ARIFIN C. Noer kaget. Ia setiap tahun menyaksikan film semi- dokumenter Penumpasan G30S/PKI, yang ditayangkan TVRI tiap 30 September malam, dan Kamis dua pekan lalu ia pun menontonnya lagi. Dan ia kaget karena beberapa adegan terbalik-balik. ''Adegan yang mestinya belum muncul, tiba-tiba muncul. Dan adegan Ali Moertopo tidak ada. Padahal pada penayangan tahun- tahun sebelumnya selalu ada,'' kata Arifin, yang tengah menyelesaikan sinetron Kasih di Solo. Arifin lalu menelepon Amoroso Katamsi, yang dalam film itu memerankan tokoh Soeharto. Amoroso, kini Direktur Utama Perusahaan Film Negara, yang memproduksi film tersebut, tak menyaksikan penayangan film tersebut. Katanya, sejak film itu diserahkan ke PFN lalu ke TVRI tidak ada yang mengubah. Juga tidak ada yang memerintahkan memotong. ''Kalaupun ada yang hilang, itu mestinya kecelakaan,'' katanya. Bisa jadi Amoroso benar. Pihak Seksi Siaran TVRI tak mengamati benar apakah film itu terbalik-balik beberapa adegannya, dan ada adegan yang hilang. Yang jelas, menurut sumber di Seksi Siaran TVRI, tak ada yang mengkutak-katik film itu. Adegan Ali Moertopo yang dimaksud ialah saat Pangkostrad Mayjen Soeharto menyelenggarakan briefing di ruang kerjanya. Yang hadir saat itu: Asisten Pangkostrad Letkol Wahono, Asintel Kostrad Letkol Yoga Sugomo, dan Wakil Asintel Mayor Ali Moertopo. Adegan inilah yang oleh Arifin dan beberapa pemirsa dipertanyakan mengapa hilang. Pertanyaan itu bisa dipahami, mengingat sangat pentingnya peranan almarhum dalam sejarah Orde Baru. Di awal Orde Baru, misalnya, ia salah seorang yang aktif berperan mencairkan hubungan diplomatik RI - Malaysia setelah lama beku akibat politik konfrontasi Bung Karno. Dia pula yang membersihkan unsur-unsur kiri dalam kongres PNI di Semarang pada tahun 1967. Proses fusi partai-partai politik menjadi PPP dan PDI adalah juga berkat sentuhannya. Ali pula yang melakukan depolitisasi beberapa kekuatan masyarakat dengan membentuk KNPI (pemuda), HKTI (tani), FBSI (buruh). Lembaga-lembaga pelengkap Golkar itu diperkuat dengan harian Suara Karya, yang terbit atas gagasannya. Gagasan dan langkahnya memang kontroversial, tapi belakangan diterima orang. Misalnya ''akselerasi pembangunan'' dan ''massa mengambang''. Juga gelar ''bapak pembangunan'' bagi Presiden Soeharto menjelang SU MPR 1983. Ketika memimpin Opsus (operasi khusus), yang semula dibentuk untuk merebut Irian Barat, ia membantu banyak tokoh PRRI dan Permesta yang semula tersingkir, juga membina beberapa bekas tokoh DI/TII. Lembaga kajian strategis CSIS yang dibentuknya sempat berpengaruh dalam beberapa kebijakan politik pemerintah. Bahkan proses integrasi Timor Timur tak lepas dari campur tangannya. Dianggap sebagai ''bapak'' bagi kalangan sementara mahasiswa dan pemuda, ia juga dianggap sebagai godfather yang mengorbitkan beberapa politisi muda. Beberapa pengamat bahkan menyebutnya sebagai man of action yang sarat gagasan. Itu semua tentunya karena kedudukan Ali: posisinya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik di samping sebagai perwira tinggi intelijen yang berpengaruh. Kata orang, Ali Moertopo tak bisa tidak merupakan sebuah bab yang cukup penting dalam buku sejarah Orde Baru. Tanpa Ali, pentas politik ketika itu tak akan ramai. Tampaknya, dalam suasana yang bisa disebut ada keterbukaan ini, hilangnya adegan itu memang kecelakaan, mengingat film itu sudah berusia sekitar 9 tahun dan tiap tahun pasti diputar. BSH, Bina Bektiati, dan Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini