BERITA tentang pengungsi ini sempat mengagetkan para petugas Indonesia di Galang. Sumber beritanya tak lain Simon Jeans, pengacara Australia yang pernah menjadi konsultan UNHCR di Galang, 1992. Ia berbicara di radio ABC (Australia) dan BBC (Inggris). Para pengungsi, tutur Jeans, kerap mendapat perlakuan tak senonoh dan pemerasan dari petugas. ''Banyak pengungsi yang sudah mendapat rekomendasi UNHCR untuk mendapatkan status refugee ditolak karena tak bisa membayar upeti,'' ungkap Jeans, yang pernah bertugas di Galang selama enam bulan. Pemerasan, ujar Jeans, bisa terjadi karena penentuan status pengungsi, menurut hukum, baru sah setelah ditetapkan oleh negara tempat pemohon berada. Kalau si korban punya uang tunai, tuduh Jeans, petugas tadi akan minta di tempat tanpa malu-malu. Kalau korban bokek tapi ada keluarga di luar negeri yang bersedia menanggung, pejabat itu akan membawanya ke Tanjungpinang, kadang ke Jakarta, untuk menelepon. Jeans menuduh, kutipan untuk menjadi refugee antara US$ 5.000 (Rp 10 juta) dan US$ 8.000 (Rp 16 juta). Pemerasan dalam bentuk layanan seks, tuduh Jeans lagi, juga tak tersembunyikan. ''Hampir semua orang di Galang tahu apa yang terjadi,'' kata Jeans. Namun, ia tak bisa menunjuk siapa saja saksi yang jadi korban pemerasan itu. ''Mereka takut akibatnya,'' ujarnya. Ia sudah mengirimkan surat protesnya ke pemerintah Australia, akhir Juni lalu, tapi tak ada tanggapan. Tentu saja tuduhan Jeans itu dianggap isapan jempol oleh pejabat Indonesia yang mengurus Galang. Menurut Budiono, Wakil Pelaksana Harian P3V Pusat, yang meneken hasil akhir skrining memang pejabat Indonesia. Tapi, untuk menentukan gagal tidaknya skrining, UNHCR terlibat dari awal. Proses skrining itu dimulai dengan pendataan bersama oleh UNHCR dan P3V Daerah. Wawancara pertama (preliminary interview) dilakukan konsultan UNHCR, dan baru kemudian skrining utama dilakukan pejabat Indonesia. Bila hasilnya bertolak belakang, misalnya UNHCR bilang lolos dan petugas Indonesia menyatakan tidak, kasus ini akan banding ke review committee Jakarta, yang melibatkan antarinstansi pemerintah dan UNHCR. Para petugas P3V malah balik menuding Jeans sebagai konsultan UNHCR yang berkonduite buruk. Mereka mengungkapkan, Jeans selama bertugas sebagai pewawancara sering membantu si pengungsi mengisi formulir segala. Selain itu, justru Jeanslah yang mereka tuding sering main dengan cewek pengungsi, berganti-ganti. ''Dia banyak punya istri pengungsi,'' kata Kapten G. Marbun, wakil komandan satpam di Galang. Jeans membantah tudingan balik itu. ''Sama sekali tak benar,'' katanya. Sayangnya, kantor UNHCR di Tanjungpinang mengaku tak punya data mengenai perilaku Jeans. Sebagai konsultan UNHCR, Jeans memang tinggal di Galang, sehari-hari bergaul dengan para pengungsi. ''Tentang bagaimana perilaku mereka selama di Galang, sayang, kami tak bisa mengatakan mereka baik atau buruk,'' kata Annika Linden, kepala kantor UNHCR Tanjungpinang. Lomba antarpengungsi agar bisa bertolak ke negara ketiga bisa pula menggoda pejabat di Galang. Tapi, menurut Tuyet, 44, pengungsi Vietnam yang kini bermukim di Australia, kalaupun ada ''hubungan'' antara pengungsi wanita dan petugas Indonesia, biasanya itu berdasarkan suka sama suka. ''Tidak ada paksaan,'' kata Tuyet, bekas guru di Vietnam. Ngoc, 46 tahun, rekan Tuyet, berucap serupa. Penghuni kamp Galang, katanya, masih bernasib baik. ''Kamp pengungsi di Galang, yang saya dengar, termasuk terbaik dibandingkan dengan kamp lainnya,'' kata Ngoc, yang juga bekas guru. ATG (Galang) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini