TIDAK ada satu jenis obat pun yang 100 persen aman bagi kesehatan kita. Obat kimia, obat tradisional, sama saja. Betapapun ringan obat itu, misalnya obat-obatan yang bisa didapatkan tanpa resep, selalu ada efek samping. Soalnya, apakah efek samping itu seketika Anda rasakan atau baru Anda rasakan 20-30 tahun kemudian. Kita semua cenderung melupakan efek itu. Di mata kita, obat adalah "dewa pe-nolong" yang selalu kita kejar, berapa pun harganya. Tentu, yang kita diskusikan di sini adalah obat yang mutunya tinggi, dihasilkan lewat proses produksi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sialnya, Republik Indonesia bukan pulau sejengkal yang gampang diawasi. Di sini, di sekitar kita, hiduplah para pemalsu obat yang menangguk untung gede dan membiarkan mereka yang sakit dan mengonsumsi obat menjadi lebih sengsara. Ada juga pemalsu yang merasa lebih "manusiawi", mereka hanya mengurangi mutu obat yang asli dalam kemasan palsunya (obat substandar).
Padahal, dampaknya sama saja. Bila anak Anda flu dan tidak sembuh-sembuh karena ternyata yang diminum obat substandar, daya tahannya bisa memburuk. Sangat mungkin ia dijangkiti superinfeksi, infeksi tambahan akibat kuman lama tidak tuntas dibasmi. Yang terjadi bisa bronkopenomeni, radang paru-paru. Akibat terburuk: kematian. Toh pemalsuan obat tak pernah reda.
Caranya banyak. Selain mengurangi mutu bahan baku, si pemalsu memakai bahan tak memenuhi syarat. Ada yang memalsu dengan bahan pengganti (plasebo) atau juga bahan berkhasiat yang berbeda. Bahkan, investigasi majalah ini menemukan obat sedot untuk penangkal asma yang ternyata isinya cat!
Yang dipalsu juga hampir semua jenis obat, termasuk obat yang diresepkan alias masuk daftar G. Yang terbanyak dari jenis antibiotik dan analgetik. Pokoknya, yang berbentuk pil atau kapsul (oral) maupun cairan (injeksi), semuanya ada "versi palsu"-nya.
Repotnya lagi, pemalsuan itu bukan hanya terjadi di negeri ini. Bahkan obat palsu luar negeri pun diselundupkan masuk ke sini—ini berbeda dengan obat asli luar negeri yang cara masuknya ilegal. Yang palsu dan yang "asli tapi ilegal" dari luar negeri ini saja sebulannya merugikan negara, kabarnya, sekitar Rp 30 miliar.
Toh semua ini bukan cerita baru. Pada 1988, Departemen Ke-sehatan sampai perlu mengeluarkan radiogram ke semua provinsi, mengingatkan merebaknya pemalsuan obat. Gabungan Peng-usaha Farmasi sudah menengarai ada pemalsuan obat yang serius pada 1991. Bahkan, ada kabar bahwa sebuah pabrik obat asing sempat menyewa detektif pensiunan FBI untuk mengungkap lika-liku obat palsu di sini. Hasilnya nol besar.
Tapi kali ini persoalan agaknya kian serius. Krisis ekonomi sejak 1997 telah meng-gerogoti daya beli rakyat. Mereka yang tak mampu akhirnya memilih membeli obat di warung, kios, atau toko obat pinggir jalan. Padahal, di "apotek kaki lima" itulah sarang obat palsu.
Investigasi TEMPO menemukan angka yang agak fantastis, diduga 20-30 persen obat yang beredar di negeri ini palsu. Kalau nilai obat yang beredar seluruhnya sekitar Rp 10 triliun, berarti nilai yang tidak asli itu bisa mencapai Rp 2-3 triliun. Para pejabat menganggap nilai ini terlalu besar, tapi yang tak bisa dielakkan: distribusi obat palsu sudah mencapai titik yang membahayakan.
Tak percaya? Sesekali jalan-jalanlah ke Pasar Pamuka di Jakarta atau Pasar Atom dan Kembang Jepun di Surabaya. Di toko-toko obat yang berjejer, Anda bahkan bisa menebus resep dokter dengan harga "miring". Di kota-kota besar, di kios obat gampang benar ditemui obat yang seharusnya dibeli dengan resep dokter. Bahkan, sudah jadi rahasia umum, apotek pun kerap menjual obat daftar G tanpa resep dokter.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Surabaya dalam dua tahun terakhir ini saja sudah menemukan 40 merek obat yang dipalsukan. Pihak POM di Jakarta sudah meminta sejumlah obat dihentikan produksinya—misalnya penisilin untuk kulit atau sulfanilamide—tapi di pasaran obat itu masih bisa dicari dengan mudahnya. Artinya, apa lagi kalau bukan barang palsu.
Melibatkan pabrik besar untuk membabat obat palsu repot sekali. Reaksi mereka jika obatnya dipalsu juga "tak sehat". Biasanya, selama kandungan obat substandar masih sekitar 80 persen dari aslinya, pabrik memilih tutup mulut ketimbang citra pabriknya hancur kalau soal itu ia bongkar. Repotnya, jika mereka memasang iklan layanan masyarakat, memberi tahu bahwa mereknya dipalsu, pihak POM belum tentu mengizinkan. Alasannya, bisa saja iklan itu jadi alat promosi terselubung.
Jadi, apa yang harus kita lakukan agar selamat dari obat palsu?
Ya, jangan pernah sakit di negeri ini. Kalimat terakhir itu jelas cuma guyonan seorang sumber TEMPO yang kesal melihat pesatnya peredaran obat palsu. Saran yang serius, jangan beli obat di luar apotek, apalagi obat yang harus "ditebus" dengan resep dokter. Di apotek memang tak sepenuhnya aman, tapi paling tidak Badan POM secara berkala mengawasi apotek, dan bagi apotek yang melanggar, izinnya bisa dicabut. Belum lama ini POM menindak tiga apotek yang diketahui menjual obat-obatan tak terdaftar.
Saran lain, ingat iklan obat generik: yang penting obatnya, buat apa beli mereknya. Mintalah pada dokter Anda obat generik. Dalam soal obat generik ini, reputasi Indonesia di mata Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sangat baik. Malah, Indonesia mengekspor obat generik ke Malaysia dan beberapa negara Afrika. Karena obat dengan logo generik ini tak boleh dipromosikan, peluang untuk dipalsukan jelas lebih kecil.
Sementara itu, mengharapkan "apotek kaki lima" dibasmi juga tak mudah. Operasi yang diadakan POM yang bekerja sama dengan polisi biasanya "bocor" duluan—entah siapa yang membocorkannya. Kalau tidak, pak polisi malah jadi beking perdagangan obat di kaki lima itu.
Kalaupun sweeping membuat pemalsu berurusan dengan pengadilan, vonisnya pun sangat ringan. Paling-paling cuma kena denda Rp 200 sampai Rp 300 ribu.
Agaknya, sudah saatnya ada lembaga masyarakat independen yang mengawasi soal obat ini. Lembaga ini bisa menampung keluhan masyarakat tentang obat, melakukan pengujian mutu obat, dan secara berkala menerbitkan laporan kepada publik. Lembaga ini harus bebas dari pengaruh pabrik obat, bekerja sistematik untuk memperbaiki mutu obat kita, dan bukan malah mencari-cari keuntungan dari jutaan manusia yang setiap hari mengonsumsi obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini