Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memilih Sebuah Nama lewat Kriteria

Presiden Soeharto menyebut sejumlah kriteria yang harus dipenuhi bila seorang akan dicalonkan & dipilih untuk jadi wapres.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA, akhirnya? Pertanyaan pendek ini ternyata memerlukan jawab yang panjang.

Yang ditanyakan tentu tentang calon utama Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-5, yang akan mendampingi Presiden Soeharto dalam masa jabatannya yang ke-5 nanti. Dan dengan segera, soal itulah agaknya yang jadi fokus utama Sidang Umum MPR 1988 ini, setelah beberapa bulan terakhir jadi bisik-bisik yang hangat di lapisan atas politik Jakarta.

Tak mengherankan bila ada suasana penting terasa ketika Jumat malam pekan lalu belasan tokoh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) berkumpul di ruang rapat mereka di lantai enam gedung DPR. Mereka tampaknya diundang secara mendadak. Dari sini bisa diduga betapa pentingnya pembicaraan yang akan dilaksanakan malam itu.

Tepat pukul 21.05, orang-orang yang ditunggu muncul. Yang pertama memasuki ruangan rapat itu adalah Sarwono Kusumaatmadja disusul Akbar Tanjung, dan Ketua F-KP MPR, R.H. Sugandhi Kartosubroto.

"Good, good...hasilnya betul-betul bagus," kata Sarwono setengah berteriak, ketika memasuki ruang rapat. Rupanya ketiganya baru saja menghadap Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta. Itu diungkapkan Sugandhi kepada sejumlah wartawan sehabis mereka mengadakan pertemuan tertutup sekitar satu jam di ruangan itu dengan para tokoh FKP tadi. Masalah yang mereka bicarakan: siapa calon Wakil Presiden?

Pertanyaan ini sebenarnya sudah menggantung lama. Nampaknya ada asumsi, bahwa wakil presiden yang sekarang, Umar Wirahadikusumah, seperti pendahulunya, hanya akan menjalani masa jabatan satu kali saja.

Orang memang boleh menebak-nebak, tapi ini soal nampaknya digambarkan sebagai sesuatu yang sulit. Baca misalnya keterangan Kepala Bakin, Yoga Sugomo. Dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Kamis, dua pekan lalu, Yoga mengakui bahwa lembaga Intelijen yang diplmomanya pun belum mendapat informasi siapa yang akan jadi calon wapres.

"Soalnya, selalu dikantungi Bapak Presiden," katanya, sebagaimana dikutip Suara Pembaruan. Menjawab pertanyaan anggota komisi, Machdi Tjokroaminoto, Kepala Bakin itu berkata, "Tidak ada yang bisa menerobos kantung Bapak Presiden. Nggak ada yang berani." Mungkin Kepala Bakin yang suka humor itu setengah bergurau, siapa tahu. Sebab, peristiwa yang terjadi kemudian, sebagaimana disiarkan untuk media massa, menunjukkan gambaran yang lain. Jumat itu F-KP menemui Presiden. Menurut sang Ketua Fraksi, R.H. Sugandhi, pertemuan itu sebagai hasil surat permohonan yang mereka kirimkan kepada Pak Harto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar, dua hari sebelumnya.

Soalnya, sidang umum MPR kian mendekat, dan FKP ingin melaporkan persiapan yang telah mereka lakukan sebelumnya untuk menghadapi peristiwa bersejarah ini. Selain itu, seperti dikatakan Akbar Tanjung kemudian kepada TEMPO, fraksinya ingin mengetahui dari Pak Harto, siapa yang akan jadi calon wakil presiden, sehingga mereka bisa membuat persiapan-persiapan untuk mengamankannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pertemuan sekitar satu jam itu, ternyata bukan cuma tiga pemimpin FKP yang hadir. Di sana ada pula Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. Keduanya adalah anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah. Ada pula Mayor Jenderal Harsudiono Hartas dan Kolonel R. Suhadi, yang dikenal sebagai anggota F-ABRI. Kata Sugandhi kemudian kepada TEMPO, "Yang menghadap memang tujuh orang, tapi secara resmi cuma kami bertiga dari FKP."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maksudnya adalah hanya mereka bertiga yang resmi menghadap--mengigat bahwa ini pertemuan dengan Pak Harto sebagai tokoh Golkar. Pertemuan dimulai sekitar pukul 20.30. Sugandhi melaporkan lebih dahulu hasil kerja mereka di dalam sidang-sidang Badan Pekerja sampai sidang pleno MPR.

Setelah itu semua, Sugandhi pun melangkah lebih lanjut. Ia bertanya tentang siapa calon wakil presiden yang dikehendaki Pak Harto--mungkin suatu usaha menebak nama yang ada "di kantung Presiden", untuk meminjam ungkapan Kepala Bakin. 

Ternyata, menurut keteranan pers yang tersiar luas kemudian, Pak Harto tidak menyebut nama. Ia menyebut sejumlah kriteria, yang harus dipenuhi bila seorang akan dicalonkan dan dipilih untuk jadi wakil presiden.

Dengan demikian, Pak Harto tampaknya mengisyaratkan bahwa siapa pun orangnya, ketentuannya tak berdasarkan like and dislike, senang atau tak senang secara pribadi. Juga, bahwa Pak Harto, tak hendak mendikte para angggota MPR, meskipun ia tentulah punya preferensi dalam seleksi untuk menentukan pendampingnya.

Adapun kriteria seorang wapres yang diberikan oleh Pak Harto mencakup beberapa syarat pokok. Dalam pelbagai penjelasan yang disampaikan ke masyarakat kemudian, kriteria yang diberikan Pak Harto itu terurai dalam lima butir.

Pertama, ia mestilah seorang yang memiliki "sikap mental serta ideologi Pancasila dan UUD '45". Kedua, ia harus cakap atau kapabel. Ketiga, ia juga harus dapat diterima semua pihak. Keempat, ia harus menunjukkan citra adanya dukungan dari kekuatan sosial-politik yang besar. Kelima, ia harus punya prestasi yang nyata.

Munculnya kriteria dari Pak Harto memang merupakan hal baru. Biasanya, menjelang Sidang Umum seperti ini, selalu muncul nama wapres dari Presiden. Lima tahun yang lalu, misalnya, tiga hari sebelum Sidang Umum MPR Maret 1983, di kediaman Pak Harto di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat, wakil ketua FKP, R. Soekardi, muncul memberikan keterangan pers. Atas nama trifraksi terbesar di MPR (FKP, F-ABRI dan F-UD), Soekardi mengeluarkan pernyataan bahwa mereka telah berkonsultasi dengan Presiden, dan nama yang muncul sebagai calon wapres adalah Umar Wirahadikusumah.

Banyak yang menyambut perubahan itu sebagai tanda bahwa ada pelembagaan dalam proses seleksi wakil presiden--sebuah pos yang semakin penting tampaknya menjelang 1992, tahun pemilu berikutnya, ketika sejumlah pemimpin menjadi semakin lanjut usia. Berarti, kini soalnya tak lagi semata-mata bergantung kepada pilihan dari atas, untuk sebuah jabatan yang kadangkadang dianggap hanya sebagai "ban serep" itu. 

Itu juga, kata sebuah sumber yang mengetahui, sejalan dengan pandangan Pak Harto bahwa ia tak menyiapkan seorang kroonprinz, atau "putra mahkota". Setiap calon pemimpin sebaiknya diseleksi melalui wadahnya yang tepat, dalam kancah kekuatan sosial-politik yang menang dalam pemilu. Atau seperti yang dikatakan Sugandhi, "Nantinya setiap orang yang ingin jadi presiden atau wakil presiden, dia harus membina kekuatan sosial politik yang besar."

Bila sistem dan mekanisme ini berjalan, organisasi seperti Golkar akan jadi arena yang amat menentukan. Dalam menentukan wakil presiden, misalnya, "Nanti presiden terpilih hanya punya wewenang sejauh menyangkut kriteria bisa bekerja sama itu," kata Sarwono.

Dalam acara Sidang Umum kali ini yang telah tersusun, sebenarnya, fraksi baru akan memajukan calon wapres secara resmi, sore, 10 Maret mendatang. Yaitu setelah acara pemilihan presiden yang direncanakan akan berlangsung siangnya. Sebelumnya, pimpinan MPR dan fraksi lebih dahulu mengonsultasikan calon wapres itu dengan presiden terpilih. Setelah itu, besok sorenya, barulah acara pemilihan wapres dilaksanakan, hanya beberapa jam sebelum SU MPR ditutup secara resmi.

Setelah Pak Harto menyarankan sejumlah kriteria sebelum menunjuk nama, acara konsultasi dengan presiden terpilih dihapuskan. Ini merupakan keputusan rapat pimpinan majelis dan pimpinan fraksi yang berlangsung Senin siang ini. "Agar tak timbul kesan bahwa calon wapres itu datangnya dari Presiden," kata Parulian Silalahi, Wakil Ketua F-PDI.

Yang paling menunjukkan bahwa calon wapres tak datang dari presiden adalah F-PPP. Fraksi ini Senin pekan ini sudah meluncurkan John Naro sebagai calon. Pernyataan sikap partai itu disampaikan Ketua F-PP MPR, Darussamin, hari itu kepada wartawan di lantai IV Gedung DPR.

Ini sesuai dengan keputusan rapat Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dengan DPP PPP, Minggu lalu. "Keputusan ini segera kami ajukan pada H.J. Naro. Kami tak akan menanyakan kesediaannya. Karena adalah instruksi partai maka dia harus menerima," kata Darussamin dengan lantang.

Setelah itu, Darussamin dan sembilan anggota F-PP lainnya segera menemui Naro di kamar kerja Wakil Ketua DPR itu. Dan Naro memang sudah siap untuk tampil sebagai calon. "Saya bersedia. Semoga Allah melindungi hambanya ini," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Tapi apakah dia memenuhi kriteria? Sekjen PPP, Mardinsyah, menyatakan, "Iya." Selain itu, dipertimbangkan pula banyaknya dukungan dari kalangan pemuda, sarjana, dan mahasiswa dari berbagai daerah. "Tadi pagi saya menerima interlokal dari mahasiswa Mataram, Lomhok." katanya. Selain itu, Jumat dua pekan lalu, 21 mahasiswa Bandung mendatangi kantor FPP meminta Naro jadi calon wapres.

Naro sendiri menyatakan bisa bekerja sama dengan presiden terpilih, dengan dalih dia sudah 20 tahun berkecimpung di lembaga negara yang djpimpin oleh Presiden Soeharto. "Apakah itu bukan kerja sama namanya?" katanya. 

Entah siapa yang akan mendukung Naro untuk jabatan penting itu di sidang umum nanti. Kursi F-PPP di MPR cuma 126. Tapi seorang pengamat mengatakan, bagaimanapun ini pertanda baik: dalam soal memilih wapres setidaknya ada sedikit kompetisi, dan "ini setidaknya memeriahkan suasana".

Fraksi PDI sampai Senin pekan ini, secara resmi, belum bersuara. Tapi cukup meramaikan suasana dengan cara sendiri. Sejumlah anggota fraksi kepala banteng itu sudah lebih dahulu membuat gerakan. Sebanyak 14 anggota F-PDI, Sabtu pekan lalu, membuat surat kepada pimpinan F-PDI MPR dan tembusannya disampaikan ke alamat pimpinan MPR, DPP PDI, dan seluruh anggota F-PDI.

Isi surat: mencalonkan Mensesneg Sudharmono untuk menjadi wakil presiden. Mengapa Ketba Umum DPP Golkar itu yang mereka calonkan? "Satu-satunya tokoh nasional yang layak sekarang ya Pak Dhar," kata Marsoesi, salah satu di antara anggota kelompok itu, yang sejak sebelumnya memang diketahui sering bentrok dengan pucuk pimpinan DPP PDI, Ketua Umum Soerjadi dan Sekjen Nico Daryanto. Mereka dikenal dengan julukan kelompok 17, sesuai dengan jumlah pengikutnya. Tapi jumlah itu kini rupanya tinggal 14.

Mereka sengaja mendahului mengambil inisiatif karena menurut Marsoesi, DPP PDI tak juga menunjukkan sikap. Kata tokoh PDI Jawa Timur itu, "Kalau mereka tak bisa terima, ya pecah."

Selaku Ketua F-PDI MPR, Nico Daryanto tampak mencoba memilih sikap sabar tapi tetap tegas. Insiatif itu dianggapnya hanya sebagai usulan biasa. Siapa nanti calon PDI, fraksi harus menunggu petunjuk DPP. "Fraksi 'kan aparat partai," kata Sekjen DPP PDI itu.

FKP, sebagai fraksi terbesar dan pihak yang langsung menerima sistem dan mekanisme baru pencalonan wapres itu dari Pak Harto, sampai Senin pekan ini secara resmi juga belum melempar nama calonnya di bursa. Menurut Sugandhi, calon itu baru mereka sampaikan pada acara pemandangan umum fraksi terhadap hasil kerja Badan Pekerja MPR, 3 Maret yang akan datang.

Namun. FKP ternyata segera menyiapkan diri menghadapi acara penting itu. Setelah konperensi pers, malam itu juga, dua tokoh FKP, Akbar Tanjung dan Sarwono Kusumaatmadja, segera melaporkan hasil pertemuan dengan Pak Haru itu kepada Ketua DPP Golkar, Sudharmono, di kediamannya, di Jalan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Keesokan siangnya, Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono lantas menjelaskan sistem dan kriteria yang diinginkan Pak Harto itu kepada seluruh anggota FKP MPR di Gedung Serba Guna, perkampungan atlet Senayan.

Seusai acara, masih ada pertemuan lanjutan, yang diikuti seluruh pengurus DPP Golkar, termasuk Ketua Umum Sudharmono, yang berakhir sekitar pukul 18.00. Ketika itulah DPP memutuskan, sesuai dengan kriteria yang dimaksudkan Pak Harto itu, maka Golkar mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Fraksi ditugasi melaksanakan keputusan itu di dalam SU MPR.

Sudharmono dianggap paling memenuhi seluruh kriteria. Di tangannya Golkar tampak semakin mandiri, makin rapi organisasinya dan terbukti berhasil menaikkan jumlah perolehan suaranya. Dari 400 kursi yang diperebutkan, Golkar meraih 299, atau lebih 74 persen. Dalam pemilu lima tahun sebelumnya cuma sekitar 67 persen.

Lebih lagi, dalam pemilu ini pulalah, Golkar bisa disebut menang dengan sempurna, karena mampu menaklukkan PPP di daerah Serambi Mekah, Aceh. Dalam Pemilu 1982, PPP meraih suara terbanyak di Aceh.

Tokoh ini tak pula diragukan akan bisa bekerja sama dengan Presiden Soeharto. Dia sudah mendampingi Pak Harto sebagai Sekretaris Negara sejak awal Orde Baru 1966. Fungsi itu terus dipegangnya sampai sekarang selaku Menteri Sekretaris Negara.

Sudharmono sendiri selalu mengelak setiap disebut-sebut sebagai calon wapres. "Jangan tanya sama saya. Susah dong kalau begitu," katanya kepada wartawan Sabtu pekan lalu. Apakah dia sudah dihubungi fraksi? Dengan tepat dia berkelit, "Saya ini 'kan Ketua Umum DPP, fraksi itu 'kan alatnya DPP."

Jika dilihat ke belakang, pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden boleh dikatakan sudah agak lama beredar di kalangan Golkar. Dalam upacara syukuran sehabis pemilu yang dilaksanakan keluarga besar Golkar Jawa Timur di Gedung Olah Raga Petrokimia Gresik, 6 Juni 1987, isyarat bahwa Ketua Umum yang biasa disebut "Pak Dhar" ini akan jadi wakil presiden sudah muncul.

Ketua DPD Golkar Jawa Timur, H. Mochamad Said, dalam pidatonya sudah menyatakan bahwa kalau lain kali sang ketua umum datang ke kota kelahirannya itu, mungkin tak lagi dengan jabatan Mensesneg. "Karena dia akan menerima promosi jabatan," katanya. Promosi ke mana? Menjawab pertanyaan wartawan kemudian, Mochamad Said berkata, "Jabatan di atas menteri tapi di bawah presiden."

Dengan sikap DPP Golkar sekarang sebagai pemegang mayoritas suara di MPR, 598 dari 1.000 suara MPR -- maka jalan Sudharmono ke jenjang jabatan kedua di republik ini, agaknya, sudah terbuka.

Memang sampai Senin pekan ini, sikap dua fraksi lain - yang tergabung dalam kerja sama yang disebut "trifraksi", yakni F-ABRI dan F-UD, masih belum terdengar. F-ABRI misalnya belum mengeluarkan sikapnya. Menurut Mayjen. Saiful Sulun, dari Fraksi ABRI, mereka belum membicarakannya. "ABRI tak seperti parpol. Apa kata komandan kita manut saja. Kita yakin pilihan komandan itu baik," katanya.

Tapi agaknya ini hanya soal waktu, melihat di masa yang sudah-sudah, "trifraksi" itu selalu seirama. Jadi, siapa kira-kira yang akan jadi wakil presiden? Para pembaca, silakan tunggu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Memilih Sebuah Nama lewat Kriteria".

Amran Nasution, Yopie Hidayat, Muchsin Lubis, dan Diah Purnomowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus