DUA pamflet gelap ditemukan, di bulan Desember 1787, di
Surakarta. Pamflet gelap itu ditempelkan di Pagongan di bagian
kraton tempat menyimpan gamelan. Isinya panjang, dan bermiripan:
si penulis menggugat Raja Surakarta, Pakubuwana III. Salinan
maklumat itu tak diketemukan, tapi arsip VOC masih menyimpan
terjemahannya.
Dalam pamflet yang pertama disebutkanlah bahwa Sri Susuhunan tak
boleh lagi jadi raja. "Engkau keturunan para penguasa yang
terhormat dan berwatak pendeta, tapi kenapa engkau tak berlaku
benar?", begitu rangkaian kalimatnya, menghantam. "Raja macam
apakah kamu? Raja dari bangsa Eropa, kamu tirdak lagi
menyenangkan Tuhan". Dan dengan nyala yang sama panasnya pamflet
itu pun bertanya: "Haruskah orang-orang Eropa itu lebih kuat
ketimbang Tuhan? .... Sebagai raja, kamu selesai sudah. Karena
itulah negerimu kacau, sandang dan pangan mahal, hujan jarang
turun, dan semua serba penyakit".
Siapakah si penulis pamflet gelap itu? Di kalimat awal ia
mengaku sebagai "Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingalaga".
Ia menyatakan diri datang dari Mekah. Ia berjanji, bahwa di hari
ke-11 bulan itu, di hari Jum'at, ketika "bianglala berwarna
merah dan putih ujungnya mencapai mentari", tanda datangnya
"sang Raja dari Mekah" akan nampak.
Dan kraton Surakarta pun konon geger. Zaman 200 tahun yang lalu
itu belum ada Gestapu, Kiri Banu, CIA, PSI, Masyumi, ekstrim
kiri dan kanan lainnya -- jadi mungkin si penulis adalah orang
sinting. Tapi orang sinting juga bisa berbahaya. Waktu itu
banyak orang sinting dianggap punya kekuatan gaib -- atau
mungkin juga sebenarnya karena pernah ada jenius yang begitu
nyentriknya hingga dianggap miring. Pendeknya: kraton Sala ribut
dan Kompeni ikut sibuk.
Alkisah, Residen Belanda waktu itu adalah seorang korup yang
bernama Palm. Residen ini kemudian diketahui kurang bisa
dipercaya dan mengkomersiilkan jabatan. Tapi di tangan tokoh
smacam inilah Kompeni menyelidiki perkara pamflet gelap itu.
Hasilnya: seorang kyai suka mistik yag bernama Kyai Alim Demak
ditangkap.
Dan sang Kyai yang butahuruf itu pun dihukum mati. Sebenarnya ia
hampir selamat dari hukuman itu, ketika perkaranya terdengar
oleh Gubernur Greeve di Semarang. Pembesar ini mungkin sudah
mulai tahu azas "presumption of innocence", atau anggapan bahwa
si tertuduh harus dianggap tidak bersalah sebelum dapat
dibuktikan sebaliknya. Ia minta agar kasus Kyai Alim Demak
diteliti kembali. Tapi terlambat. Laki-laki tua itu disiksa
sampai tewas. Kulitnya sepotong demi sepotong dikelupas dari
tubuhnya, dan pamflet gelap itu dibakar di bawah parasnya.
Seorang petugas kraton yang bernama Tanjunganom -- namanya
disebut Satu kali dalam pamflet, meskipun belum tentu dia yang
dimaksud dibakar hidup-hidup.
Lalu kasus itu pun ditutup. Palm sendiri kemudian, 11 Mei 1788,
mati mendadak, ketika para penguasa di Batavia sudah mulai tak
percaya begitu saja laporan sang Residen. Mereka menduga ada
sesuatu yang tak sepele di balik semua ini. Mereka toh melihat
rakyat Jawa gelisah. Banyak orang bergabung dengan gerskan para
Kiyai, para "aitator Islam" vanq bermunculan dari Banten,
Cirebon dan Madura.
Tapi pertanyaan masih belum terjawab: bersalahkah Kyai Alim
Demak? Bersalahkah Tanjunganom? Bersalahkan rakyat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini