Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ingin merespons dan memahami problem pelik yang dihadapi muslim Uighur di Tiongkok, kita sebaiknya menanggalkan kacamata agama. Tekanan Beijing atas suku Uighur terkait erat dengan sejarah panjang keberadaan etnis ini dan berkait-berkelindan dengan soal ekonomi, sosial, budaya, serta asal-usul mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah Uighur adalah masalah kemanusiaan yang berbenturan dengan watak pemerintahan Cina yang sentralistis. Suku Uighur mendiami wilayah otonom Provinsi Xinjiang di barat laut Tiongkok yang berbatasan dengan Mongolia di bagian timur, Rusia di utara, serta Kazakstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afganistan, dan Kashmir di barat. Mereka mendiami wilayah itu sejak sekitar tahun 60 sebelum Masehi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suku ini merasa bukan bagian dari Cina karena nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah, terutama Turki. Karena itu, suku ini mencoba melepaskan diri dari Tiongkok setelah penaklukan klan-klan Mongol yang menguasai wilayah tersebut di zaman Dinasti Han, yang berkuasa selama empat abad hingga tahun 200 Masehi. Setelah penaklukan, Tiongkok membiarkan daerah ini sebagai wilayah tak bertuan hingga pembukaan Jalur Sutra.
Problem Uighur mirip dengan masalah Papua di Indonesia, yakni adanya perbedaan memahami sejarah dalam bingkai negara kesatuan. Keliru jika menyempitkan ketegangan di sana sebagai semata konflik berlatar agama. Sebab, meski bentrok dengan Uighur, Tiongkok berhubungan mesra dengan suku Hui, yang juga muslim Xinjiang. Masalah Uighur menjadi pelik sejak 1960 setelah adanya provokasi Gerakan Islam Turkistan Timur dan Partai Islam Turki. Belakangan, Al-Qaidah serta kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga mendompleng isu separatisme di sana.
Maka, dalam pandangan pemerintah Cina, apa yang mereka lakukan adalah mencegah perpecahan. Hanya, karena wataknya yang sentralistis, pendekatan yang dipakai Beijing tak memakai cara-cara demokratis yang menjadi ukuran negara-negara Barat. Pemerintah Cina mengakui ada kamp konsentrasi, yang disebut media-media luar sebagai kamp penghilangan etnis, yang berfungsi meredupkan semangat pemisahan etnis Uighur dan menjadikannya “satu Cina”.
Motif ekonomi memperkeruh problem pelik di sana. Seperti dilansir New York Times edisi 20 Desember 2014, ada 685 proyek perusahaan negara Cina di Xinjiang yang kaya akan cadangan gas, mineral, dan minyak. Pemerintah Cina mengakui kandungan minyak di provinsi ini mencapai 21 miliar ton atau seperempat cadangan minyak nasional negara itu. Belum lagi batu bara yang menyumbang 38 persen kebutuhan Cina.
Perang dagang membuat keadaan bertambah runyam. Negara-negara besar di sekitar Xinjiang tentu berkepentingan atas merdekanya Uighur karena mengincar potensi ekonomi yang besar ini. Maka, jika Indonesia hendak membantu muslim Uighur dengan cara damai, pengalaman kita menangani masalah Aceh bisa menjadi tawaran solusi. Mengajak dan mendorong muslim Hui berperan aktif menyelesaikan problem saudara mereka bisa menjadi cara terbaik menyelesaikan masalah Uighur.
Indonesia tak bisa berpangku tangan dalam problem ini. Sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah perlu aktif menyelesaikan konflik semacam ini. Juga mengambil pelajaran berharga bahwa pendekatan keamanan, infrastruktur, dan propaganda tak bisa menyelesaikan konflik berlatar belakang sejarah. Pendekatan kemanusiaan harus dikedepankan, seperti yang semestinya dilakukan pemerintah terhadap Papua.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo