Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMOHONAN pengunduran diri Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Endriartono Sutarto, ternyata berbuntut panjang. Dari perkara yang pada mulanya cenderung "teknis", masalah ini sempat berkembang ke urusan yang lebih fundamental, yaitu penggalangan suara di Dewan Perwakilan Rakyat bagi penggunaan hak interpelasi.
Jenderal Endriartono Sutarto mengajukan permohonan pengunduran dirinya pada 24 September, empat hari setelah pemilihan presiden putaran kedua. Pada saat itu, sebetulnya, Megawati Soekarnoputri sudah bisa mengantisipasi kekalahannya?atau "kekurangan suara"-nya?dalam pemilihan presiden yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung di republik ini.
Majalah ini, bersama banyak pihak, pada hari-hari itu sudah memanjatkan harapan, seyogianya Presiden tidak mengambil keputusan strategis menjelang akhir masa jabatannya. Apalagi pengajuan pengunduran diri itu, bagaimanapun, tidak bisa sama sekali dipisahkan dari "keputusan strategis" Presiden Megawati beberapa hari sebelumnya, yakni penganugerahan pangkat jenderal (bintang empat) kehormatan kepada dua pejabat tinggi negara.
Pada tingkat ini, jika Presiden Megawati membuka pintu kesabaran dan menyerahkan masalah pengunduran diri Panglima TNI itu kepada presiden berikutnya, masalahnya mungkin tak ribet amat. Tapi, itulah, pada 8 Oktober, hanya belasan hari menjelang pelantikan presiden baru, Presiden Megawati mengirimkan surat persetujuan ke DPR, sekalian mengusulkan pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI.
Lima hari setelah pelantikannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim surat ke DPR, yang isinya mencabut surat Presiden Megawati Soekarnoputri dan "mempertahankan" Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI. Baik Endriartono maupun Ryamizard, setelah berbicara langsung dengan Presiden, menyatakan sebagai prajurit siap menjalankan perintah Panglima Tertinggi. DPR ternyata tak "sesiap" itu.
Soalnya, Sidang Paripurna DPR, 14 Oktober, telah memprioritaskan pembahasan usul (Presiden Megawati Soekarnoputri) tentang pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI. Di sini DPR berhadapan dengan situasi kontroversial: membahas surat seorang presiden yang secara sah masih berkuasa, dan yang kemudian dicabut oleh presiden yang juga secara sah telah berkuasa. Lalu muncullah penggalangan hak interpelasi itu.
Dengan kacamata yang sedikit jernih saja mudah terlihat, urusan "pergantian" Panglima TNI ini tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kekuatan di lembaga legislatif. Hingga akhir pekan lalu, rumah wakil rakyat itu masih hiruk-pikuk dengan pertunjukan yang sama sekali tidak menarik bagi masyarakat yang mendambakan perubahan.
Tarik-menarik kekuatan merupakan sesuatu yang normal dalam lembaga perwakilan. Tetapi, bila masalahnya dirujukkan kepada kepentingan yang lebih besar, yakni cita-cita menyegerakan perubahan di negeri ini, tentu ada kepentingan-kepentingan kelompok yang?paling tidak untuk sementara?bisa ditunda. Atau, kalau kepentingan itu tetap dipaksakan, sinyalemen bahwa presiden terdahulu memang sengaja meninggalkan "bom waktu" untuk penggantinya akan terasa semakin benar.
Lembaga legislatif seyogianya juga tak mengesampingkan "kepekaan" TNI sebagai pihak yang secara langsung tersentuh dan berkepentingan dengan penggantian panglima ini. Dengan segala kekurangannya, sejak "reformasi" digulirkan, TNI telah memperlihatkan loyalitasnya kepada supremasi sipil. Kenyataan yang menarik ini hendaknya janganlah diricuhkan oleh pertarungan kekuatan, justru di wilayah yang sangat sensitif dan potensial menimbulkan soal.
Tak ada salahnya para anggota Dewan mengenang sekilas apa yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober 1952". Pada hari itu spanduk "Parlemen Bukan Warung Kopi" berkibar-kibar di jalanan Jakarta. Kepala Staf Angkatan Perang ketika itu, Kolonel T.B. Simatupang, menyebut hari itu "merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil". Meski tetap layak diperdebatkan hingga saat ini, sejak saat itu pulalah, menurut Jenderal A.H. Nasution, "TNI terlibat politik praktis secara terbuka."
Untunglah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak dingin dan dewasa. Dalam pertemuan dengan pimpinan DPR, Jumat pekan lalu, tersirat kesepakatan tak akan mencampuri kewenangan masing-masing. Bahkan tak tertutup kemungkinan: Presiden dan DPR menyepakati nama yang sama untuk jabatan Panglima TNI.
Kita tadinya khawatir, jika masalah ini benar-benar menjadi "bom waktu" bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhono-M. Jusuf Kalla, bukan mustahil "bom waktu" lainnya akan menggelinding, dan kita kehilangan parameter untuk, katakanlah, mengukur kinerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu. Kini tinggal lembaga legislatif yang tetap heboh dalam opera tarik-menarik kekuatan?pertunjukan yang makin tak seronok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo