Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap kali September tiba, kita berhadapan dengan ungkapan “Dalang Gerakan 30 September”. Majalah Historia menyebutkan gerakan itu tak hanya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), tapi juga oleh konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Kata “dalang” yang bermakna sebagai “orang yang mengatur (merencanakan, memimpin) suatu gerakan dengan sembunyi-sembunyi” dipilih karena ada keyakinan Gerakan 30 September memang diatur atau dikendalikan, bukan gerakan tanpa rekayasa.
Contoh penggunaan kata “mendalangi” bisa kita baca di Suratkabar.id. Dalam teks bertajuk “Inilah Fakta Mengejutkan Peristiwa G 30 S PKI, yang Diungkap oleh CIA” terdapat tulisan: “...CIA membuka arsip memo singkat harian untuk presiden… periode 1961-1965. Arsip-arsip mengenai upaya kudeta di Indonesia, yang selama ini disebut-sebut didalangi politbiro Partai Komunis Indonesia, termasuk jenis laporan rutin, disampaikan pada pemimpin Negeri Paman Sam.”
Namun “dalang” dan “mendalangi” bukan dua kata yang selalu digunakan untuk mengungkapkan keterlibatan Sukarno, Soeharto, atau PKI dalam Gerakan 30 September. Gatra.news pernah menulis, “Alhasil, Taomo menyebut Mao bukanlah arsitek kudeta G-30-S. Menurutnya, gerakan klandestin PKI-lah yang secara independen menyusun rencana.”
Dalam hal ini, kata “arsitek” yang bermakna sebagai “perencana (pencipta) suatu paham, negara, dan sebagainya” dipakai untuk menjelaskan betapa memang ada yang merancang atau merencanakan Gerakan 30 September, yang juga disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober).
Sebenarnya “mendalangi” dan “mengarsiteki” bersinonim dengan “menyutradarai”, “menskenariokan”, “merancang”, “menata”, “mendesain”, dan “memimpin”. Namun, dalam kasus G-30-S, para penulis dan jurnalis lebih sering menggunakan kata “mendalangi” dan “mengarsiteki”.
“Mendalangi” dan “mengarsiteki” digunakan, antara lain, karena ada unsur superioritas di balik kata “dalang” dan “arsitek”. Dalang begitu tampak digdaya saat memainkan wayang. Dia bisa menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Adapun arsitek begitu tampak berarti ketimbang profesi lain karena bisa membentuk apa pun menjadi bangunan yang gigantik atau bermakna. Karena itulah, ketika seseorang menulis “Mao bukanlah arsitek”, sesungguhnya dia hendak menegaskan pemimpin Cina itu sebagai sosok yang terhormat, berpengaruh, digdaya, tapi kejam.
Lebih luas dari itu, “dalang” dan “arsitek” atau “otak”, kata-kata yang semula netral, menjadi bermakna negatif, kejam, brutal, bengis, dan tak berperikemanusiaan ketika dilekatkan pada “G-30-S”.
Jangan lupa, kita juga kerap menggunakan kata “aktor”. Apa makna aktor di teks ini? Tentu bukan “pria yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film”, melainkan “orang yang berperan dalam suatu kejadian penting”.
Belakangan, kita menggunakan istilah “auktor intelektualis” (auctor intellectualis). Makna auktor intelektualis tidak jauh berbeda dengan arsitek, dalang, otak, penggagas, pencetus gagasan, atau orang paling penting di balik sebuah peristiwa. Lebih-lebih jika peristiwa itu rusuh, kacau, dan penuh huru-hara.
Apa beda aktor dan auktor? Auktor lebih punya kuasa daripada aktor. Auktor (yang juga lebih dekat dengan author) bisa meminta seseorang atau sekelompok orang memainkan sebuah peristiwa, sedangkan aktor menjadi pemain atau sosok yang disuruh memainkan sebuah skenario. Auktor bisa mengendalikan, sedangkan aktor dikendalikan.
Sampai di sini agaknya kita makin tahu betapa kemunculan kata dan pemaknaannya tidak pernah tercipta dalam ruang vakum sejarah. Orde Baru, dalam kasus “G-30-S”, tentu dengan politik bahasa yang dikembangkan, telah mengondisikan “dalang”, “arsitek”, dan “otak” menjadi kata-kata yang dimaknai secara negatif atau berbanding terbalik dengan makna asal. Parahnya, kita dikontrol dan dikendalikan untuk menggunakan kata-kata itu. Akibatnya, secara sadar atau tak sadar, kita ramai-ramai menggunakan “dalang”, “arsitek”, “otak”, “aktor”, dan “auktor intelektualis” sebagai kata-kata pilihan.
Hingga sekarang, kita belum bisa membebaskan kata-kata itu dari beban makna yang negatif. Tak ada cara lain, kita harus menjadi “otak” atau “auktor” dalam gerakan pembebasan makna ini.
*) Jurnalis, dosen Penulisan Kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo