Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Babi Ngepet dan Budaya Tanding Akar Rumput

Kisah babi ngepet dan sejenisnya adalah budaya tanding masyarakat atas fenomena kaum elite. Lebarnya jurang si kaya dan si miskin.

3 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat dikejutkan oleh kabar penangkapan seekor babi oleh warga Kota Depok.

  • Narasi kebudayaan yang berhubungan dengan dunia mistik atau klenik ini banyak muncul.

  • Ini merupakan sebentuk budaya tandingan masyarakat akar rumput.

Aris Setiawan
Etnomusikolog dan pengajar di ISI Surakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh kabar penangkapan seekor babi oleh warga Kota Depok, Jawa Barat. Babi itu disebut-sebut sebagai babi ngepet, hewan jadi-jadian jelmaan manusia dalam mencari pesugihan. Sebelumnya, masyarakat juga dihebohkan oleh penjual bakso cuanki yang meludahi mangkuk sebelum menyajikan dagangannya. Ternyata dia melakukannya sebagai laku ritual atas perintah dukun agar dagangannya semakin laris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Narasi kebudayaan yang erat bersentuhan dengan dunia mistik atau klenik ternyata masih lekat dalam kehidupan masyarakat kita hingga saat ini. Pertanyaannya, saat zaman telah berkembang dengan begitu pesat dan dunia ilmu pengetahuan serta teknologi mengabarkan berbagai hal tentang keilmiahan dan rasionalitas, toh hal itu tak menyurutkan konstruksi kebudayaan masyarakat kita dengan mengkultuskan nalar ritual yang transenden.

John Pemberton, dalam bukunya On The Subject of "Java" (2003), memandang peristiwa demikian sebagai upaya masyarakat akar rumput yang miskin untuk mendapatkan eksistensi dan pengakuan di balik ketimpangan hidup. Ini sebentuk "budaya tanding" di kala mereka tak mampu menjangkau hidup bergelimang harta sebagaimana kaum bangsawan serta artis Ibu Kota yang saban hari pamer harta di media sosial dan televisi.

Jejak Budaya Tandingan

Kisah yang demikian sejatinya telah berlangsung lama. Saat keraton Mataram Islam Jawa mengekalkan ritus pertemuan antara raja dan Ratu Pantai Selatan sebagai sebuah cermin tradisi besar dari "kebudayaan adiluhung", masyarakat kecil menirunya dengan membentuk budaya tandingan. Sementara Ratu Pantai Selatan dipercaya mampu memberikan ketenteraman dan kehidupan yang baik dalam tembok keraton, masyarakat melakukan hal serupa dengan membuat mitos-mitos tentang penghuni sendang, pohon, sumur tua, dan kuburan yang juga dianggap memiliki serpihan-serpihan kekuatan Ratu Pantai Selatan.

Pemberton mengisahkan ihwal mitos Mbah Meyek di Kampung Bibis Kalang, Solo, yang berdiam dalam sumur tua. Untuk membawanya agar tampak sepadan dengan mitos Ratu Pantai Selatan, ritual-ritual digelar dengan harapan agar roh (Mbah Meyek) dapat memberi berkah dan keselamatan hidup bagi masyarakat sekitar (sebagaimana yang dilakukan Ratu Pantai Selatan pada keraton). Begitu juga saat keraton berpesta dengan minuman keras mahal yang didatangkan dari Eropa, masyarakat menirunya dengan membuat minuman lokal (ciu, arak) yang tak kalah memabukkan.

Dalam konteks kesenian, kita dapat melihat bagaimana ekspresi kultural masyarakat gunung membuat "simulakra" tentang kisah prajurit-prajurit keraton yang tangguh. Sebutlah misalnya kuda lumping (jaran kepang) yang menggambarkan kemahiran prajurit keraton dalam berkuda. Hanya saja kuda itu disimplifikasi dengan anyaman bambu. Artinya, apa yang dilakukan oleh masyarakat kecil (kebudayaan alit) adalah cerminan dari kultur masyarakat elite (kebudayaan ageng). Zaman boleh berganti, tapi budaya tandingan itu masih ada hingga kini.

Sementara itu, kita juga melihat akhir-akhir ini hampir semua daerah di Jawa melakukan grebeg tumpeng sebagai peringatan ulang tahunnya. Ini sebuah peristiwa yang sebelumnya hanya ada di lingkungan keraton. Kalangan elite (penguasa atau pemimpin daerah) berusaha memberikan mimpi ilusif temporer tentang solusi atau jalan keluar dari keterimpitan hidup bagi rakyatnya. Tumpeng itu dipercaya dapat memberi berkah bagi kehidupan dan yang sakit dapat sembuh. Bangunan nalar seperti itu sebenarnya berlangsung secara masif dan diwariskan secara turun-temurun sejak Orde Baru.

Puncaknya, ketika Keraton Kasunanan Surakarta terbakar pada 1985 dan banyak ramalan yang menyebutkan bahwa legitimasi keagungan keraton telah berakhir, Soeharto justru menginstruksikan sebaliknya. Bangunan yang roboh didirikan ulang dan kayu diganti dengan tembok-tembok berbeton. Ritual-ritual harus dipertahankan dan bahkan cenderung lebih masif. Hanya, bangunan dan ritual itu adalah wujud pengekalan imajinasi tentang sosok Soeharto sebagai penyelamat negeri ini. Jika demikian, bukankah ritual perebutan tumpeng di berbagai daerah itu sebenarnya adalah pengekalan penguasa terhadap rakyatnya?

Tentu kita masih ingat fenomena Ponari di Jombang, beberapa tahun lalu. Itu adalah contoh yang menarik. Di saat biaya berobat ke rumah sakit dan dokter begitu mahal, yang hanya dapat dijangkau oleh kalangan berduit, masyarakat menempatkan Ponari dengan batu magisnya sebagai budaya tandingan. Sebagaimana kisah sumur keramat di atas, batu dari Ponari dianggap mujarab menyembuhkan berbagai macam penyakit. Ribuan orang mengantre saban hari dengan membawa sebotol air agar dapat tercelup oleh batu itu. Mereka percaya batu tersebut membawa peruntungan dan Ponari seorang utusan Tuhan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk upaya melawan atau menandingi konstruksi kebudayaan kaum elite berduit sekaligus menunjukkan ketimpangan besar antara si kaya dan si miskin.

Jangan lupakan juga Dimas Kanjeng Taat Pribadi dari Probolinggo, yang dianggap mampu menggandakan uang sebanyak yang ia mau. Ia memiliki ribuan pengikut yang percaya bahwa kekayaan dapat diraih dalam waktu sekejap. Hal ini juga merupakan upaya tandingan kaum masyarakat akar rumput.

Saban hari masyarakat menyaksikan dan mendengar peristiwa tentang kekuasaan, uang, dan korupsi. Di layar kaca, sinetron, film-film, tontonan, dan berita berkisah tentang kekayaan dan kehidupan yang glamor. Bahkan tidak jarang kepada mereka dipertontonkan kisah pejabat-politikus dengan harta melimpah, walau tak sedikit yang didapat dari hasil korupsi. Hal terakhir itu setidaknya menjadi penting untuk diperhatikan. Masyarakat merasa haknya telah diambil dan dirampas (dikorupsi). Fenomena mendapatkan uang secara instan dalam waktu yang cepat (korupsi) telah ditampilkan secara jamak dan menjadikan masyarakat kecil melakukan "perlawanan" serupa.

Polemik tentang babi ngepet hadir bukannya tanpa alasan. Peristiwa itu terjadi atau sengaja diembuskan di kala negara tidak mampu memberi jaminan akan kepastian hidup dan keberpihakan kepada mereka. Melihat fenomena tersebut, kiranya tak cukup jika hanya dibaca dalam konteks kepastian hukum (salah dan benar), tapi hal itu juga menjadi catatan penting tentang kultur, keadaban, kemanusiaan, dan "budaya tandingan" masyarakat kecil dalam melawan hegemoni kapitalisme dan ketidakadilan hidup di bawah naungan bendera bernama "ritual".*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus