Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seyogianya membahas ulang draf Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Rancangan yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 itu, yang batal disahkan DPR periode silam, memberikan begitu banyak kemudahan dan insentif bagi pemegang konsesi usaha sumber daya alam, tapi mengabaikan kepentingan orang ramai.
Terdapat sejumlah aturan yang sebaiknya dihapus atau dirumuskan kembali karena melanggar prinsip-prinsip keadilan. Di antaranya Pasal 172-D. Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciutkan luas wilayah konsesi badan usaha milik negara. Di sisi lain, Pasal 169 membuka peluang bagi pengusaha pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) untuk mengajukan permohonan perluasan wilayah usaha hingga di luar area konsesi mereka.
Dengan alasan untuk memberikan kepastian usaha bagi investor, RUU ini “merampok” privilese BUMN yang merupakan perpanjangan tangan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Menurut undang-undang yang lama, BUMN diberi prioritas mengelola area yang kontrak tambangnya telah berakhir. Dalam versi revisi, pemegang kontrak karya dan PKP2B mendapat perpanjangan otomatis selama sepuluh tahun.
Sedemikian banyaknya aturan yang semata-mata menguntungkan pengusaha memunculkan kecurigaan ada kepentingan pemilik konsesi tambang dalam undang-undang ini. Hal lain yang tampaknya disusun untuk kepentingan pengusaha tambang adalah Pasal 40, yang membolehkan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memiliki lebih dari satu IUP di wilayah yang sama. Lalu, dengan mengabaikan aspek keselamatan masyarakat, Pasal 99 mengizinkan lubang bekas tambang dipakai buat kepentingan lain, sehingga penambang boleh mengesampingkan kewajibannya melakukan reklamasi. Sedangkan Pasal 93 membuka peluang bagi pengusaha untuk melakukan jual-beli IUP, hal yang dilarang dalam Undang-Undang Minerba lama.
Yang juga celaka, RUU ini memungkinkan pengusaha tambang mengkriminalkan masyarakat umum dan aktivis lingkungan. Pasal 162 menggariskan amar pidana hingga satu tahun penjara bagi setiap orang yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan pemegang kontrak.
Tidak mengherankan, pembahasan ulang RUU Minerba menjadi salah satu poin tuntutan mahasiswa dalam demonstrasi-demonstrasi di berbagai kota sejak dua pekan lalu. Selain itu, mahasiswa menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Statemen Ketua Panitia Kerja RUU Minerba Ridwan Hisyam—juga Wakil Ketua Komisi Energi DPR periode lalu—bahwa mereka tidak akan membuka diskusi dengan masyarakat lantaran telah melakukan uji publik pada 2017 terdengar sangat jemawa.
Keputusan Presiden Joko Widodo menunda pembahasan perubahan Undang-Undang Minerba patut diapresiasi. Perbaikan undang-undang tentu saja boleh dilakukan. Tapi pemerintah dan DPR mesti memastikan niat tersebut tidak ditunggangi kelompok tertentu. Yang paling penting, revisi Undang-Undang Minerba tidak boleh memunggungi kepentingan orang banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo