Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERUSUHAN di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia pekan lalu menampar wajah aparat penegak hukum kita. Gugurnya lima polisi muda di sana seharusnya tidak terjadi jika prosedur pengamanan narapidana kasus terorisme dilaksanakan dengan tertib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Strategi Detasemen Khusus 88 dalam memadamkan kerusuhan patut diapresiasi meski terlambat. Drama penyanderaan selama 36 jam memang dapat diakhiri. Namun sikap tertutup petugas patut disesali: bukan cuma masyarakat luas, bahkan pejabat setingkat menteri dan Presiden pun baru mengetahui kejadian ini setelah jatuh korban. Keterlambatan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian tiba di lokasi patut dipertanyakan. Berada di Yordania ketika insiden ini terjadi, ia selayaknya mempercepat kunjungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Markas Besar Kepolisian RI mengklaim pemicu kerusuhan adalah protes seorang tahanan terorisme asal Pekanbaru, Wawan Kurniawan alias Abu Afif, yang tidak memperoleh makanan titipan keluarganya. Mustahil persoalan sesepele itu memantik kerusuhan besar jika tak ada faktor lain yang berpengaruh. Kepala Polri dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami wajib mengevaluasi seluruh sistem pengelolaan narapidana dan tahanan kasus terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob untuk mengetahui akar masalah ini.
Mereka perlu menelisik semua kemungkinan penyebab kerusuhan itu, termasuk faktor padatnya sel-sel tahanan di Markas Komando Brimob. Ada 155 narapidana dan tahanan kasus terorisme di dalam sel yang terbatas. Sebagian dari mereka sebenarnya sudah menjalani persidangan dan divonis penjara, tapi nyatanya belum juga dipindahkan ke rumah tahanan lain.
Kondisi padat itu diperburuk oleh minimnya jumlah petugas yang berjaga. Ketika kerusuhan pecah, 155 narapidana yang rata-rata pernah mengikuti latihan paramiliter jelas bukan tandingan untuk 13 polisi yang bertugas di sana. Kerusuhan meluas setelah narapidana berhasil merebut sejumlah senjata dan bom yang disita polisi selama operasi penangkapan teroris. Fakta bahwa senjata-senjata itu masih disimpan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua makin menunjukkan keteledoran polisi dalam mengelola rumah tahanan itu.
Lemahnya penjagaan di rumah tahanan Brimob ini jelas sulit diterima akal sehat. Ada kesalahan kebijakan yang cukup mendasar ketika sebuah penjara yang menampung seratusan narapidana berbahaya dari jejaring yang sama hanya dijaga seadanya. Apalagi ada laporan bahwa sebagian tahanan dan narapidana di Kelapa Dua bisa menggunakan telepon seluler dengan leluasa. Walhasil, ketika insiden nahas ini terjadi, para teroris dengan mudah bisa mengunggah foto-foto aksi mereka ke media sosial-lengkap dengan bendera organisasi Negara Islam (IS) yang dibentangkan. Bahkan ada yang sempat menghubungi pengacara dan meminta bantuan hukum.
Kewaspadaan minimum ini mengherankan karena kerusuhan yang dipicu narapidana terorisme di Kelapa Dua bukanlah yang pertama. Pada 10 November 2017, terjadi kericuhan serupa ketika petugas penjara menyita telepon seluler milik beberapa narapidana. Kala itu, tahanan juga menjebol pintu sel dan pintu pagar serta memecahkan kaca-kaca jendela. Namun para penjaga bisa mengatasi kerusuhan itu dengan cepat. Ketika itu, jumlah narapidana yang terlibat pemberontakan memang tak sebanyak sekarang dan kerusuhan bisa diatasi sebelum meluas.
Tindakan Kepala Polri memindahkan semua narapidana dan tahanan yang terlibat kerusuhan pekan lalu ke Penjara Nusakambangan adalah kebijakan yang tepat, meski terlambat. Sejak awal, seharusnya para narapidana kelas kakap itu ditempatkan di penjara dengan pengawasan maksimum. Selain dipindahkan, semua narapidana yang terlibat kerusuhan harus segera disidik dan berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan. Hukuman mereka harus diperberat untuk memberikan efek jera.
Efek domino insiden Kelapa Dua harus diantisipasi. Serangan kepada polisi sehari setelah kejadian itu membuktikan sel-sel teroris terus aktif bergerak. Penyanderaan memang sudah berakhir, tapi peristiwa ini dapat memberikan inspirasi bagi kelompok garis keras di luar penjara untuk merapatkan barisan.
Ke depan, selain pengamanan diperketat, identifikasi detail atas profil para narapidana terorisme perlu terus-menerus diperbarui di pangkalan data polisi. Jangan sampai pemerintah kecolongan lagi akibat tak cermat memilah mana narapidana terorisme yang sudah insaf meninggalkan jalan kekerasan dan mana yang masih bersemangat menyiapkan serangan teror. Para pemimpin jejaring teror yang sudah tertangkap perlu diperlakukan khusus agar tidak memprovokasi anggota kelompoknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo