KETIKA kita dengar suara Oedipus dengan pedih mengerang, ketika ia merangkak meninggalkan istana, apa sebenarnya yang kita dengarkan? Sebuah penderitaan, tapi juga kepahlawanan. Sandiwara yang berumur sekitar 2.300 tahun ini, ditulis oleh Sophocles di Yunani kuno, memang sebuah lakon yang kelam, seperti warna darah yang tua. Ia menunjukkan seorang yang berdosa, tapi sekaligus dengan seikat niat yang luhur. Keunggulan Sophocles ialah bahwa ia bisa memukau kita dari tahap ke tahap, karena ia menampilkan tokoh yang menggugah dalam pelbagai sudutnya, lewat ketegangan sebuah kisah Perry Mason. Pada mulanya Oedipus memang mirip cerita detektif, sebuah cerita pengusutan kejahatan. Suatu hari, dalam sebuah perjalanan, Raja Laius dari Kota Thebes terbunuh. Pembunuhnya tak diketahui. Beberapa belas tahun kemudian, Thebes mempunyai seorang raja baru, Oedipus namanya. Ia datang sebagai orang asing, yang melarikan diri untuk menghindar dari nasib yang dinujumkan kepadanya: bahwa ia suatu hari nanti akan membunuh bapaknya serta menikahi ibunya sendiri. Di Thebes, ia dinobatkan karena ia berhasil mengalahkan Sphinx yang meneror penduduk. Bertahun-tahun setelah ia memerintah, Thebes diserang sampar dan malapetaka. Rakyat gelisah, dan para pendeta pun menunjukkan satu cara penyelamatan: Thebes akan pulih, bila orang yang membunuh Laius, ditemukan dan dihukum. Oedipus, sang raja, menerima tuntutan itu. Ia jadi pengusut, dan (sesuai dengan zamannya) sekaligus jadi hakim. Yang tragis ialah bahwa pengusutan itu kemudian menunjukkan bahwa ia sendiri sang penjahat. Sebuah karya seni yang besar, konon, adalah sebuah karya yang bisa menimbulkan dialog baru dengan kita tiap kali kita menikmatinya lagi: ia datang kepada kita dengan nas yang lain, sebuah mutiara tersembunyi lagi, yang dulu belum kita temukan. Juga setelah 2.300 tahun. Rasanya, kita perlu berterima kasih kepada Rendra, yang telah menerjemahkan lakon ini untuk bangsanya, dan -- melalui waktu hampir seperempat abad, sejak 1964 -- telah tiga kali menghadirkannya ke pentas, dengan versi yang berlainan, tapi dalam keindahan yang tak lekang. Keindahan itu juga bagian dari makna baru Oedipus bagi kita kini: kita tergetar, menyaksikan seseorang yang gagal melawan desain para dewa yang telah ditentukan baginya. Kita tergetar, menyaksikan seorang yang mau menyingkapkan kebenaran, dan bersikeras untuk mengetahui, biarpun ia tahu pengetahuan itu akan membuatnya jebol. Dengan kata lain, kita tergetar karena bersentuhan dengan sebuah semangat yang, dalam arti tertentu, "modern" -- dengan jantung yang terkuras. "Aku ada", kata Oedipus melalui Rendra, "rahasia adaku mesti kudapatkan." Kalimat itu diucapkan dengan suara yang secara spesial dibuat bergelora di atas pentas Rendra. Di tahun 1964, saya mendengarnya seperti sebuah teriakan eksistentialis, di tengah-tengah suasana yang tenggelam dalam desakan kolektif yang diberi nama "semangat revolusioner", gaya PKI. Di tahun 1987, saya mendengarnya seperti sebuah jerit keberanian di depan kemungkinan yang paling mengerikan. Kemungkinan yang paling mengerikan itu, bagi Oedipus, ialah tersingkapnya kenyataan bahwa dialah orang yang menyebabkan bencana, karena telah membunuh Laius -- yang tak lain adalah ayahnya sendiri -- dan kemudian mengawini Iocasta, istri Laius, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Sungguh mengagumkan Oedipus bahwa ia tak hendak mundur dari penyingkapan yang terkuak setahap demi setahap itu. Artinya, ia tak hendak mengikuti sikap Iocasta. Wanita ini, diperankan kali ini oleh Zoraya Perucha dengan vokal dan penampilan yang bagus sekali, memilih untuk lebih-baik-tidak-tahu. Iocasta takut. Tapi Oedipus adalah sebuah sikap yang penuh rasa ingin tahu, dan juga, sebuah sikap konsisten dalam perannya sebagai pengusut dan sang hakim. Dalam arti itulah ia seorang keras kepala dengan semangat modern. Semangat itu adalah semangat melawan nujum dan nasib, meskipun ternyata kalah. Semangat itu juga semangat meletakkan diri di bawah hukum: sebenarnya ia bisa, sebagai raja dan sekaligus hakim di zaman itu, menghentikan pengusutan yang bisa mencelakakan dirinya. Ia bisa menyingkirkan bukti dan saksi. Ia bukannya orang yang sama sekali bebas dari kecenderungan paranoia yang lazim pada seorang tiran (judul asli lakon ini adalah Oedipus Tyrnnus) yang cepat mencurigai orang di sekitarnya sebagai calon pendongkel ia mencurigai Kreon. iparnya, orang No. 3 di Thebes. Tapi kelebihan Oedipus ialah bahwa ia bersedia menerima saksi yang paling tak menguntungkan, dan bahwa ia -- di akhir yang dahsyat -- mau menjatuhkan hukuman kejam kepada dirinya sendiri. Sebab itulah ketika kita mendengar ia mengerang, setelah ia menusuk bola matanya sendiri berkali-kali dengan peniti, hingga buta, kita menyaksikan sebuah heroisme. Oedipus berdosa tapi tak bersalah. Ia hanya kalah -- oleh apa yang oleh orang Yunani disebut Dike, rancangan takdir. Dengan itu pula ia jadi sebuah kasus kepahlawanan modern, justru dalam keterbatasannya menghadapi nasib itu. Keterbatasan di dalam titik tawakal. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini