Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Interpelasi dan Oposisi Musiman

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eep Saefulloh Fatah

  • Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

    Musim hujan interpelasi telah datang. Ketika masih harus mengurus interpelasi soal Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang perluasan sanksi atas Iran, pemerintah saat ini mesti menghadapi dua interpelasi lain. Sejumlah cukup besar anggota DPR melayangkan interpelasi soal penanganan luapan lumpur Lapindo. Lalu, sejumlah anggota DPR juga mulai menggalang interpelasi soal kisruh minyak goreng.

    Bagaimana kita memahami ”radikalisasi” DPR ini? Apakah tengah terjadi penguatan oposisi dalam lembaga legislatif? Apakah peta politik kita sedang berubah dan pemerintah makin terpinggirkan oleh arus oposisi yang makin kuat, luas dan besar?

    Jika dibaca secara tekstual, hujan interpelasi memang seolah-olah mewartakan menguatnya pengawasan DPR atas pemerintah. Tetapi, jika ditelaah secara kontekstual, sangat boleh jadi ia sekadar mewakili dinamisasi dan pengentalan situasi politik sesaat dan terbatas.

    Dalam konteks politik kita, ”pertarungan” legislatif dan eksekutif dalam satu termin pemerintahan dapat dibelah ke dalam tiga babak. Babak pertama terjadi di awal pemerintahan, ditandai oleh konsolidasi masing-masing lembaga dan dalam hubungan di antara keduanya. Eksekutif memenangkan babak ini, terutama setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar.

    Babak kedua adalah semacam fase antara. Komposisi dan struktur kekuasaan dalam legislatif dan eksekutif sudah relatif termapankan. Sementara itu, pemilu berikutnya masih nun jauh di depan. Maka, kedua lembaga ini punya peluang untuk mengkonsentrasikan ”pertarungan” mereka ke dalam konteks isi, arah, model, dan target kebijakan.

    Ternyata babak kedua ini berlangsung dalam sebuah drama yang kabur. Pertarungan legislatif-eksekutif terjadi di tengah absennya pertentangan-persetujuan, perseteruan-persekutuan, konflik-konsensus berbasis orientasi kebijakan. Pertarungan politik terjadi di tengah ketiadaan polarisasi orientasi kebijakan.

    Babak ketiga adalah masa-masa menjelang Pemilu 2009. Babak ini ditandai oleh ”arus mudik politisi”. Para politisi kembali ke haribaan partai. Partai kembali menjadi orientasi terpenting perilaku mereka. Tak hanya menggejala dalam legislatif, gejala ini juga diidap para pejabat publik eksekutif. Dalam babak ini, jika para politisi memasang alat pemutar musik personal di kupingnya, maka satu-satunya lagu yang terus-menerus mereka putar adalah mars pemilu. Babak ini pun ditandai oleh makin tegasnya usaha politisi dan partai menemukan serta mengamankan posisi ternyaman untuk memenangkan pemilu yang mendekat.

    Dalam konteks itulah hujan interpelasi dapat kita letakkan. Yang kita saksikan pun sesungguhnya bukan sebuah gejala radikalisasi politik DPR yang genuine, yang asli. Hujan interpelasi itu dapat dipahami dalam konteks kaburnya babak kedua hubungan legislatif dan eksekutif (yang ditandai absennya debat kebijakan) dan makin mendekatnya babak ketiga (yang ditandai gempita menuju Pemilu 2009).

    Dengan rumus itulah kita, sekadar misal, bisa menjelaskan radikalisasi-berlanjut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan radikalisasi-terbatas Partai Golkar. Di tengah kecilnya kemungkinan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yushoyono-Muhammad Jusuf Kalla untuk mendulang sukses besar, tak ada pilihan yang paling strategis bagi PDIP selain melanjutkan kecenderungan oposisi mereka.

    Sementara itu, Partai Golkar ada dalam posisi yang jauh lebih sulit, bahkan dilematis. Jika pemerintahan mendulang sukses di akhir kerjanya, Partai Golkar tahu benar bahwa pertama-tama apresiasi akan dialamatkan untuk SBY (dan partainya). Sebaliknya, manakala pemerintahan gagal, Partai Golkar, mau tak mau, mesti ikut menanggung aibnya.

    Maka, pilihan strategis yang tersedia bagi Partai Golkar adalah bermain di garis perbatasan: sebagai partai pemerintah tapi juga aktif melakukan kritik dan oposisi-terbatas. Para politisi partai Golkar pun akan dibiarkan ”bermain jazz” dan bukan orkestra. Mereka boleh berimprovisasi sesukanya tapi sambil dituntut menjaga keindahan paduan bunyi yang dihasilkan. Maka, alih-alih merasa terganggu, Partai Golkar merasa terbantu oleh para politisi mereka yang vokal dan gemar mengkritik pemerintahan.

    Yang tersaji kemudian adalah sebuah serangan oposisi yang gencar dan bersemangat, tetapi sesungguhnya sulit untuk menghasilkan skor. Pasalnya, kedua partai terbesar yang terlihat saling sokong dalam serangan ini sesungguhnya menyembunyikan strategi dasar mereka yang saling bertentangan.

    Pertentangan inilah yang tergarisbawahi dalam sebuah diskusi di gedung DPR, Jumat pekan lalu. Ketua Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, menegaskan bahwa Partai Golkar berkomitmen menjaga pemerintahan SBY-Kalla sampai akhir. Sementara Ketua Fraksi PDIP, Tjahjo Kumolo, menggarisbawahi bahwa partainya akan beroposisi sampai akhir. Maka, setiap kali akan membuat skor, mereka justru saling bersimpang jalan.

    Dalam kerangka itu, gejala menguatnya oposisi politik dari dalam lembaga legislatif, menurut hemat saya, tidak atau belum mewakili gejala menguatnya oposisi yang terlembagakan. Yang tersedia adalah sebuah oposisi musiman yang sama sekali tak terlembagakan.

    Ada setidaknya empat ciri yang menandai oposisi legislatif yang tak terlembagakan ini. Pertama, oposisi lebih banyak berbasiskan isu dan bukan platform. Para politisi dan partai yang menggalang oposisi tidak diikat oleh kesepahaman yang teruji mengenai orientasi politik dan kebijakan yang mesti mereka sokong dan tentang. Titik temu mereka lebih bersifat semasa, bergantung pada isu-isu politik yang paling atraktif pada masa itu.

    Kedua, oposisi ini pun sesungguhnya lebih mengabdi pada kepentingan dan target-target yang berjangka pendek dengan skala kepentingan yang cenderung sempit. Gerakan mereka tidak diikat oleh kepentingan dan target yang berjangka jauh ke depan untuk melayani skala kepentingan yang lebih luas.

    Ketiga, oposisi yang tergalang lebih merupakan gerakan reaktif dan bukan proaktif. Oposisi pun tidak membentuk agenda dan mengelolanya secara saksama. Oposisi justru sibuk bereaksi atas berbagai pilihan agenda yang tersebar dan tersedia dalam konteks perkembangan sesaat. Karena itu, mereka bisa begitu saja berlari-lari dari satu isu ke isu lain yang tak terikat pada satu agenda kerja oposisi yang tertata: dari nuklir Iran ke luapan lumpur Lapindo, lalu ke harga minyak goreng.

    Keempat, yang dihasilkannya pun lebih merupakan oposisi yang bersifat ad hoc, gampang terbentuk dan gampang bubar. Oposisi terbangun dengan titik temu yang rapuh. Ia juga mudah bubar dengan titik pecah yang sama rapuhnya.

    Dengan keempat karakternya itu, oposisi menjadi musiman. Ia cenderung menggejala menjelang pemilu, ketika aroma ketegangan dan kontestasi antarpartai naik dan menyengat. Lalu, seberapa berbahaya oposisi yang tak terlembagakan ini bagi kelangsungan pemerintahan SBY-Kalla?

    Oposisi musiman dan tak terlembagakan sejatinya bukanlah oposisi yang kuat. Ia potensial saling tikam di dalam, terutama lantaran perbedaan strategi dasar yang disembunyikan para pelakunya. Walau demikian, manakala Presiden dan pemerintahannya tak pandai bermanuver di tengah beragam keterbatasan yang diidap oleh oposisi itu, sebuah oposisi musiman bisa saja berhasil membangun pencitraan bahwa pemerintah telah gagal menunaikan tugasnya dengan layak.

    Walhasil, bagi Presiden dan pemerintahannya, oposisi musiman memang bukan ancaman besar. Tetapi, kegagapan Presiden mengelolanya bisa saja membuatnya jadi amat mengganggu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus