KEHIDUPAN artis memang serba wah. Semakin populer mereka, semakin glamor penampilannya di muka umum. Mobilnya paling murah BMW. Pelawak yang di panggung sangat sederhana, katakanlah Leysus atau Basuki atau Eko Patrio, memiliki rumah yang menjadi contoh "rumah idaman" yang disorot kamera televisi. Apalagi artis penyanyi. Pakaiannya berharga jutaan rupiah. Dan setiap kali pentas, berganti pula pakaiannya. Banyak yang haram memakai baju yang sama untuk dua kali pementasan.
Kabarnya, ini yang membuat ngiler petugas pajak. Artis dikumpulkan, diberi penataran. Masalah yang muncul adalah begitu rumitnya prosedur penghitungan obyek pajak. Jangankan artis, banyak pengusaha kecil yang bingung mengisi SPT tahunan.
Artis, seperti halnya penulis kolom, pengarang cerita pendek, penulis buku, dan lainnya, mendapat honor dari produser atau penerbit. Honor yang diterima itu sebenarnya sudah langsung dipotong pajak. Itu seperti kita makan di restoran, yang sudah dikenakan pajak. Tapi apa buktinya kita sudah membayar pajak? Apakah produser, penerbit, dan pemilik restoran pernah dan selalu memberikan bukti slip pemotongan pajak yang biasa disebut withholding tax?
Rumitnya lagi bagi artis, seperti yang sudah ditanyakan tapi aparat pajak tak siap menjelaskan, apakah biaya membeli baju, lipstik, dan sepatu serta bayaran untuk sopir dan pengawal tidak bisa disamakan dengan biaya produksi atau biaya pemasaran jika dianalogikan dengan pembukuan sebuah perusahaan? Untuk pengarang, misalnya, apakah biaya membeli kertas, membeli tinta printer, dan mengirim e-mail tidak bisa dipotong sebagai biaya produksi sehingga penghasilan yang dia terima sesungguhnya masih penghasilan kotor? Baju bagi penyanyi dan kertas bagi penulis (sekarang mungkin disket) bukanlah barang konsumsi.
Untuk hal seperti ini, harus dibuatkan pedomannya lebih awal sebelum menguber mereka. Kalau aturannya jelas, artis, seperti halnya profesi lainnya, tentu tak keberatan membayar pajak. Orang bijak taat membayar pajak, begitu bunyi stiker. Mereka tentu senang jika disebut sebagai orang bijak.
Bukan cuma artis, semua profesional layak diuber aparat pajak. Masalahnya adalah apakah aparat pajak sudah cukup gencar menguber pengusaha yang memang aturan membayar pajaknya sudah lebih jelas. Jumlah pengusaha di Indonesia konon mencapai 40 juta. Yang besar memang kecil sekali, katanya hanya 0,01 persen. Katakanlah pengusaha menengah dan kecil jumlahnya 39 juta. Jika semuanya taat membayar pajak, sudah berapa triliun pajak yang masuk.
Upaya memperbesar jumlah wajib pajak memang harus di-lakukan. Namun, yang lebih penting dari semua ini, peraturan perpajakan harus dibenahi. Bukan saja agar penyanyi Krisdayanti—yang bersedia taat bayar pajak—paham mengisi SPT, tapi juga untuk mencegah pengusaha besar memainkan obyek pajaknya. Kalau semuanya transparan, manipulasi bisa diminimalkan, target pajak dalam APBN 2001 sebesar Rp 156 triliun bukanlah pekerjaan yang berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini