Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Sugeng*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu Bung Karno sangat murka. Dengan lantang ia berkata, “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam slogan antineokolonialisme di atas, sepintas hanya tersua deretan nomina atau kata benda yang menghadirkan unsur negara, manusia, dan senjata. Lalu bagaimana kita dapat memahaminya sebagai kalimat sempurna? Sebaiknya mari kita kenali lebih dulu istilah denominalisasi, yakni penggunaan nomina sebagai verba atau kata kerja.
Denominalisasi terjadi pada setiap bahasa. Beberapa bahasa memungkinkan nomina dipakai langsung sebagai verba, sedangkan yang lain memerlukan transformasi morfologis berupa afiksasi atau pengimbuhan. Bahasa Inggris masuk jenis bahasa yang mengakomodasi kedua kasus tersebut. Bahkan, “Konversi nomina menjadi verba sudah lazim digunakan dalam tata bahasa Inggris berabad-abad lamanya,” kata Steven Pinker dalam bukunya, The Language Instinct, “dan merupakan salah satu ciri bahasa Inggris.” Maka tak usah heran jika penutur Inggris enteng saja berucap, “We have emailed/texted/messaged/DM-ed you” (DM: direct message). Kalimat ini tentu tidak bisa diindonesiakan begitu saja menjadi “Kami sudah surel/teks/pesan/PL Anda” (PL: pesan langsung).
Dalam kasus tertentu, denominalisasi dapat membantu pemakai bahasa bertutur ringkas dan lugas untuk menghadirkan efek dinamis dalam mengungkapkan gagasan. Dalam slogan Orde Lama yang sarkastis itu, misalnya, kata linggis dan setrika sebagai nomina serta-merta terjelma menjadi verba yang lugas. Kedua kata tersebut seketika beralih fungsi menjadi predikat dalam kalimat yang maknanya setara dengan “Inggris kita gebuk, Amerika kita seruduk” itu.
Selain terdapat dalam kalimat imperatif, verba denominal tanpa imbuhan dalam bahasa Indonesia tersusun dalam bentuk pasif persona dengan pola “subyek (nomina) + pelaku (pronomina persona) + predikat (verba denominal)”. Sejalan dengan kalimat majemuk setara pada alinea pembuka, kita dapat mengatakan “pohon kita gergaji, kayu kita kapak, paku kita palu, dan batu kita gerinda”.
Selebihnya, denominalisasi terjadi melalui afiksasi. Bahasa Indonesia pada dasarnya cukup elastis dalam membentuk verba denominal, baik transitif maupun intransitif, bahkan sekalipun bersumber dari frasa nominal. Misalnya mengambinghitamkan, membumihanguskan, menganaktirikan, memejahijaukan, berbantal lengan, berbadan dua, berhati berlian, dan berlidah ular.
Belakangan ini, bermunculan istilah modern di bidang teknologi informasi. Di antaranya mengacu pada produk media komunikasi digital berbasis Internet. Sesuatu yang hendak kita ketahui kita google. Agar saling terhubung, kerabat dan sahabat kita skype, kita facebook, dan kita whatsapp. Kita beryoutube menonton klip video viral, bertwitter menuliskan kalimat pendek, dan berinstagram memamerkan swafoto penuh gaya. Untuk memudahkan pencarian data, situs web kita bookmark. Pendeknya, kita berinternet untuk berinteraksi, bertransaksi, dan berburu informasi.
Dengan banyaknya istilah baru di aneka bidang, kita bakal sangat sibuk jika terlalu serius berupaya menambah-nambah pasokan kosakata melalui penerjemahan atau perekaan, misalnya. Kalau tidak tepat, meski sedap didengar (eufonik), istilah baru yang ditawarkan berpotensi terabaikan. Salah satu penyebabnya adalah istilah itu tidak ramah pengguna, tidak praktis. Contohnya, istilah laptop lebih ringkas ketimbang komputer jinjing sehingga lebih berterima. Aksesori, troli, dan wig juga lebih berterima daripada hiasan pelengkap, kereta dorong, dan rambut palsu.
Suatu istilah juga bisa tersingkir karena tidak eufonik. Mangkus dan sangkil terbukti kalah pamor dengan efektif dan efisien. Peladen dan tetikus pun tak sanggup menandingi kata sumbernya: server dan mouse.
Tentu saja masih banyak bentukan istilah baru yang “layu sebelum berkembang”, tak laku di pasaran. Jangankan kata, bahasa pun bisa tamat riwayatnya jika tak banyak penuturnya. Bahasa Latin dan Sanskerta adalah dua contohnya.
Dengan demikian, metode penyerapan dengan penyesuaian ejaan atau lafal agaknya merupakan jalan tengah paling afdal yang bisa dilakukan untuk menghadapi serbuan istilah asing yang terus bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Bukankah bahasa Inggris, misalnya, juga tak segan-segan menyelipkan sekian banyak kata Indonesia di dalam kamus-kamusnya? Sebut saja orangutan, cassowary, durian, rambutan, satay, tempeh, sarong, batik, koteka, gamelan, angklung, gong, dan segala sesuatu yang asal-muasalnya terlahir di bumi Nusantara. Begitulah sejatinya perangai bahasa: suka pinjam-meminjam, saling pungut.
*) PENERJEMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo