Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah konstitusi, di zaman bom...

Sekitar pembentukan indonesia merdeka. jepang membentuk bpki yang mempengaruhi isi uud 45. bpki diubah menjadi ppki. pada waktu itu terjadi banyak perdebatan. diantaranya soal bentuk negara.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAN sebuah bangsa bisa disebut merdeka? Menjawab pertanyaan ini, Soetardjo Kartohadikoesoemo menyahut, "Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan". Waktu itu akhir Mei 1945. Soetardjo, saat itu berusia 53 tahun dan menjabat Residen Jakarta, mengatakannya dalam suatu sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat BPKI). Soetardjo adalah seorang dari 60 anggota badan yang dibentuk Jepang buat mengkaji segala aspek yang menyangkut berdirinya Indonesia Merdeka. Soekarno meleceh jawaban Soetardjo itu beberapa hari kemudian. "Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka," ucapnya, disambut tepuk tangan riuh hadirin. "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita," ujarnya lebih laniut. Soekarno, waktu itu 44 tahun, mengucapkan itu pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya yang masyhur, yang kemudian sering disebut "Lahirnya Pancasila". Bisa dimengerti bila Soekarno tak sabar mendengar uraian Soetardjo. Saat itu memang zaman tak sabar. Zaman penuh gejolak. Bau kemerdekaan sudah makin merebak di antara para pemuka bangsa Indonesia. Bala tentara Jepang sudah terdesak mundur di berbagai front. Menyadari berada di ambang kekalahan, Jepang merayu rakyat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan dan membentuk BPKI. Toh, BPKI yang diumumkan pembentukannya pada 1 Maret 1945 baru mulai bersidang 28 Mei 1945. Para anggota BPKI terdiri dari orang-orang yang ditunjuk Jepang, mewakili berbagai kelompok masyarakat: priayi, golongan agama, nasionalis, peranakan Cina, Arab, dan Indo Belanda. Yang mencolok adalah tidak terwakilinya golongan pemuda dalam badan tersebut. Tidak ada nama Sjahrir, Chaerul Saleh, Sukarni, atau Adam Malik, misalnya. Padahal, mereka itulah kelompok yang paling keras dan tidak sabar dalam menuntut kemerdekaan. Ironis, memang, bahwa kelompok pemuda yang kelak menjadi barisan terdepan dalam revolusi Indonesia tersebut tidak terwakili dalam penyusunan konstitusi, suatu dokumen historis yang kemudian menjadi azimat bangsa. Tapi menjelang kemerdekaan itu barisan pemuda memang belum merupakan suatu kekuatan nyata, sehingga Jepang menganggap perlu memberi mereka perwakilan dalam BPKI. Para wakil bangsa Indonesia, yang kemudian diangkat menjadi anggota BPKI, dengan begitu lebih mewakili "golongan tua" yang dianggap berpengaruh dalam masyarakat. Susunan dan perimbangan keanggotaan BPKI ini kemudian ternyata sangat mempengaruhi isi dan gaya UUD 1945. Kaum nasionalis sekuler, misalnya, lebih kuat terwakili dibandingkan golongan Islam (sekitar 34% dibanding 11%). Di antara deretan golongan nasionalis tersebut tercantum nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Sartono, Otto Iskandar Dinata, dan Muhammad Yamin. Golongan Islam diwakili, antara lain, oleh K.H.A. Wachid Hasjim, K. Bagoes H. Hadikoesoemo, H. Agus Salim, dan A.K. Moezakkir. Yang mewakili kelompok priayi antara lain B. P. H. Bintoro dan B. P. H. Poeroebojo. Dari golongan peranakan ada A.R. Baswedan, Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw dan P.F. Dahler. Daerah luar Jawa terwakili oleh, antara lain, J. Latuharhary dan A. A. Maramis. Terdapat juga sejumlah tokoh masyarakat dan intelektual, seperti Soepomo, Roosseno, Husein Djajadiningrat, K.H. Dewantara, dan R. Soedirman. Ada dua anggota wanita, Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito dan Ny. Maria Ulfah Santoso (waktu itu termasuk anggota termuda, 34 tahun). Tampaknya, Jepang tidak berpengharapan banyak, BPKI akan bisa menyelesaikan tugasnya. Maklum, begitu banyak yang harus mereka rancang: bentuk pemerintahan mendatang, batas daerah, kewarganegaraan, beleid ekonomi, pertahanan, pendidikan, rancangan UUD, dan tempat agama dalam negara. Ada dugaan, Jepang sengaja mengganskan begitu banyak tugas, agar BPKI tertunda-tunda tugasnya, dan tenggelam dalam diskusi berkepanjangan, hingga Indonesia Merdeka pun tak juga tiba. Beraneka ragamnya asal dan tingkat kesadaran anggota sering menimbulkan debat yang berteletele. Ditambah lagi dengan kepemimpinan Ketua BPKI Dr. Radjiman Wediodiningrat yang cenderung kaku. Yang perlu dicatat adalah pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, yang ternyata sangat mempengaruhi jalannya sidang seterusnya. Sebuah panitia kecil kemudian dibentuk, diketuai Soekarno, untuk merancang konstitusi bagi negara baru yang akan dibentuk. Menurut Hatta, dalam memoir-nya, panitia tersebut bertugas merumuskan kembali pidato Soekarno. Toh, secara keseluruhan, sidang BPKI berjalan dengan cukup efektif. Terasa ada semacam semangat baru, juga kesadaran historis, di antara para anggota tentang tugas dan peranan yang mereka lakukan. Terkesan ada keinginan untuk menunjukkan rasa persatuan di antara para anggota dan mengesampingkan berbagai ganjalan dan aturan yang kaku. Dengarkanlah beberapa kutipan ucapan mereka. Soekarno: Jalan pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada menyimpang daripada formalitet, menyimpang dari aturan formil ia telah diputuskan. Apakah arti formalitet di dalam zaman gegap gempita sekarang ini? Apa arti formalitet terhadap desakan sejarah sekarang ini? Apa arti formalitet jikalau di kanan-kiri kita mengguntur-menggeledek gempa-petir-halilintar meriam, bom, dinamit? . . . Ki Bagoes Hadikoesoemo: "Saya ingin memperingatkan bahwa kita sekarang membentuk negara ini dengan menghadapi musuh. Peringatan ini saya rasa penting, karena mungkin sekali di pojok-pojok ada mata-mata musuh yang banyak. Oleh sebab itu, saya harap jangan kita mementingkan soal perkataan yang dapat menimbulkan perbantahan atau perdebatan yang hebat. Jangan.... Kita semua sudah saudara yang serapat-rapatnya. Berbagai soal menimbulkan debat sengit. Yang paling mendasar adalah soal agama dan negara, yang membuat hadirin terpecah: golongan Islam dan kebangsaan. Masalah ini dapat dipecahkan melalui sebuah Panitia Sembilan dan dituangkan dalam mukadimah rancangan konstitusi, meski kemudian dipertentangkan kembali khususnya mengenai ketentuan "kewajiban menjalankan syariat Islam buat para pemeluknya". Soal bentuk negara ternyata ramai dipersoalkan. Sejumlah anggota menentang bentuk republik dan mendukung bentuk kerajaan bagi Indonesia Merdeka. Akhirnya ketua sidang memutuskan untuk melakukan voting. Sebelum pemungutan suara dilakukan, K. Muzakkir berbicara, "Oleh karena kita menghadapi saat yang suci, baiklah kita mengheningkan cipta, supaya janganlah kita dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak suci, tetapi dengan segala keikhlasan menghadapi keputusan tentang bentuk negara yang akan didirikan dengan hati murni. Oleh karena itu, saya mohon kepada Paduka Tuan-tuan sekalian, sukalah Tuan-tuan berdiri di hadapan hadirat Allah subhanahu wata'ala untuk meminta doa." Voting dilakukan sesudah sidang berdoa dengan pimpinan Ki Bagoes Hadikoesoemo yang membacakan Fatihah. Ada 64 suara yang masuk. Yang memilih republik 55, kerajaan 6, lain-lain 2, dan blangko 1. Jadilah Indonesia berbentuk republik. Beberapa masalah lain juga diputuskan dengan voting. Antara lain soal batas negara dan bunyi sumpah presiden. Cara pemungutan suara: yang setuju berdiri dan yang menolak tetap duduk. Pernah malah golongan Islam menolak melakukan stem yaitu ketika membicarakan pasal 28 ayat 1 yang mula-mula menyebutkan bahwa presiden harus beragama Islam. Wakil dari kelompok Islam, Ahmad Sanusi, menolaknya dengan alasan "Perkara agama tidak bisa di-stem". Soal kewarganegaraan juga dibicarakan. Ada permintaan agar hal ini diatur seadil-adilnya, misalnya keturunan asing bisa memilih secara merdeka dan sukarela kewarganegaraan yang disukainya. Namun A. R. Baswedan menegaskan, "Semangat agama Islam menentukan bahwa orang yang lahir dan tinggal di suatu tempat terutama ia menjadi anak negara itu dan ia harus berjuang untuk negara itu, di mana ia hidup dan mendapat rezeki.... Saya sendiri mempunyai pendurian sebagai seorang nasionalis Indonesia.... Bahkan orang-orang Arab totok minta supaya mereka dimasukkan dalam rakyat Indonesia." Tatkala berbicara mengenai perlu tidaknya hak-hak individu dicantumkan ke dalam rancangan UUD, timbul debat seru. Soekarno menentang keras masuknya pasal-pasal seperti itu. "Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, ... kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan?" Maka, menurut Soekarno, "Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya." Di sini Hatta berbeda pendapat dengan Soekarno. Ia setuju negara didasarkan pada asas gotong royong. Namun, ia khawatir jika tidak ada ketentuan dalam UUD mengenai hak untuk mengeluarkan suara, mungkin terjadi hal-hal yang tidak diingini. "Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan." Ia menganjurkan dimasukkannya pasal-pasal mengenai hak untuk berkumpul, bersidang, dan menyurat dalam UUD supaya, "tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya." Banyak anggota mendukung usul Hatta. Timbul perdebatan sengit. Soepomo menentang dengan alasan itu bertentangan dengan asas kekeluargaan yang dianut rancangan UUD. Meski hak-hak warga negara itu tidak tercantum dalam konstitusi, tidaklah berarti bahwa rakyat tak berhak bersidang atau berkumpul. "Buat negara baru dan muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan yang pokok dari pokok." Soepomo tampaknya yakin, pelaksana pemerintahan nanti akan bersikap luhur dan adil. "Yang penting adalah semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan, semangat perseorangan tidak baik, undang-undang itu tidak ada harganya. Sebaliknya, meski UUD itu tidak sempurna, jika semangatnya baik, betul-betul baik, berkobar, UUD itu tidak akan menghalang-halangi jalannya negara." Kompromi akhirnya tercapai. Pemecahannya: ada pasal dalam UUD yang menyatakan bahwa hak-hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran akan ditetapkan dengan undang-undang. Haruskah presiden Indonesia orang Indonesia asli dan beragama Islam? Apakah perlu dicantumkan ketentuan bahwa presiden harus bersumpah "menurut agamanya"? Masalah ini menimbulkan pertentangan seru dalam sidang BPKI pada 15 Juli 1945. Sampai-sampai K. Muzakkir gusar dan memukul meja seraya mengusulkan agar semua pasal di dalam UUD yang menyebutnyebut Allah atau agama Islam dicoret sama sekali. Suasana tegang. Hari itu tidak ada keputusan. Di luar sidang, malam itu juga terjadi rembukan antara kelompok Islam dan kebangsaan. Hasilnya suatu kompromi yang diumumkan Soekarno esok harinya, 16 Juli 1945. Ia mengimbau kepada kaum kebangsaan, khususnya yang tidak beragama Islam, untuk memberikan pengorbanan dengan menyetujui rumusan "Presiden RI haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam". Kata Soekarno, "Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai." Usul Soekarno tersebut diterima sidang. Hari itu, dengan suara bulat disetujuilah rencana UUD tersebut. Namun, perkembangan keadaan menentukan lain. Pada 7 Agustus Jepang mengumumkan berdirinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggantikan BPKI, "Untuk mempercepat semua usaha yang berhubungan dengan persiapan akhir buat pembentukan suatu pemerintah Indonesia Merdeka". PPKI mempunyai 21 anggota dengan Soekarno sebagai ketua, sedang Soebardjo ditunjuk sebagai penasihat khusus. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh guncangan. Kekalahan Jepang makin nyata. Kegiatan kelompok pemuda makin menggebu. Segera terlihat, para pemuda tidak puas dan menentang sikap "orang-orang tua" dalam PPKI yang dinilai ragu-ragu dan "takut" pada Jepang. Apalagi setelah Soekarno-Hatta menolak memproklamasikan kemerdekaan mengatasnamai bangsa Indonesia. Lalu terjadilah "Peristiwa Rengasdengklok" -- penculikan terhadap Soekarno-Hatta oleh kelompok Sukarni pada 16 Agustus subuh. Situasi berubah cepat. Semua orang kini yakin Jepang telah menyerah pada Sekutu. Soekarno-Hatta sepakat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia esoknya. Naskah proklamasi pun disusun dalam suatu rapat PPKI, yang mengambil tempat di rumah Laksamana Maeda. Enam anggota tambahan dimasukkan dalam PPKI, termasuk Sajuti Melik -- yang mengetik naskah proklamasi tersebut. Esoknya kemerdekaan diproklamasikan. Indonesia merdeka!. Sehari kemudian, 18 Agustus 1945 pukul 11.30, sidang PPKI diselenggarakan. Soekarno membukanya dengan mengingatkan bahwa hari itu mereka bertugas menyusun UUD Negara Indonesia yang merdeka. Padahal, "Kita duduk di dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya." Karena itu, ia meminta agar sidang bertindak dengan kecepatan kilat. Ia meminta agar sedapat mungkin UUD yang akan disusun mengikuti apa yang telah dirancang BPKI sebulan sebelumnya. Kendati begitu, dilakukan sejumlah perubahan penting. Dalam Mukadimah, uraian panjang yang berbau memuji Jepang ditiadakan. Perubahan penting lain: ketentuan bahwa Presiden harus beragama Islam dicoret. Tujuannya, kata Hatta, agar UUD dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragama Islam. Berkaitan dengan itu, pasal 29 juga diubah menjadi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Kalimat di belakangnya yang berbunyi "dengan kewajiban" dan lain-lain dihapuskan. "Inilah perubahan yang mahapenting (untuk) menyatukan segala bangsa," kata Hatta. Sidang menyetujui rumusan baru tersebut. Hari itu sidang diskors pada pukul 13.50. Tatkala sidang dibuka lagi pada pukul 15.15, Soekarno menyampaikan: "atas permintaan pers", sidang akan membicarakan dulu acara pemilihan kepala negara dan wakilnya. Ia minta agar dilakukan pemungutan suara secara tertulis. Tapi Otto Iskandar Dinata menyela. "Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap pemilihan presiden diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri." Hadirin bertepuk tangan. Soekarno menerima dan mengesahkannya. Semua anggota berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bung Hatta kemudian terpilih melalui cara yang sama, sebagai wakil presiden. Akhirnya, sekitar pukul 16.00 seluruh hadirin menyetujui pasal tentang Aturan Tambahan. Lalu Soekarno mengatakan, "Dengan ini, Tuan-tuan sekalian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta peraturan peralihan telah sah ditetapkan." Sebuah konstitusi pun telah lahir. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus