam setahun setelah DBB diberlakukan. Muncul rencana untuk menghapuskan becak pada akhir Pelita II (1979). Helicak, becak bermotor, dan bajaj pun muncul menggantikan becak. Namun, Gubernur Tjokropranolo, yang menjabat sejak pertengahan 1977, mengendurkan penertiban itu, dengan alasan pemerataan. Akibatnya, becak muncul kembali di banyak DBB. Pedagang kaki lima juga makin subur. Tidak ada data yang pasti, tapi diperkirakan 150.000 becak - sebagian besar liar - ada di Jakarta pada awal masa jabatan Tjokropranolo. Dengan perhitungan satu becak dioperasikan dua pengemudi, saat itu diperkirakan ada 300.000 tukang becak di Jakarta. Pengganti Tjokro, Gubernur Suprapto, rupanya punya beleid lain. Penertiban bangunan liar, pedagang kaki lima, dan becak digalakkan. Dasar hukum yang dipakai ialah Perda Nomor 3/1972 tentang ketertiban umum. Sasarannya sekitar 80.000 pedagang kaki lima, dan juga sekitar 54.000 becak yang pada 1983 diperkirakan ada di Jakarta. (Menurut sensus 1983, di Jakarta ada sekitar 40.000 becak, dan hanya 7.800 yang terdaftar). Ide menghapuskan becak dimunculkan lagi. Larangan membuat becak baru, yang telah lama ada, diperketat. Kemudian ditegaskan rencana: mulai awal 1985 becak akan dihapuskan. Daya serap sektor informal, tidak termasuk sektor tradisional (pertanian), dalam mengisi lapangan kerja memang cukup tinggi. Secara nasional, diperkirakan 30% sampai 40%. Suatu penelitian oleh S.V. Sethurama, seorang staf ILO, menunjukkan bahwa pada 1976 tercatat 41% tenaga kerja di Jakarta bergerak di sektor informal. Pada 1977, penelitian lain yang dilakukan Hael Moir bersama Soetjipto Wirosardjono menyimpulkan, "Hampir separuh dari populasi satu juta tenaga kerja di Jakarta diperkirakan terserap pada sektor informal." Selain itu sektor informal juga memberikan kontribusi 30% terhadap seluruh pendapatan kotor (GDP) Jakarta. Tapi tampaknya Gubernur Suprapto berniat terus melaksanakan rencana menghapuskan becak. "Becak itu tidak termasuk angkutan umum," katanya tegas pada TEMPO pekan lalu. Becak yang ditarik tenaga manusia itu dianggapnya tidak manusiawi. Menanggapi imbauan Sudomo, Suprapto berkomentar singkat. "Mungkin Pak Domo belum tahu adanya Perda 3/1972," katanya. Menurut dia, secara resmi becak tidak akan dihilangkan, tapi ditertibkan. Sekalipun dalam sehari tukang becak bisa memperoleh sampai Rp 4.000, Suprapto menganggapnya itu bukan jaminan masa depan. "Transmigrasi itu jaminan," katanya menunjuk alternatif lapangan kerja buat tukang becak. Belum jelas berapa bekas tukang becak atau pedagang kaki lima yang kini menjadi transmigran, walau pasti jumlahnya sangat sedikit. Sudomo sendiri mengakui tukang becak tidak memiliki prospek masa depan. "Mereka memperoleh tiga sampai empat ribu rupiah sehari. Namun, dalam situasi banyaknya pengangguran saat ini, jumlah itu lumyan," katanya. Menurut Dirjen Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Kerja Depnaker Danang D. Joedonagoro, dalam waktu dekat Menteri Sudomo akan melakukan langkah pendekatan pada beberapa gubernur. Secara resmi Sudomo akan meminta agar becak tidak dihapus dulu, kecuali bila gubernur itu sanggup mencarikan pekerjaan pengganti buat pengemudi becak. "Depnaker bersedia bekerja sama untuk mencari jalan keluar, misalnya membuka latihan keterampilan buat pengemudi becak," katanya pada Jawa Pos pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini