PEMIMPIN tak selamanya harus lahir dari guncangan sejarah. Sebagian besar pemimpin yang pernah ada di dunia menjelang akhir abad ke-20 ini, muncui bukan dari situasi krisis. Mereka naik atau dipilih dalam suatu suasana biasa-biasa saja, dan mungkin agak hambar. Tanpa revolusi, tanpa kup, tanpa peristiwa dramatis. Soalnya, apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 adalah hal yang luar biasa dan tak akan berulang. Hari itu, sejak dinihari hingga menjelang'isya, ketidakpastian besar dan kecemasan yang laas meliputi seluruh Republik. Pagi itu sejumlah jenderal dikabarkan ditangkap atau tewas. Sampai petang tak ada yang tahu persis apa yang terjadi dengan kepala negara. Di saat morat-marit sepera itu, tampil seorang perwira tinggi bernama Soeharto, mengambil tindakan. Ia berhasil. Semenjak itu, Indonesia pun mengenal seorang pemimpin baru. Tapi bagaimana seorang pemimpin kelak akan bisa muncul, jika tak ada guncangan besar seperti yang terjadi di Indonesia di tahun 1965 itu? Jawabnya: dengan menerima kenyataan, bahwa kita butuh sebuah seleksi yang rutin. Artinya, kita butuh sistem. Artinya, kita butuh sesuatu yang reguler dan tanpa darah. Artinya, kita sebenarnya hanya butuh seorang pemimpin, karena tak selamanya kita dapat memproduksikan seorang pahlawan besar. Tapi barangkali untuk hal yang agak kurang menggairahkan itu, kita tak perlu menyesal. Toh lahirnya seorang tokoh agung, kata ahli fisika Poincare, ketika ia berbicara tentang sejarah, adalah "percikan terbesar dari faktor kebetulan". Dengan kata lain, peristiwa seperti itu tak bisa diramalkan, dan tak punya hukum alam yang jelas. Lagi pula, bila hal yang luar biasa itu akhirnya terjadi, kehidupan bersama tak dengan sendirinya berarti menyenangkan. Ada konon sebuah pepatah Cina lama yang mengatakan bahwa "orang besar adalah malapetaka bagi publik". Jika sesuatu terasa pahit dari ungkapan seperti itu, mungkin karena ia berasal dari pengalaman muram sebuah sejarah yang tua. Manusia memang umumnya bisa mengenangkan kembali bagaimana pemimpin-pemimpin mereka mengangkat diri dengan perang dan penaklukan, atau mengekspresikan kebesaran dengan menginjak orang lain. Betapa banyak kejadian di masa lampau ketika seseorang yang kemarin dielu-elukan sebagai penyelamat, esoknya mengecewakan semua harapan baik -- atau bahkan jadi seorang yang berkhianat. Karena itu, seorang pemimpin, apalagi dalam suatu masa yang tak memberi kesempatan untuk perbuatan-perbuatan heroik tak usah harus seorang besar. Sebuah demokrasi barangkali malah harus bersiap-siap untuk melindungi diri dari "malapetaka bagi publik" itu. Seorang besar memang mungkin seorang yang baik, tapi seorang yang besar umumnya sulit untuk dianggap sebagai tokoh yang "rutin". Padahal "rutinisasi kebesaran" itulah yang menjamin sesuatu yang stabil, karena dengan itu seorang pemimpin bisa datang tanpa diiringi sangkakala dan bisa pergi tanpa meninggalkan rasa cemas. Sebuah demokrasi, karena itu, memerlukan sebuah sistem yang mengelakkan ketergantungan kepada seorang individu. Bila A dipilih ke atas, itu adalah karena A memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan dan disetujui sebelumnya, bukan karena persyaratan itU dibikin sedemikian rupa agar cocok dengan keadaan Si A. Maka, Si A boleh saja tidak ada, asal ada orang lain - mungkin Si B atau Si C - yang memenuhi kriteria yang sudah ada itu. Tanpa kriteria semacam itu, memang akhirnya soalnya bergantung kepada suatu ketidakpastian. Sebuah sistem politik karena itu memang boleh dikatakan sudah "dewasa" bila ketergantungan kepada seorang individu, untuk memimpin, bisa dihindari atau dikurangi. Bagaimanapun, sebuah sistem yang mantap, yang tak akan mudah terguncang, adalah sistem yang bersandar pada kerendahan hati kepada kenyataan historis . Dan itu adalah kenyataan, bahwa orang besar - seperti yang diungkapkan di atas memang tidak lahir setiap sekian tahun. Dan tak kurang pentingnya adalah kenyataan bahwa orang besar mungkin sebetulnya tak pernah ada, hanya semacam takhayul: konon Beethoven merobek kertas simfoninya sendiri yang akan dipersembahkannya buat Napoleon yang ia kagumi, setelah pahlawan pengawal Revolusi Prancis itu menobatkan diri jadi maharaja. "Rupanya, ia juga makhluk biasa saja!" teriak sang komponis yang kecewa - yang rupanya pernah menduga bahwa ada manusia yang bukan "makhluk biasa saja". Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini