Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamu belajar membunuh dan mengurus pernak-perniknya.
Ini seperti mengganti ban.
Saat pertama kali, kamu berhati-hati.
Pada saat ketiga puluh, kamu tidak ingat di mana menaruh kunci pas.
(Ted Bundy, pembunuh berdarah dingin)
Jika tak ada aral, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi segera berlaku. KPK tak hanya dibuat tak bertaring, tapi juga “sekarat”. Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki andil mematikan jantung lembaga itu.
Meski dikritik mahasiswa dan masyarakat sipil, revisi Undang-Undang KPK tak bisa dibendung. Presiden dan DPR beralasan bahwa revisi adalah cara memperkuat KPK. Tapi, jika pasal-pasal revisi itu dibaca satu per satu, dalih penguatan tersebut tidak masuk akal. Dengan undang-undang baru, KPK dikendalikan tiga lembaga sekaligus, yaitu presiden melalui dewan pengawas, DPR melalui pemilihan komisioner dan hak angket (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi), serta kepolisian melalui para penyidiknya.
Melihat pasal-pasal baru revisi Undang-Undang KPK itu, kematian lembaga antirasuah ini hanya menunggu waktu. Tapi, sebagaimana dikatakan Ted Bundy di atas, upaya pembunuhan yang berulang akan menyisakan kesembronoan sebagai alat bukti.
Bukti kejahatan legislasi
Upaya revisi Undang-Undang KPK telah dilakukan berulang kali. Gagal, lalu dicoba lagi. Mula-mula dengan cara yang “halus”. Jika gagal merevisi Undang-Undang KPK, pelemahan dilakukan melalui revisi undang-undang lain, semisal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akibat penolakan masyarakat, percobaan membunuh KPK itu gagal.
Kali ini revisi Undang-Undang KPK dilakukan secara kasar. Pembahasan revisi Undang-Undang KPK dilakukan dengan sangat cepat tanpa melibatkan partisipasi publik. Dalam hitungan 12 hari, revisi Undang-Undang KPK dibahas dan disahkan. Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan pun dilanggar.
Kejanggalan terjadi sejak pemerintah mengutus perwakilannya dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK. Meski menyatakan KPK sebagai bagian dari eksekutif sesuai dengan bunyi putusan Mahkamah Konstitusi, faktanya Presiden mengutus Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saja. Padahal rancangan undang-undang yang dibahas adalah perihal kelembagaan KPK. Seharusnya, jika KPK memang bagian dari eksekutif, Presiden mengutus KPK sebagai pihak terkait langsung dalam pembahasan revisi tersebut. Sikap ini tidak konsisten dengan alasan hak angket bagi KPK dapat dilakukan DPR karena lembaga antirasuah itu dinyatakan sebagai bagian dari eksekutif.
Keanehan juga terlihat dalam pembahasan rancangan undang-undang. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 109 ayat 2, Pasal 112, dan Pasal 113 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib menentukan bahwa pembahasan RUU usul inisiatif anggota, komisi, atau gabungan komisi DPR disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional (Proleg-nas) prioritas tahunan. Prolegnas prioritas tahun 2019 sama sekali tidak mencantumkan revisi Undang-Undang KPK. Presiden dan DPR mengabaikan ketentuan tersebut agar revisi Undang-Undang KPK tetap terjadi.
Kejanggalan lain yang terungkap adalah pada saat pengesah-an revisi Undang-Undang KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 150 Tata Tertib DPR, pengambilan keputusan dapat dilakukan apabila dihadiri setengah dari separuh jumlah anggota DPR atau minimal 281 anggota hadir dari 560 anggota keseluruhan. Pada saat rapat paripurna pengesahan revisi Undang-Undang KPK, jumlah anggota DPR yang menghadiri sidang hanya 107 dan 182 lainnya menitip absen. DPR beralasan pengambilan keputusan dengan titip absen diperkenankan. Maka jumlah yang hadir menjadi 289, melebihi batas kuorum. Padahal eksplisit disebut dalam Tata Tertib DPR bahwa rapat paripurna harus “dihadiri” untuk dapat mengambil keputusan. Namun, dengan berbagai alasan, DPR tetap menyatakan rapat paripurna tersebut sah.
Berbagai keganjilan yang kasatmata itu kian lengkap dengan melihat pembahasan rancangan yang dilakukan pada masa sidang terakhir periode DPR 2014-2019. Kepercayaan diri DPR merevisi Undang-Undang KPK dalam waktu sidang yang sempit itu tidak akan ada tanpa sinyal persetujuan dari Istana. Sebab, tanpa persetujuan Istana, pembahasan revisi Undang-Undang KPK tidak akan mungkin terjadi.
Dengan mengurutkan kronologi tadi, sesungguhnya sedari awal Istana sudah terlibat dalam kejahatan legislasi ini. Presiden dan DPR mungkin bisa berkelit, tapi alat bukti lebih terang dari cahaya untuk membuktikan proses revisi Undang-Undang KPK bermasalah.
Pilihan tunggal
Presiden adalah harapan terakhir menyelamatkan KPK. Kealpaan revisi dapat diperbaiki Presiden dengan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Perpu itu akan menjadi nyawa baru bagi KPK.
Tapi menetapkan perpu tidak akan mudah. Partai-partai koalisi dan oposisi akan berupaya menghambat dengan berbagai cara. Dari tuduhan bahwa perpu tidak memenuhi syarat “hal ihwal kegentingan memaksa”, perpu adalah bentuk tidak menghormati partai dan DPR, hingga ancaman akan menjatuhkan Presiden melalui gugatan pemberhentian (impeachment).
Padahal perpu adalah hak subyektif presiden berdasarkan Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sifat kegentingan memaksa itu tidak selalu dalam keadaan darurat (misalnya perang), tapi juga dapat terjadi apabila kepentingan publik terancam (L. Elaine Halchin; 2019). Upaya pemberantasan korupsi tentu saja berkaitan dengan kepentingan publik. Mematikan KPK melalui revisi jelas merupakan tindakan yang akan merugikan upaya pemberantasan korupsi. Dengan alasan kepentingan publik itu saja telah cukup bagi Presiden untuk menetapkan perpu penyelamatan KPK. Apalagi jika alasannya dikaitkan dengan jumlah nyawa yang hilang dalam demonstrasi akibat revisi Undang-Undang KPK.
Menurut John Locke dalam Two Treatises of Government, presiden dapat menggunakan emergency powers-nya karena proses legislasi biasa tidak mampu membenahi keadaan genting atau undang-undang yang ada tidak mampu menjadi obat dari permasalahan yang timbul. Sejalan dengan pandangan Locke itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menentukan perpu dapat ditetapkan apabila: (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (ii) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tapi tidak memadai, dan (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Perpu adalah jalan terbaik membenahi revisi Undang-Undang KPK. Pilihan lain berupa pengujian revisi Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi berpotensi menjadi polemik baru. Setidak-tidaknya proses pengujian itu bermasalah karena dua hal, yaitu: pertama, kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi menurun jika terkait dengan pengujian Undang-Undang KPK. Terutama sejak Mahkamah Kons-titusi menyatakan DPR dapat mengajukan hak angket terhadap KPK.
Kedua, proses pengujian yang sedang berlangsung sangat janggal. Hal itu lantaran Mahkamah Konstitusi telah mulai menyidangkan pengujian undang-undang terhadap revisi Undang-Undang KPK yang belum diundangkan karena belum ditandatangani Presiden. Padahal rancangan undang-undang yang telah disahkan belum dapat dinyatakan sebagai undang-undang yang berlaku sebelum menempuh proses pengundangan dan pencantumannya dalam lembaran negara. Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang menguji rancangan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perlu ditanyakan alasan Mahkamah Konstitusi memajukan jadwal sidang pendahuluan pengujian revisi Undang-Undang KPK lebih cepat dua minggu dari jadwal yang telah ditentukan. Sebab, setelah Mahkamah menggeser jadwal sidang, seolah-olah gayung bersambut: beberapa politikus menyampaikan bahwa perpu tidak perlu diterbitkan karena proses pengujian telah berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Presiden rakyat
Presiden Joko Widodo telah menetapkan empat peraturan pemerintah pengganti undang-undang di sepanjang pemerintahannya. Keempat perpu yang diterbitkan itu tidak dalam kondisi riuh atau karena adanya nyawa warga negara yang hilang, yaitu (i) perpu KPK pada saat Bambang Widjojanto dan Abraham Samad menjadi tersangka, (ii) perpu informasi pajak, (iii) perpu kebiri, dan (iv) perpu organisasi kemasyarakatan. Penetapan perpu itu tidak diikuti ancaman impeachment karena presiden memang hanya baru dapat dijatuhkan kalau melakukan lima tindakan inkonstitusional, yakni korupsi, suap, pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela (misdemeanor).
Segala ancaman terhadap Presiden dalam menetapkan perpu tidak memiliki dasar hukum kecuali untuk menggertak. Keberanian memang dibutuhkan Presiden dalam keadaan genting. Menurut M. Khosla dan R. Sagar, sikap pemerintah yang berani diperlukan agar keputusan yang efektif dapat diterapkan pada saat genting (Elliot Bulmer; 2018).
Lebih dari itu, penetapan perpu akan memperlihatkan keberpihakan Presiden, apakah berpihak bersama rakyat menyelamatkan KPK atau tunduk pada partai politik. Perlu ditulis besar-besar, secara konstitusional, presiden adalah petugas rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo