Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba Kecamatan Babakan Madang di Kabupaten Bogor diserbu antraks, enam nyawa melayang, dan seluruh negeri baru ribut soal penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis itu. Inilah problem khas Indonesia: kita suka berpikir tentang bagaimana mengobati, tapi jarang bertindak bagaimana mencegah potensi wabah penyakit.
Buktinya adalah antraks di Babakan Madang itu. Serangan penyakit yang dibawa oleh hewan ternak itu—seperti diungkapkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono—sudah terjadi berulang-ulang di masa lalu. Tapi tetap saja wabah yang sama datang lagi, di kabupaten yang sama, kali ini bahkan merenggut korban nyawa terbanyak.
Artinya, kita—masyarakat dan petugas dinas kesehatan pemerintah—lambat betul memahami persoalan antraks. Bakteri itu sudah dipelajari ahli dari Jerman, Robert Koch, 127 tahun yang lalu. Pada 1957 sudah juga diketahui bahwa bakteri ini bisa menulari manusia. Dan di Kabupaten Bogor, sejak 2001 sudah 47 orang terjangkit antraks dan 11 orang tewas—termasuk enam orang di Babakan Madang itu. Lima lokasi di Kota Bogor dan sembilan kawasan di Kabupaten Bogor adalah wilayah endemik antraks, yang diketahui ada di sana sejak 1965. Kalau kita mau lebih peduli, rasanya korban tak perlu bertambah banyak, karena jika terdeteksi pada fase dini, antraks bukan penyakit mematikan.
Antraks adalah penyakit pada hewan piaraan dan juga hewan liar, terutama jenis herbivora, akibat bakteri antraks yang menempel di rumput atau makanan hewan lain yang termakan oleh hewan itu. Manusia akan terinfeksi oleh hewan yang sakit—misalnya sapi, biri-biri, kuda, keledai, dan kambing—melalui bakteri antraks yang masuk lewat mulut, kulit, atau terhirup bakteri antraks yang melayang di udara. Bila diketahui kurang dari 48 jam, orang yang terkena infeksi antraks masih bisa disembuhkan dengan suntikan antibiotik. Semakin cepat demam, sakit perut, atau muntah-muntah—tiga gejala umum serangan antraks—ditangani, risiko kematian semakin mungkin dihindarkan.
Yang juga penting diketahui, spora yang menyebabkan bakteri antraks ini bisa tersimpan sampai 40 tahun di dalam tanah—hampir semua daratan di muka bumi bisa "dihuni" spora itu. Maka, perlu dijelaskan pada masyarakat, terutama di Babakan Madang, bahwa bahaya antraks bisa kapan saja muncul, walaupun sudah lama tak ada manusia yang terkena infeksi.
Dalam kasus terakhir di Babakan Madang, langkah mengisolasi hewan ternak di daerah itu oleh Menteri Pertanian (yang mengaku tak rela melihat korban jatuh) merupakan langkah yang tepat. Langkah ini diikuti dengan vaksinasi hewan ternak di sana. Bagaimana dengan penduduk? Sebenarnya, vaksinasi untuk manusia yang belum terkena antraks bisa dilakukan dengan menelan pil Cyproflaxin, tapi pil itu konon harganya mahal—pil itu banyak dikonsumsi warga Amerika Serikat ketika terjadi teror amplop berisi spora antraks, yang menewaskan sedikitnya dua orang pada akhir tahun 2001.
Kalau Cyproflaxin terlalu mahal, mungkin penyuluhan lebih murah dan mudah dilakukan. Anjuran penting yang utama, jangan sekali-kali penduduk menyembelih hewan ternak sendiri dan mengkonsumsinya—apalagi hewan yang disembelih itu sekarat akibat penyakit. Hewan ternak yang sehat pun harus dipotong di rumah potong hewan yang ditunjuk pemerintah daerah setempat. Cara ini akan menyelamatkan penduduk dari daging yang mengandung bakteri antraks.
Penyuluhan itu harus terus-menerus dilakukan, sampai penduduk paham benar cara mendeteksi serangan antraks dan menghindarinya. Memang lebih baik mencegah, daripada melihat dengan perih korban terus berjatuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo