Operasi militer itu sungguh berlebihan dan menggelikan. Bayangkan, puluhan serdadu bersenjata, berasal dari satuan elite SAS, menyerbu ke laut untuk menduduki sebuah kapal tanker yang dipenuhi ratusan pengungsi tak bersenjata. Bahkan sebagian besar adalah anak-anak dan wanita, termasuk yang sedang hamil. Para serdadu itu lantas mengambil kendali dan memastikan kapal MV Tampa yang berbendera Norwegia itu tak melabuh ke perairan teritorial Australia.
Yang lebih menggelikan dan tak masuk akal adalah diplomasi ofensif yang kemudian dilakukan pemerintahan John Howard. Perdana Menteri Australia ini menyalahkan Indonesia, oleh karena itu meminta Jakarta mengurus 434 pengungsi yang ada. Alasannya, para pengungsi itu berada di atas perahu berbendera Indonesia yang akan karam ketika ditolong MV Tampa. Padahal, para imigran gelap itu tak ada yang mau ke Indonesia, mereka ingin ke Australia. Jakarta, yang sedang sibuk mengurus 1,3 juta pe-ngungsi lokal dan berupaya mengatasi krisis, tentu menolak usul itu.
Untunglah, tak semua negara maju bersikap seperti Australia. Selandia Baru, yang mengkritik kebijakan negara jirannya itu, menyatakan akan menampung para pengungsi sampai urusan legal mereka selesai. Norwegia, yang menuduh pasukan Australia membajak kapal milik warganya, juga menawarkan tempat bagi sebagian pengungsi. Bahkan Nauru, negara pulau kecil di Pasifik, turut menawarkan jasa baik yang sama.
Australia, yang wilayahnya jauh lebih besar ketimbang Selandia Baru, Norwegia, dan Nauru—bahkan kalau ketiganya digabungkan menjadi satu—sepatutnya mempertimbangkan kembali kebijakannya terhadap manusia perahu. Soalnya, jumlah imigran gelap melalui laut ini jauh lebih kecil ketimbang yang datang lewat udara sebagai turis lalu tetap menetap kendati izin tinggalnya kedaluwarsa. Tapi mengapa reaksi Canberra terhadap manusia perahu begitu keras? Sulit untuk tidak bercuriga bahwa tak ada unsur rasisme di belakang kebijakan ini. Seandainya orang-orang malang di perahu itu berasal dari Irlandia atau Skotlandia, akankah Howard bersikap sama kerasnya?
Canberra juga perlu memikirkan ulang kecenderungannya untuk menyalahkan Indonesia dalam urusan manusia perahu ini. Ketimbang menghabiskan banyak energi dan goodwill yang membuat Indonesia jengkel, sebaiknya Australia lebih mengupayakan kerja sama internasional untuk mengatasi masalah pengungsi, termasuk membantu pengungsi lokal di Indonesia agar dapat kembali ke tempatnya semula. Sebab, kalau nasib mereka tak ditangani dengan baik, Australia akan repot. Bukan tak mungkin, di masa depan, mereka akan memilih berlayar ke Negeri Kanguru daripada merana di negeri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini