Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perkara Gratifikasi dan Kedermawanan

Putusan Mahkamah Agung menyamarkan tindakan gratifikasi dengan kedermawanan. Perlu diselidiki kemungkinan potensi tindakan koruptif di balik lahirnya putusan tersebut.

15 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perkara Gratifikasi dan Kedermawanan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hakim Mahkamah Agung mengurangi hukuman Fahmi Darmawansyah dengan pertimbangan.

  • Mahkamah mencoba menyamarkan tindakan gratifikasi dengan perbuatan dermawan.

  • Perlu diselidiki kemungkinan potensi tindakan koruptif di balik lahirnya putusan tersebut.

Rio Christiawan
Penulis adalah Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah Agung baru saja mengurangi hukuman terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah. Mahkamah menggunakan istilah "kedermawanan" dalam pertimbangan putusan untuk mengurangi hukuman terpidana korupsi di tingkat peninjauan kembali itu. Sangat ironis lembaga seperti Mahkamah Agung justru mencoba menyamarkan tindakan gratifikasi dengan perbuatan dermawan.

Gratifikasi dan dermawan adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Ihwal istilah perbuatan dermawan yang disebut dalam putusan Mahkamah tersebut adalah pemberian sejumlah barang oleh Fahmi kepada kepala lembaga pemasyarakatan pada saat terpidana tersebut dihukum. Sebagai pembanding, istilah "dermawan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai "murah hati, orang yang suka beramal atau bersedekah". Arti dari beramal dan bersedekah tersebut jika pemberian tersebut tidak memiliki kepentingan langsung dengan pihak yang menerima pemberian.

Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pemberian sejumlah barang oleh Fahmi kepada mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin itu tergolong gratifikasi karena hubungan antara kepala lembaga dan narapidana. Hal ini ditambah fakta bahwa Fahmi telah mendapat sejumlah manfaat dan kenikmatan dari pemberian tersebut.

Dunham (2000) menjelaskan bahwa perilaku gratifikasi adalah apabila ada relasi antara pihak yang memberi dan pihak yang menerima serta adanya kewenangan pihak penerima terhadap pihak pemberi. Konstruksi tersebut sama persis dengan hubungan antara Fahmi dan mantan kepala lembaga pemasyarakatan tersebut. Maka sangat janggal jika Mahkamah Agung justru menggolongkan perbuatan tersebut sebagai kedermawanan karena perbuatan tersebut nyata-nyata adalah gratifikasi.

Putusan tersebut merupakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Mengurangi hukuman itu bertentangan dengan efek jera bagi pemberantasan korupsi. Akan sangat berbahaya jika putusan hakim berikutnya dalam kasus sejenis menggunakan pertimbangan yang sama, sehingga korupsi dengan modus penerimaan gratifikasi bisa tumbuh semakin subur. Putusan ini tetap akan menjadi preseden yang berbahaya bagi pemberantasan korupsi meskipun di Indonesia tidak menganut asas "binding force of precedent", putusan hakim akan mengikuti hakim sebelumnya dalam kasus sejenis.

Persoalan lain, putusan Mahkamah itu terjadi dalam peninjauan kembali, yang sudah tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Kasus itu juga diputuskan oleh Mahkamah Agung, yang merupakan induk seluruh peradilan, sehingga akan berpotensi menjadi preseden, baik bagi sesama hakim di tingkat Mahkamah maupun di tingkat bawahnya.

Memang benar bahwa setiap hakim memiliki kekuasaan yudisial yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, tapi Mahkamah tidak boleh tinggal diam atas putusan yang menyamakan gratifikasi dengan perilaku dermawan ini. Teori pidana dari Moeljatno (1996) menguraikan bahwa pengurangan hukuman diberikan karena tidak terpenuhi unsur secara sempurna atau terpidana memiliki sisi baik yang dipertimbangkan sebagai pengurangan hukuman. Bila hakim memandang gratifikasi sebagai perbuatan baik, kondisi ini sangat berbahaya.

Komisi Yudisial memeriksa hakim dan semua pihak yang terlibat dalam pengambilan putusan tersebut. Jika putusan ini tidak ditanggapi secara serius, lambat laun gratifikasi akan dianggap sebagai kedermawanan, sehingga masyarakat dan penegak hukum akan permisif terhadap perilaku koruptif. Demikian pula jika unsur yudikatif, yang seharusnya berperan dalam checks and balances, tidak berfungsi, masyarakat akan semakin tercengkeram dalam bahaya laten kleptokrasi. Kleptokrasi adalah suatu kondisi yang menggambarkan seluruh fungsi dalam pemerintahan terkungkung oleh perilaku menyimpang dan koruptif, sehingga kembali menempatkan rakyat sebagai korban.

Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengkaji latar belakang lahirnya putusan yang sedemikian menyimpang. Mereka perlu menelusuri lebih lanjut potensi tindakan koruptif di balik lahirnya putusan tersebut. Penting pula untuk mengembalikan hakikat gratifikasi sebagai bagian dalam praktik korupsi sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. •

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Rio Christiawan

Rio Christiawan

Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus