Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penembakan warga pada saat pengukuran tanah di Pantai Marosi, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, sudah seharusnya diusut tuntas. Kematian seorang penduduk dan korban luka beberapa orang lainnya terlalu mahal dibanding kepentingan perusahaan pengembangan pariwisata di kawasan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aparat keamanan dan pemerintah daerah seharusnya belajar dari pelbagai sengketa lahan sebelumnya. Sikap aparat membela pengusaha kerap menjadi bahan bakar yang mengobarkan bara konflik. Pengerahan pasukan gabungan polisi dan tentara bersenjata dengan alasan untuk mengamankan pengukuran lahan ke Pantai Marosi pada 25 April lalu malah memprovokasi warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengketa lahan di Pantai Marosi sejatinya bukan hal baru. Warga menolak lahan "telantar" di kampung mereka diambil investor sejak 1994. Adapun PT Sutra Marosi, yang kini bersengketa dengan warga, baru masuk ke wilayah itu pada 2015. Aparat keamanan dan pemerintah daerah semestinya mengetahui karakter konflik dan cara mengatasinya.
Sebelum konflik meledak, aparat dan pemerintah daerah seharusnya mengutamakan pendekatan persuasif. Pemerintah perlu lebih dulu meyakinkan masyarakat bahwa pengembangan pariwisata juga akan menguntungkan mereka. Aparat seharusnya tak memaksakan eksekusi lahan sengketa sebelum warga memberi sinyal positif.
Petinggi Polri sejak awal terkesan membela korps ketika mengklaim bahwa aparat telah bertindak sesuai dengan prosedur. Bagaimanapun, penggunaan peluru tajam untuk menghadapi pengunjuk rasa itu melanggar aturan. Karena itu, sebelum mengambil kesimpulan, Polri seharusnya mengirim tim khusus ke lapangan. Apalagi kronologi peristiwa antara versi polisi dan warga setempat sejauh ini masih belum sesuai.
Supaya kasus ini lebih terang, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu turun tangan. Jika diperlukan, bentuk tim pencari fakta independen yang melibatkan ahli hukum pertanahan serta perwakilan masyarakat. Tim seperti itu mungkin akan bisa melihat masalah dan membuat rekomendasi secara lebih obyektif.
Bila Pemerintah Kabupaten Sumba Barat ingin melanjutkan pengembangan wisata di Pantai Marosi, tak ada kata terlambat untuk memediasi lagi warga dan pengusaha. Hanya lewat negosiasi dan persuasilah, sengketa lahan yang sudah menahun itu berpeluang diselesaikan. Tentu saja, dalam negosiasi, pemerintah juga harus memastikan bahwa masuknya investor ke Pantai Marosi tak akan merugikan warga setempat.
Agar kekerasan seperti di Marosi tak berulang, setiap kali menangani sengketa lahan, aparat keamanan harus menjadi penengah yang netral sekaligus pengayom masyarakat. Sebab, aparat bukanlah "centeng" yang bisa dipakai pengusaha untuk mengintimidasi rakyat.