Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bergabung ke Koalisi Indonesia Maju, pemerintahan Prabowo Subianto niscaya bakal sangat kuat. Stabilitas politik bisa terus terjaga dalam lima tahun ke depan karena semua partai—baik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat maupun partai gurem—berada di genggaman Prabowo Subianto. Namun kongsi partai banteng dengan Prabowo juga membawa malapetaka besar: kerusakan demokrasi.
Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey pada Ahad, 6 Oktober 2024, mengatakan ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, menyatakan akan mendukung pemerintahan Prabowo. Salah satu indikasinya, Puan Maharani, yang juga putri Megawati, telah dilantik sebagai Ketua DPR. Sinyal bergabungnya PDIP kian kuat seiring dengan rencana pertemuan Megawati dengan Prabowo dalam waktu dekat.
Bergabungnya PDIP akan membuat segala kebijakan Prabowo lolos dengan mudah di DPR. Sulit berharap partai yang telah mendapat posisi strategis, seperti kursi menteri, bakal mengkritisi kebijakan pemerintah. Berbagai program Prabowo, yang sebagian sangat ambisius dan menyedot anggaran, bisa lebih cepat berjalan.
Tanpa kehadiran oposisi atau penyeimbang di DPR, pengawasan terhadap transparansi serta akuntabilitas pemerintahan bakal memudar, bahkan bisa hilang sama sekali. Tak ada lagi kontrol terhadap pemerintahan Prabowo. Pemerintahan yang berjalan tanpa kontrol pastilah hanya menimbulkan kekacauan demokrasi. Penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi di mana-mana. Pemerintah menjadi sangat otoriter.
Tanpa pengawasan oposisi, pemerintahan Prabowo akan berlumur korupsi. Eksekutif dan legislatif bakal terus berpesta pora menggangsir duit negara. Korupsi berjemaah akan meningkat. Kondisi ini tak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi juga menular hingga ke daerah. Ketika para juragan partai sudah bersalaman, petugas partai hanya akan membeo.
Itu semua terjadi pada pemerintahan Joko Widodo. Begitu banyak kekeliruan pemerintah yang didiamkan oleh para legislator, begitu pula sebaliknya. Dengan sokongan Dewan, pemerintah leluasa menerabas sistem ketatanegaraan. Muncullah undang-undang sarat masalah, seperti omnibus law Cipta Kerja atau revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang membuat lembaga itu lemah, bahkan malah menjadi sarang rasuah.
Praktik buruk pembahasan undang-undang ala Roro Jonggrang atau semalam jadi, seperti yang nyaris terjadi pada revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, ada kemungkinan akan terulang kembali. Begitu pula proyek mercusuar, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Pembelian senjata pun bisa membuat anggaran jebol, seperti yang terjadi saat Prabowo menjadi Menteri Pertahanan.
Tanpa oposisi, demokrasi hanya melahirkan kebijakan yang buruk. Tak ada perdebatan berkualitas dalam pembahasan setiap kebijakan pemerintah. Kepentingan publik yang seharusnya menjadi faktor utama dalam perumusan kebijakan menjadi terabaikan. Orientasi pemerintah dan DPR hanya membuat kebijakan yang menguntungkan sekelompok orang. Oligarki kian menjadi-jadi.
Nihilnya oposisi juga membuat nasib kaum lemah, seperti masyarakat adat, makin suram. Kelompok masyarakat sipil yang mengawasi pemerintah dan mengawal demokrasi dapat dirontokkan. Ruang mereka untuk berbicara dan berbeda pendapat akan diberangus. Upaya ini sudah muncul setelah Prabowo memenangi pemilihan presiden, seperti rencana revisi Undang-Undang Penyiaran yang memberangus jurnalisme investigasi yang selama ini ikut membongkar berbagai penyelewengan.
Menjadi oposisi memang sulit. Akses partai oposisi terhadap sumber daya ekonomi pastilah tak sebaik pendukung pemerintah. Namun PDIP sebaiknya menimbang ulang dampak kerusakan demokrasi jika mendukung pemerintahan Prabowo. Kerusakan itu harus dibayar mahal dalam lima atau bahkan sepuluh tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini