Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEVISI sudah lama diakui mampu mengubah perilaku, gaya hidup, bahkan pilihan orang. Media ini sangat mangkus menjangkau orang banyak. Sejak dikenal secara komersial pada 1930-an, gambar hidup di televisi semakin menarik perhatian orang. Waktu menonton televisi anak-anak kita bahkan lebih panjang daripada jam belajar di sekolah.
Di negeri ini, belakangan gabungan televisi dan pesan pendek alias SMS tiba-tiba menjelma menjadi tongkat sihir yang begitu mudah menyulap orang biasa-biasa menjadi selebritas. Jalan ajaibnya adalah panggung kontes menyanyi, yang marak digelar beberapa stasiun televisi saat ini. Ada Mama Mia di Indosiar, Indonesian Idol di RCTI, Dangdut Mania di TPI, juga kontes-kontes sejenis.
Sulap biasanya memang serba sekilas. Maka, tidak aneh bila Jupriadi—sang bintang dadakan Dangdut Mania—hanya sebulan menikmati ”kejayaan”. Lelaki 39 tahun yang menjadi juara kedua itu sempat kebanjiran panggilan menyanyi. Tapi, selain mendapat panggung, untuk benar-benar menjadi bintang orang harus punya talenta kuat dan kesempatan mengembangkannya. Jupriadi tidak memiliki dua hal tadi. Ia pun menjadi ”korban sihir”, seperti juga masyarakat yang terpukau akan penampilannya di layar kaca. Bukan kejutan bila ia secepat tipuan tangan kembali ke dunia asalnya: menjadi pedagang asongan.
Yang mereguk untung adalah pelaku bisnis pesan pendek dan stasiun televisi. Dengan Jupriadi dan kawan-kawan sebagai ”bahan baku”, keuntungan setinggi-tingginya mereka sedot. Ratusan ribu pesan dilayangkan pemirsa di antara cengkok dangdut Jupriadi, slot-slot iklan pun terisi penuh. Sang pemenang adalah peserta dengan dukungan pesan terbanyak. Padahal layanan pesan singkat itu bertarif premium, yang sepuluh kali lebih mahal dari harga normal.
Contohnya Indonesian Idol. Jumlah pesan untuk semua peserta per sesi berkisar enam juta. Dengan tarif Rp 2.000 per pesan, duit yang terjaring sekitar Rp 12 miliar. Setelah dikurangi biaya tarif normal, uang masuk dibagi ke pemegang lisensi acara, penyedia konten, dan operator seluler. Pola serupa berlaku untuk kontes lain.
Penentuan pemenang lewat pesan singkat rupanya memberikan inspirasi sebagian peserta untuk sekaligus berperan sebagai juri. Inspirasi bisa jadi datang dari kebiasaan pejabat daerah mengerahkan dukungan pesan pendek untuk anak daerahnya yang tampil di layar kaca. Akibatnya sungguh mengenaskan. Safari, peserta salah satu kontes, berutang sana dan sini untuk mengirim pesan sebanyak-banyaknya kepada ”Safari sang calon juara”. Ia pun terlilit utang hingga Rp 30 juta. Satu jumlah yang tak dapat ia tutup dari pekerjaan membantu usaha katering temannya.
Atas kasus Safari, pastilah ”pengemas mimpi” menolak bertanggung jawab, walaupun telah mereguk keuntungan. Sulit mendakwa ini penipuan. Tapi, paling tidak, bisa disampaikan imbauan secara moral bahwa eksploitasi jalan menuju sukses dengan iming-iming berlebihan adalah perbuatan tercela dan memalukan. Orang yang serba kurang memang gampang dibujuk, mudah dirayu dengan mimpi menjadi bintang, tapi mereka bukan umpan untuk mengail keuntungan sebesar-besarnya.
Dengan jatuhnya korban, Komisi Penyiaran Indonesia diharapkan bisa meluruskan kembali ajang penjaringan bakat di stasiun televisi. Acara American Idol—yang karena kepopulerannya lalu di-franchise-kan ke Indonesia—bisa ditiru. Dukungan bisa diberikan melalui telepon bebas bea dan SMS bertarif normal. Pasti banyak lagi cara lain.
Salah satu cara paling ampuh: gunakan akal sehat. Tak ada jalan pintas menjadi bintang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo