Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana penerapan pajak sembako menuai kritik.
Landasan hukum penerapan pajak ini masih abu-abu.
Penerapan pajak sembako akan mempersulit kehidupan masyarakat.
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan Komite Pendayagunaan Pertanian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan menyulut kontroversi. Pelbagai upaya klarifikasi yang dilakukan pemerintah tak mampu meredam keadaan. Berbagai kritik pedas, bahkan hujatan, dialamatkan ke pemerintah. Intinya, pemerintah dinilai tidak sensitif terhadap derita rakyat, yang didera pandemi Covid-19 yang belum jelas ujungnya dan telah memukul daya beli serta melumpuhkan ekonomi dan daya tahan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, pemerintah baru memberi penjelasan yang agak terang. Pertama, pengenaan PPN itu baru rencana. Rencana itu pun hanya bagian kecil dari rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kajiannya dilakukan sebelum masa pandemi dan baru akan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika pembahasan selesai pun, pajak ini tak akan dieksekusi sebelum masa pandemi usai.
Kedua, pajak bahan pokok atau "sembako" itu akan menyasar produk premium. Daging, misalnya, yang terkena PPN adalah daging kelas wagyu ke atas. Jika dijadikan steak, daging jenis ini harganya bisa mencapai Rp 1,5 juta per porsi. Jika pun beras kena PPN, pajak akan menyasar beras yang harganya Rp 50 ribu per kilogram. Masalahnya, selama ini daging jenis wagyu dan daging ayam pedaging masuk keranjang yang sama: bebas PPN. Perubahan dilakukan dengan menetapkan obyek dan jasa kena pajak secara lebih spesifik serta tidak tunggal. Skema multitarif ini mengacu pada penghasilan dan pola konsumsi warga agar adil.
Dengan klarifikasi ini, seolah-olah segalanya sudah selesai. Tidak ada lagi persoalan atau tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan. Betul sudah terang, tapi belum sepenuhnya benderang. Apakah bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah tak terkena PPN atau dipungut pajak dengan tarif lebih rendah? Masih belum jelas. Jika rencana ini terlaksana, pengenaan PPN terhadap bahan pokok tersebut menjadi kebijakan yang pertama kali diambil pemerintah negeri ini. Namun landasan hukum penerapan PPN ini masih abu-abu.
Pasal 4A Undang-Undang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menetapkan 11 bahan pokok yang tak dikenakan PPN. Bahan-bahan pokok itu meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Pasal ini sempat menjadi polemik karena dinilai multitafsir dan membuka peluang pengenaan PPN pada bahan pokok di luar 11 barang yang disebutkan.
Pasal ini diuji materi di Mahkamah Konstitusi pada 2016 oleh perwakilan konsumen dan pedagang pangan pasar tradisional. Pada 2017, Mahkamah mengabulkan permohonan dengan menegaskan bahwa penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah menyatakan barang kebutuhan pokok adalah barang yang amat dibutuhkan rakyat banyak dan tidak terbatas pada 11 jenis tersebut. Artinya, merujuk pada putusan ini, barang kebutuhan pokok itu amat luas dan tidak dikenakan PPN. Jika ngotot mengutip PPN, pemerintah melanggar putusan tersebut. Jika ini benar, tentu kebijakan baru nanti adalah sebuah kesia-siaan.
Ada tiga opsi tarif pengenaan PPN bahan pokok, yakni tarif PPN umum sebesar 12 persen, tarif rendah sesuai dengan skema multitarif sebesar 5 persen, dan tarif PPN final sebesar 1 persen. Tarif PPN final diklaim pemerintah guna memudahkan pengusaha kecil dan menengah agar tak terkena pajak lebih besar. Masalahnya, berbeda dengan PPN di banyak negara yang hanya mengenakannya pada produk akhir atau pajak penjualan, PPN di Indonesia mengikuti sistem nilai tambah pada setiap rantai produksi dan distribusi yang panjang. Alhasil, PPN ditarik bertubi-tubi, sehingga konsumen membayar lebih mahal.
Akibatnya, harga sembako selalu bergejolak, terutama di tingkat produsen. Harganya kadang naik amat tinggi, lain kali terjun bebas. Naik-turun seperti roller coaster. Hal ini menyulitkan masyarakat miskin dan mereka yang masuk 40 persen penduduk berpenghasilan terbawah dan tergolong hampir atau rentan miskin. Sebab, mayoritas pengeluaran rumah tangga mereka, yang sebesar 73,87 persen, adalah belanja pangan. Dengan demikian, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses terjaga. Kala harga pangan naik akibat kutipan PPN, daya beli mereka pasti akan terganggu.
Bagi warga miskin, bila harga pangan naik, hanya tersedia dua pilihan: menyunat belanja non-makanan, seperti pendidikan dan kesehatan, atau beralih ke pangan inferior. Keduanya berisiko. Cara pertama membuat akses pada pendidikan dan kesehatan merosot. Yang kedua, asupan pangan bermutu menurun. Padahal asupan pangan bermutu dan bergizi amat penting sebagai penjaga imunitas di kala masa pandemi. Apa pun pilihan mereka, kutipan PPN sembako akan membuat jumlah warga miskin bakal naik.
Kutipan PPN sembako juga akan membuat harga-harga barang jadi mahal. Berbagai kenaikan harga akan langsung ditransfer menjadi biaya konsumen. Di tengah lemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga produk menjadi sangat rentan terhadap pemulihan konsumsi rumah tangga. Kenaikan PPN dipastikan akan menggerus daya beli semua lini kelompok pendapatan masyarakat. Sejumlah studi memperkirakan, peningkatan 1 persen tarif PPN dapat menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga 0,3 persen hingga 0,5 persen (Hartati, 2021).
Dampak lanjutan dari penurunan konsumsi berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi yang lebih besar lagi karena konsumsi rumah tangga merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Efek dominonya tak hanya berdampak pada kontribusi langsung yang mencapai lebih 56 persen, tapi juga membuat investasi anjlok. Sebab, sekitar 80 persen produksi aneka barang diorientasikan pada pasar dalam negeri. Kenaikan harga barang juga membuat inflasi tinggi. Jadi, ada efek domino berkelanjutan—putaran pertama, kedua, dan seterusnya—dari kutipan PPN. Di tengah masyarakat yang masih bergulat antara hidup dan mati di tengah pandemi, rencana pemerintah menerapkan PPN sembako ini tentu semakin mencekik mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo