Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru sehari dilantik, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin langsung melakukan inspeksi mendadak ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Di sana ia menemukan fasilitas berlebihan, seperti kulkas, yang sebenarnya sudah menjadi hal biasa di blok-blok khusus yang dihuni para koruptor. Langsung ia memerintahkan agar kulkas dibawa keluar dan esoknya memberikan pernyataan, para koruptor yang sudah berstatus narapidana akan dipindah ke LP Nusakambangan.
Gebrakan sang Menteri mantan anggota KPU ini terus berlanjut ke instansi lain di bawah departemennya. Tak cuma Hamid yang melakukan itu, semua menteri melakukannya. Menteri Kesehatan Siti Fadilah langsung meninjau korban antraks, lalu meninjau rumah sakit dan memberikan pernyataan pasien yang menghuni kelas ekonomi akan mendapatkan pelayanan gratis. Menteri Perdagangan Mari Pangestu meninjau pasar dan sempat dikepung demonstran di Surabaya. Menteri Perhubungan Hatta Radjasa meninjau terminal dan stasiun kereta api.
Luar biasa sibuknya para menteri. Sampai-sampai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault terlambat datang ke sarasehan olahraga yang menghadirkan puluhan tokoh olahraga. Tentang ini, ada kisah sampingan. Panitia mengumumkan Adhyaksa telat datang karena ketiduran di rumahnya. Itu berdasarkan pengakuan ajudan Adhyaksa yang mengaku tidak berani membangunkan bosnya. Tapi Adhyaksa membantah hal itu. Ia seharian "bekerja" hari itu, bertemu pejabat-pejabat olahraga, lalu ada urusan keluarga karena ada yang meninggal dunia. "Saya tak punya staf," katanya sambil meminta maaf. Mungkin maksudnya, kalau ia sudah punya staf, akan ada yang mengingatkan dengan ketat acara-acara yang harus dia datangi.
Dalam ungkapan anak-anak sekarang, kita bisa mengatakan kepada Adhyaksa: kachian deh loe.... Jangankan melakukan inspeksi mendadak seperti koleganya yang lain, staf dan kantor pun belum jelas.
Tapi, apakah gebrakan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu ini bukannya sekadar caper alias cari perhatian? Atau semacam "kejar setoran", istilah umum sopir bus kota? Atau seperti "kejar tayang" yang digunakan para kru sinetron? "Kejar setoran" adalah perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil, tak peduli lampu merah, tak peduli tanda larangan berhenti, bahkan jika perlu bus berjalan melawan arah, yang penting mendapat penumpang dan bisa jalan. Sedangkan "kejar tayang" adalah sinetron asal jadi yang memanfaatkan momen tertentu—misalnya nuansa Ramadan dan Lebaran. Malam shooting, esok sore sudah disiarkan, cerita selanjutnya dicari-cari, tak peduli nyambung atau tidak, mutu jangan dipersoalkan.
Apakah Bapak dan Ibu Menteri melakukan hal sejenis itu untuk mengejar target seratus hari? Kita tidak tahu dari mana Menteri Kesehatan mendapat dana untuk menggratiskan pengobatan pasien di kelas ekonomi, seperti halnya dari mana duitnya menaikkan gaji guru seperti yang dijanjikan Menteri Pendidikan Nasional. Urusan memindahkan koruptor dari LP Cipinang ke LP Nusakambangan mungkin tak perlu biaya besar. Tetapi apakah Menteri Hukum tahu juga, justru di LP Nusakambangan para koruptor bisa lebih bebas bergerak karena kurangnya pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan publik?
Jika "target seratus hari" hanya membebani para pejabat untuk bertindak populis tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang, bisa-bisa hal itu akan jadi bumerang. Perubahan yang dijanjikan tak lebih dari "pepesan kosong".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo