Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang perempuan muda, berdiri di antara ratusan demonstran, dengan kacamata hitam sedikit melorot dan sikap yang cuek tapi tampak yakin, mengangkat sebuah poster. Di sana tertulis dengan huruf besar: “Selangkanganku Bukan Milik Negara”. Sepasang pemudi berjilbab membawa poster berbeda: “Ada yang berdiri tegak. Tapi itu bukan keadilan. Itu titit”. Seorang cewek muda lain menyatakan pikirannya dalam bahasa Jawa; terjemahannya: “Apa benar, urusan vagina dan ranjangku diurus Negara juga?”.
Mereka, bersama ribuan mahasiswa Indonesia hari-hari ini, memprotes rencana pengesahan sebuah undang-undang yang mencerminkan kehendak parlemen dan pemerintah untuk mengatur perilaku warga negara dalam hal-hal yang sangat privat. Kata-kata yang mereka pilih sengaja melanggar apa yang biasanya disebut “bahasa sopan” — dan nyonya-nyonya terhormat pun menganggap itu jorok.
Yang tak disadari para tuan dan nyonya, anak-anak muda itu justru memperlihatkan bahwa “bahasa sopan” sebenarnya sebuah remote control yang bertahun-tahun mengendalikan pikiran agar selalu tunduk kepada hipokrisi yang dilazimkan. Seperti Chairil Anwar.
Di tahun 1945 Chairil meloncat dalam ethos revolusi, meninggalkan suasana burgerlijk dan priayi kolonial, dan berseru: “Aku ini binatang jalang....”
Ia tahu kata “jalang” mengguncang. Ia tahu kita memerlukan syok. Ia tahu syok itu meruntuhkan tirai yang menutup pandangan kita, hingga kita mampu memasuki sebuah masa yang semula tak terpikirkan.
Saya kagum. Saya terkesima bahwa seperti Chairil, kini sebagian generasi muda perempuan Indonesia dengan tangkas menunjukkan ada yang berbahaya dan keliru ketika dunia mereka dikendalikan pelbagai teknik remote control. Ketika diasumsikan “jorok”, Negara pun mengklaim wewenang membereskannya. Para cewek cemerlang itu menunjukkan klaim itu sebenarnya sebuah ambisi yang melampaui batas. Juga sebuah ilusi.
Negara, kata Nietzsche, adalah monster yang paling dingin. “Dengan dingin pula ia berdusta, dan dusta ini merayap keluar dari mulutnya: Aku, Negara, adalah rakyat”. Tapi pada saat itu, rakyat disisihkan.
Sebab “rakyat” (das Volk) adalah himpunan yang tak tepermanai, selalu akan datang, tak kunjung bisa diikhtisarkan, juga oleh Negara. Rakyat adalah hidup yang bergerak. Sementara itu, kata Nietzsche, dalam Negara, yang disebut “hidup” adalah “bunuh diri pelan-pelan dari semuanya”.
Dengan kata lain, Negara adalah sebuah tata yang bertolak dari anggapan bahwa ia bisa mengatur—dengan kata lain menguasai—pelbagai hal yang belum bunuh diri, seperti anak-anak berkhayal menguasai pertempuran serdadu fantastis dalam game di layar komputer, atau lalu lintas di sebuah meja tempat kereta api mainan bergerak antara terowongan dan stasiun miniatur. James Scott dalam bukunya yang mencerahkan dan mengasyikkan, Two Cheers for Anarchism, menyebut tendensi ini sebagai “the miniaturization of order”, tata yang dibayangkan dalam bentuk yang diperkecil.
Dengan itu dibayangkan ia bisa diterapkan dalam skala yang berjuta kali lebih besar. Padahal di sana pelan-pelan segala hal dianggap tak punya daya. Praktis mati.
Slavoj Žižek pernah menceritakan satu anekdot: seorang warga negara Yunani yang malang, katakanlah namanya X, mengirim surat ke kantor pemerintah berkali-kali selama berbulan-bulan, mengadu; uang pensiunnya belum juga datang. Kantor pemerintah akhirnya menjawab: yang menyebabkan uang pensiun itu terlambat adalah X sudah mati.
Ajaib? Mungkin tidak: di arsip pemerintah, X bukan lagi seseorang yang ingin makan, melainkan sebuah titik simbolik dalam jaringan administrasi. Jika titik itu terselip, Negara memutuskan X tak pernah ada.
Tentu saja, itu dusta yang sewenang-wenang. Warga negara bukan titik simbolik. Dengan wkelaparan, kekenyangannya, dengan kehidupan religius dan seksualnya, ia sejarah yang belum selesai. Ia bisa dicatat, diberi label, dimasukkan ke golongan penduduk tertentu, tapi sebagian besar dari dirinya tak pernah tertangkap. Yang disebut “dunia privat” sebenarnya batas dinamis seseorang sebagai Antah-berantah.
Selangkangan, titit, vagina adalah bagian-bagian yang sebenarnya tabu untuk disebut, atau harus dibahasakan dengan “sopan”, karena mengandung sesuatu yang mempesona, merangsang, menjijikkan, mencemaskan: Antah-berantah.
Walhasil, sungguh sebuah ilusi untuk membuat undang-undang yang mengatur Antah-berantah. Negara dengan para birokratnya yang bekerja delapan jam sehari mustahil tahu benar adakah laku seksual seseorang berdasar cinta kasih, atau kehendak dominasi, atau submisi, atau iseng. Si pelaku sendiri sering tak sadar.
Agama bisa saja hendak mengatur itu. Setidaknya agama berasumsi dibantu Tuhan yang Mahatahu yang bisa menentukan “dosa” atau bukan. Tapi ketika Negara mengadopsi asumsi agama, dan mencoba mengendalikan dunia Antah-berantah, dan memberikan hukuman, ia pun menggigit—tapi dalam kiasan Nietzsche, “menggigit dengan gigi curian”.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo