Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibadah mereka, yang dasarnya tipis bak bedak di kulit (boreh), adalah untuk pamer dan promosi diri.
Orang tua itu, Mangkunegara IV, pun menulis serangkaian tembang yang sampai kini dikenal di sudut-sudut Jawa Tengah: Wedhatama.
Anggung anggubel sarengat, / Saringane tan den wruhi, / Dalil dalaning ijemak, / Kiyase nora mikani, / Ketungkul mungkul sami, / Bengkrakan mring mesjid agung, / Kalamun maca kutbah, / Lelagone Dandanggendis, / Swara arum ngumandhang cengkok palaran.
Wedhatama mencemooh anak-anak muda yang melekat ke syariat tapi tak tahu menyaring mana yang harus diikuti mana yang bukan. Ada ijma, konsensus para ulama; ada qiyas, pedoman, melalui analogi, untuk menghadapi persoalan yang belum diatur Quran dan Hadith. Sebagian ulama menerima ijma dan qiyas sebagai sumber hukum yang kukuh, tapi ada yang menampik.
Anak-anak muda yang disebut Wedhatama tak kenal lapis-lapis perbedaan itu; mereka terobsesi (katungkul) ibadah, mungkul atau takut menyimpang barang sedikit pun. Di masjid sikap mereka berlebihan: membaca khotbah dengan mendayu-dayu seperti tembang dandanggula, nyaring merangsang bagaikan alun palaran.
Di sini Wedhatama menunjukkan sesuatu yang jarang dilihat orang: hubungan antara retorika dan kuasa. Ada jarak yang dekat antara mimbar dan mihrab, antara khatib dan imam, antara padri dan pulpitum. Berdasarkan kemampuan retorik seseorang, mukminin menyusun dan menampakkan hierarki—dan itulah yang diikuti anak-anak muda. Mereka inginkan derajat sosial, ngajab-ajab tibaning drajat.
Agama-agama memang berubah.
Di awal riwayatnya, ibadah bersama hampir tak dibentuk sebuah struktur. Di bangunan bersahaja di Madinah, Nabi berkhotbah sambil bersandar pada pokok kurma. Baru ketika ia cepat lelah, Tamim, seorang sahabat, membuat tempat berdiri untuknya, meniru platform yang ia lihat di Suriah. Jauh sebelum katedral-katedral didirikan, Yesus mengabarkan ajarannya sambil duduk di sebuah bukit di Plateau Korazim yang hanya 50 meter tingginya dari permukaan laut. Khotbah pertama Buddha disampaikan di sebuah taman di Sarnath tempat kijang berkeliaran.
Tapi kemudian agama membangun arsitektur dan menjadi arsitektur, dan kekuasaan pun niscaya. Sejarahnya mencatat tegak dan runtuhnya hierarki kesalehan dan susunan lapisan sosial lain yang menyertainya. Dan senjata dan kekerasan berperan, juga orasi dan komunikasi.
Orasi yang efektif dibangun lidah yang petah, sikap yang yakin, alun suara yang enak. Seperti pidato penjual obat di pasar-pasar masa lalu, swara arum itu (meminjam kata-kata Wedhatama tentang para pengkhotbah muda) tak harus berbobot, benar, atau tulus. Bahkan di sepanjang pantai Pacitan para dai berbicara seenaknya, padha nyalemong, dan ribuan orang mengikuti, ewon wong kang padha nggugu.
Di sini satu faktor lain berperan: ribuan orang itu. Orator sebenarnya bukan subyek 100%. Ia mirip sebuah pemantul; melentingkan kembali hasrat orang ramai yang terpendam di bawah sadar, sering cemas dan agresif. Ketika seseorang melontarkan kata dengan bergelora dan pas di perasaan, gayung pun bersambut—meskipun kata itu tak dikenali.
Saya ingat film Viva Maria!, komedi Louis Malle di tahun 1965. Alkisah, di satu bagian Amerika Tengah di awal abad ke-20, serombongan sirkus Prancis berkeliling. Keadaan sedang panas: di bawah Gereja dan tuan tanah yang sewenang-wenang, pemberontakan petani berkecamuk.
Para pemain sirkus itu bersimpati. Maria, aktor dan penyanyi utama, yang dimainkan Jeanne Moreau, bahkan jatuh cinta kepada Flores, pemimpin pemberontak yang karismatis. Seluruh rombongan pun ikut dalam revolusi yang rada kacau itu.
Tapi Flores gugur. Harapan guncang di antara para pejuang. Maria merasakannya. Menjelang pemakaman, ia turun ke pelataran. Di sisi peti mati Flores ia berpidato. Kalimatnya mantap memukau ke arah massa yang berkumpul; antara lain:
Bersabarlah, teman-teman yang baik,
...kalian tahu betapa Flores mencintaimu.
Kalian bukan kayu, bukan batu, tapi manusia.
Dan sebagai manusia, memanggul wasiat Flores
akan membakar hatimu; kalian akan murka;
Kalian adalah ahli warisnya…
Mendengar ini, meskipun tak paham benar kata-kata Maria, para pemberontak tergugah. Mereka angkat senjata lagi. Revolusi menang.
Tapi para aktor sirkus tahu, antara geli dan terharu, yang diucapkan Maria dengan penuh cinta tentang Flores sebenarnya saduran bebas naskah yang dia hafal dari lakon Julius- -Caesar—ditulis Shakespeare untuk teater Inggris di akhir abad ke-16.
Tiruan atau asli, dusta atau tulus, retorika tak bisa diabaikan ketika politik berarti gerakan massa untuk kekuasaan. Maka ketika agama jadi politik jenis ini, orasi jadi suara hasrat wisesa winisesa, kuasa-menguasai. Ibadah bukan lagi sinuksmaya winahya ing ngasepi, diresapkan dalam sukma dan didapatkan dalam sepi.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo