Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APALAH arti sebuah unjuk rasa? Haruskah dimaknai sebagai ancaman laten yang harus dibalas dengan kekerasan, kekejian, pelor dan popor bedil yang berbuntut derita dan kematian? Sebab itulah, kita patut mengutuk tindakan sembrono ribuan tentara di Tak Bai, Narathiwat, Thailand Selatan, Senin pekan lalu, yang menewaskan 85 warga muslim. Mereka "disikat" aparat lantaran menuntut bebas enam "saudara mereka" yang ditahan di kantor polisi dan dituduh menyalurkan senjata ke tangan gerakan separatis.
Rada aneh jika prahara itu musti terjadi di abad milenium ini. Abad yang kerap ditandai dengan reformasi dan kampanye tegaknya hak asasi manusia di seantero jagat. Apalagi para korban (yang bisa disaksikan secara gamblang lewat liputan pers) terpaksa meregang nyawa dengan cara biadab: bertiarap di atas terik aspal jalanan, bertelanjang dada, berpantalon dan bersarung, dengan kedua tangan diikat tali, lalu ditumpuk lima lapis, berjejal-jejal bak ikan pindang di atas truk tentara yang membawa mereka enam jam perjalanan ke Provinsi Pattani.
Memang pemerintah pusat tak tinggal diam setelah peristiwa brutal itu. PM Thaksin Shinawatra, yang dikenal sigap dalam membendung bencana sebagaimana pada kasus wabah flu burung tempo hari, langsung turun ke lokasi kejadian. Ia menyesalkan kecerobohan ini sembari meminta maaf. Toh, ia masih terkesan melindungi militer lewat kesimpulannya yang terlalu dini. Ia menyebut kematian itu akibat para demonstran mengalami kelelahan dan susah bernapas karena berpuasa. Intinya, tak ada aparat yang melukai mereka.
Kita pun tahu buntut dari pernyataan yang gegabah ini. Ledakan bom beruntun terjadi di Provinsi Yala dan Narathiwat. Empat orang tewas dan lusinan warga sipil cedera. Mestinya Thaksin lebih berhati-hati. Ia harus segera membetuk tim penyelidik independen yang misinya mengusut tuntas siapa biang kerok tragedi berdarah ini, kemudian mengumumkannya secara terbuka dengan hukuman setimpal. Harap dicatat: sembilan senator untuk Thailand Selatan mencurigai adanya terjangan peluru dan pemukulan sebelum para korban dimasukkan ke dalam truk.
Tindakan adil ini penting dilakoni. Ini diharapkan bukan saja untuk membendung kecemburuan kaum "miskin" di Selatan yang dihuni mayoritas muslim, tapi sekaligus bisa menepis kebencian dan sentimen komunitas antaragamasekitar 60 juta penduduk di pusat umumnya pemeluk Buddha. Bukankah ada yang mulai berteriak bahwa kebrutalan ini "mengotori bulan suci Ramadan"? Apalagi musibah serupa bukan sekali ini terjadi. April lalu, militer menyerbu sebuah masjid di Selatan dan menewaskan 108 orang. Sejak Januari lalu, sedikitnya 400 muslim tewas akibat kekerasan penguasa pusat.
Salah mengatasi bisa berarti bencana. Bangkok bukan saja dikecam komunitas internasional, dunia Islam, termasuk AS, yang mendesak agar peristiwa ini diusut tuntas. Tapi, niat baik membangun di Selatan dengan dana 700 juta dolar AS pada awal Desember ini bakal sia-sia. Tak sedikit tokoh pesantren di sana yang mulai mengumandangkan kemerdekaan dan unifikasi dengan Malaysia. Sepucuk surat tak bertuan sudah dilayangkan. Isinya gawat: agar selamat, warga Buddha segera hengkang di Selatan, atau harus tewas sebagai tebusan kematian bagi nyawa setiap muslim lantaran pelor tentara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo