Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia wilayah Jakarta itu kontroversial sekaligus kejam. Memecat seorang anggota–yang notabene kolega sendiri, entah dia bernama Todung Mulya Lubis, Polan, atau Wage–mestinya dilakukan dengan penuh pertimbangan. Wewenang besar menurut amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat haruslah digunakan sangat hati-hati.
Pemecatan permanen merupakan vonis mati bagi karier pengacara sebagai penegak hukum. Ini sejenis kematian perdata yang dipaksakan. Hanya pengacara yang bertindak kriminal yang pantas menerima hukuman tanpa ampun itu. Boleh saja hukuman berat itu dijatuhkan untuk advokat yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran dan sekian kali disemprit organisasi.
Todung Mulya Lubis tidak mempunyai catatan kriminal. Pada 2004, ia memang menerima peringatan keras dari Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia. Gara-garanya, ia memasang iklan berisi putusan pengadilan berdasarkan transkrip rekaman vonis pengadilan dan bukan amar salinan resmi. Selebihnya ia tak bermasalah.
Dari pergaulannya yang luas, ia melambung ke deretan pengacara papan atas. Majalah Time dan perusahaan kelas dunia Temasek Holding Singapura mempercayakan kasus mereka ke Todung. Pasti semua pengacara ingin sukses seperti dia.
Di tengah masa jaya itulah Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia menghukum “mati” Todung. Ia diputuskan bersalah terlibat benturan kepentingan ketika mewakili Grup Salim di persidangan melawan Sugar Group. Sebab, sebelum menjadi pengacara Salim, pada 2002, Todung menjadi anggota tim bantuan hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan/Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang melakukan audit hukum atas seluruh aset konglomerat yang diambil alih Badan Penyehatan setelah krisis ekonomi.
Tentang benturan kepentingan itu banyak pandangan. Tapi Departemen Keuangan, instansi yang menugasi Todung, sudah memastikan tak ada benturan kepentingan ketika Todung membela Salim. Bahkan Hotman Paris, yang mengadukan Todung, juga tak dirugikan, karena dia–yang membela lawan Salim yaitu Gunawan Yusuf–memenangkan kasus Sugar di pengadilan.
Terjadinya benturan kepentingan memang tak bisa diukur dari menang atau kalahnya Hotman. Bahkan definisi benturan kepentingan bisa tergantung siapa dan untuk kepentingan apa tafsir diberikan. Inilah pelajaran yang semestinya dipahami Todung, yang sudah malang-melintang lebih dari 30 tahun di antara karut-marut penegakan hukum negeri ini: ia mesti supercermat menghitung sebelum memutuskan klien yang akan dibelanya. Lebih lagi ia aktivis antikorupsi, bidang yang mengharuskannya ekstrahati-hati ketika memutuskan membela konglomerat yang punya reputasi buruk di masa lalu.
Apa pun dalihnya, hukuman Majelis Kehormatan itu berlebih-lebihan, tak tersirat hasrat membina, bahkan tercium kesan ingin “menghabisi”. Keputusan itu layak dipertanyakan, mengingat Majelis Kehormatan dibentuk oleh Perhimpunan yang tengah dilanda krisis legitimasi lantaran pengurusnya tidak dipilih semua pengacara. Krisis itu bisa dibaca dari niat sejumlah pengacara, termasuk advokat senior Buyung Nasution, yang menolak kepengurusan sekarang, dan pekan depan melangsungkan kongres sendiri.
Todung bisa saja menempuh proses banding. Bisa juga ia menggugat keputusan Majelis Kehormatan yang dinilainya mengandung cacat hukum. Tapi kasus ini menunjukkan advokat Indonesia perlu perhimpunan yang lebih baik–dengan anggota lebih terhormat dan diterima semua pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo