Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINGIN masih memagut kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Sumedang, Kamis pagi pekan lalu. Dari barak-barak asrama, para praja alias mahasiswa yang berbaris berkelompok telah memasuki lapangan upacara, bersiap mengikuti upacara hari Sumpah Pemuda. Setelah semua praja terkumpul, tiba-tiba dari pengeras suara terdengar pengumuman penting: "Sebelum melaksanakan upacara hari Sumpah Pemuda, kita akan melaksanakan apel luar biasa."
Para praja terhenyak. Dua praja dari Nanggroe Aceh Darussalam, Nurmansyah Putra dan Iman Suhery, yang ada di sebuah barisan, kebat-kebit.
Ternyata apel dadakan ini benar-benar luar biasa. Saat itu Koordinator Pelaksana Harian STPDN, I Nyoman Sumaryadi, mengumumkan pemecatan terhadap Nurmansyah dan Iman. Status pegawai negeri sipil yang melekat pada dua praja ini otomatis dicabut.
Itulah buntut dari dugaan pemukulan terhadap Ichsan Suheri, calon praja dari Aceh, pertengahan Oktober lalu. Kejadian ini langsung menyedot perhatian khalayak karena pada September tahun lalu telah meletik kasus serupa. Bahkan korbannya, Wahyu Hidayat, saat itu dianiaya kakak kelasnya hingga akhirnya tewas. Delapan pelaku penganiayaan itu sudah dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.
Kini kasus Ichsan pun telah ditangani polisi. Di depan petugas Kepolisian Resor Sumedang, ia mengaku mengalami pemukulan dan penganiayaan pada Minggu, 17 Oktober, dini hari, sekitar pukul 00.30 WIB. Ketika sedang berada di baraknya, barak Sulawesi Tenggara, ia dihampiri oleh Iman dan sejumlah praja tingkat dua lainnya yang semuanya berasal dari Aceh. Di sana Ichsan diminta mengangkat barbel yang terbuat dari semen cor dan pipa besi. Bukan dengan dua tangan layaknya lifter angkat besi, melainkan dengan satu tangan. Karena licin, barbel itu jatuh menimpa kepalanya. Ichsan kemudian disuruh duduk dan dipukuli oleh kakak kelasnya.
Kisah versi Iman, salah seorang pelaku, lain lagi. Kata dia, kedatangannya dengan maksud baik, yakni meminjamkan ransel karena Ichsan akan mengikuti latihan dasar kemiliteran. "Sekalian mau diajak sahur bersama," ujarnya di Polres Sumedang. Tak lama kemudian datanglah Nurmansyah dan menegur Ichsan, "Masih ingat saya?" Karena jawaban Ichsan tidak menyenangkan, menurut Iman, dia menarik Ichsan ke lorong belakang baraknya.
Saat itulah Ichsan diberi "pelajaran". Dia diminta mengangkat barbel 10 kali. Tapi, "Dengan tangan dua, bukan dengan tangan satu. Dan tidak mengenai kepala," kata Nurmansyah kepada polisi. Untuk membuktikannya, ia merujuk pada laporan dari pihak dokter yang merawat Ichsan yang menyebutkan tidak terjadinya luka dalam di bagian kepala.
Kendati tidak mengalami luka fisik, Ichsan mengalami trauma psikis. Ini merupakan hasil pemeriksaan ahli saraf dr. Jajang Suhana dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Menurut Kepala Polres Sumedang, Ajun Komisaris Besar Yoyok Subiono, dokter juga merekomendasikan agar korban beristirahat selama dua-tiga bulan.
Ichsan, yang sempat dirawat di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung, pernah diperiksa oleh dokter spesialis bedah saraf Akhmad Imron dan psikolog Dra. Selly. Hasilnya? "Dari analisis, ada kecurigaan sakit kepalanya diduga karena trauma benda tumpul," kata Dadang Sukanta, kepala pelayanan medis rumah sakit tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut dan hasil pemeriksaan korban maupun pelaku, Yoyok Subiono menyimpulkan telah terjadi kekerasan secara kolektif. Ini seperti yang dialami oleh Wahyu Hidayat setahun lalu. Hanya, "Kekerasan struktural tidak ada. Yang ada kekerasan perseorangan," ujarnya.
Sekali lagi tragedi itu memukul petinggi STPDN. Saat apel luar biasa, I Nyoman tampak gusar. "Disiplin Saudara-saudara semakin hari semakin terdegradasi," katanya. Dia lalu mengumumkan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penyempurnaan pola pendidikan di STPDN buat mengantisipasi pelanggaran disiplin praja. Konkretnya, sistem gugur akan diterapkan setiap tahun ajaran. Praja akan dievaluasi dari segi intelektualitas, sikap mental, dan keterampilannya. "Praja yang punya sikap mental tidak terpuji segera akan disisihkan satu per satu, tidak pandang bulu," ujarnya.
Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri, Sudarsono, sistem gugur menjadi bagian dari pembenahan secara menyeluruh di STPDN, yang tengah diintegrasikan dengan Institut Ilmu Pemerintahan. Tujuannya untuk memutus mata rantai kekerasan di STPDN.
Praktek pemberian hukuman fisik terhadap praja junior oleh seniornya seolah memang sudah jadi kebiasaan di STPDN. Ketika sudah menjadi praja senior, praja yang pernah mengalami perlakuan buruk itu akan melampiaskan dendamnya ke adik kelasnya. Begitulah seterusnya.
Tiada cara lain untuk menghentikannya kecuali sanksi yang tegas. Inilah yang akhirnya diterima Nurmansyah dan Iman. Tak hanya diperiksa polisi sebagai tersangka penganiayaan, pagi itu dalam apel luar biasa keduanya langsung disisihkan dari STPDN. I Nyoman mencopot seluruh atribut STPDN yang melekat pada tubuh keduanya. Ia mengganti pakaian seragam mereka dengan batik dan meninggalkan Nurmansyah serta Iman, tanpa mau menyalaminya.
Zulfirman, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo