Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari hatta sampai umar

Kronologis pejabat wapres RI sampai 1987, masing-masing: Moh. Hatta, sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik & Umar Wirahadikusumah. Penampilan mereka berbeda & proses terpilihnya ada yang gampang, ada yang sulit.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU, 18 Agustus 1945. Republik Indonesia baru berumur sehari. Waktu itu bulan Ramadan. Dua puluh satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang di Pejambon, untuk menetapkan undang-undang dasar dan memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Menurut rencana, sidang akan dibuka pukul 09.30. Tapi sampai pukul 11.00 lebih, sidang belum juga dibuka. Sementara itu, Jumlah anggota ditambah enam orang. Setengah jam kemudian, sidang dibuka oleh ketua Ir. Soekarno, didampingi Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Sidang hari itu ditutup pukul 13.50 untuk memberi kesempatan kepada anggota yang tidak berpuasa untuk makan siang. Pada pukul 15.15, sidang dibuka lagi. Tapi karena di luar sudah banyak wartawan menunggu keputusan siapa yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama, Ir. Soekarno selaku ketua sidang minta persetujuan untuk memasuki acara pemilihan presiden dan wakil presiden. Ia lalu minta petugas membagikan kartu pemungutan suara... Tiba-tiba Otto Iskandardinata angkat suara, Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri." Kontan usul itu disambut tepuk tangan meriah. "Tuan-tuan, banyak terima kasih atas kepercayaan Tuantuan dan dengan ini saya dipilih oleh Tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia," kata Soekarno. "Pidato pertama" Presiden itu disambut tepuk tangan. Para anggota PPKI berdiri menyanyikan Indonesia Raya, kemudian menyerukan "Hidup Bung Karno" tiga kali. Otto Iskandardinata angkat bicara lagi. "Pun untuk pemilihan Wakil Kepala Negara Republik Indonesia, saya usulkan cara yang baru ini dijalankan. Dan saya usulkan Bung Hatta menjadi Wakil Kepala Negara Indonesia," serunya. Serentak hadirin bertepuk tangan. Lalu mereka menyanyikan Indonesia Raya. "Hidup Bung Hatta, Hidup Bung Hatta, Hidup Bung Hatta," teriakan itu bergema. Sejak itu Bung Hatta menjadi wakil presiden selama 11 tahun. Pada mulanya Bung Hatta memang bisa bekerja sama dengan Bung Karno, bukan sekadar pendamping Presiden. Bahkan keduanya sempat mendapat julukan "dwitunggal",lambang persatuan dan kesatuan bangsa. Ketika itu semua masalah kenegaraan dibicarakan bersama. "Bung Karno hanya akan meneken surat keputusan jika sudah diparaf Bung Hatta. Bahkan teks pidato resmi Bung Karno selalu dibaca dulu oleh Bung Hatta," tutur Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta sejak 1945. Bung Hatta memang terkenal teliti. Ia juga tegas, meski terkadang mengesankan agak kaku. Tapi pada akhirnya kerukunan dwitunggal itu pun retak. Itu mulai tampak pada 1953 - meski berkali-kali dibantah oleh Bung Karno. Dua tahun kemudian, Hatta mengedarkan pernyataan, bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri. Negarawan kawakan ini berpendapat, dalam sebuah negara dengan kabinet parlementer - yang dibentuk berdasarkan UUD 1950 - kepala negara hanyalah lambang, sementara wakil presiden tidak diperlukan. Pada 20 Juli 1955, ia menyatakan niat meletakkan jabatan itu secara resmi kepada Ketua Parlemen, Mr. Sartono. Empat bulan setelah dikirim, belum ada tanggapan apa pun dari DPR. Lalu Hatta mengirim surat susulan pada 23 November, tahun yang sama, dengan maksud yang sama: akan mengundurkan diri per 1 Desember 1955. Lima hari kemudian, DPR baru bersidang, dihadiri 145 anggota. Tapi ternyata panitia yang ditugasi bertemu dengan Bung Hatta belum siap melaporkan pekerjaannya. Sidang hanya berlangsung dua menit. Esoknya sidang dilanjutkan, dihadiri 200 anggota. Panitia melapor kepada Mr. Sarono bahwa untuk menanggapi maksud Bung Hatta itu terlebih dahulu diperlukan pertemuan dengan Bung Karno. Sidang hari itu berlangsung selama tujuh menit. Esok harinya lagi, 30 November, Bung Karno menerima mereka. Dan malam harinya, DPR bersidang lagi dengan acara tunggal: membahas permintaan pengunduran diri Bung Hatta sebagai wapres. Akhirnya DPR meluluskan permintaan Bung Hatta. *** Sejak itu, selama 17 tahun, kursi wapres kosong, sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX terpilih untuk mengisinya pada 24 Maret 1973. Ketika itu, jauh hari sebelum SU MPR 1973 - bahkan sejak Januari - nama Sri Sultan sudah diisyaratkan sebagai calon wapres. Orang kedua Republik ini dikenal memiliki wibawa dan karisma. Selama menjabat wapres, Sultan terkesan lebih banyak diam, meski tetap menaruh perhatian pada bidang Ekuin - jabatan yang sebelumnya pernah dipegangnya sebagai Menko. Toh ia dianggap bisa bekerja sama dengan Presiden Soeharto. Lima tahun kemudian, menjelang SU MPR, namanya hampir pasti terpilih. Mendadak terjadi kejutan. Sultan tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi. Keputusan itu ia ambil pada 21 Januari 1978. Alasannya tidak jelas. Ada dugaan, selama menjabat wapres Sultan terganggu dengan ketatnya ketentuan protokoler. Misalnya pengawalan ke mana saja ia pergi. Sebab, sebagai wapres, misalnya, tentu saja ia tak lagi boleh menyetir mobil, apalagi sendirlan sampai ke Yogyakarta. Adakah ia tidak sepaham dengan Presiden Soeharto? Sri Sultan membantah keras. Dalam penjelasan tertulis, ia menyatakan, "Andai kata pikiran itu benar, sudah pasti saya tidak akan bersedia untuk membantu dalam kelanjutan pembangunan nasional kita." Rupanya, alasannya ialah kesehatan matanya. Sultan pun berhenti sebagai wapres. Sehari setelah "bebas", tanpa pengawalan lagi oleh Pasukan Pengawalan Kepresidenan, ia meluncur menyetir Ford Cortina L merah menyala, sendirian .... Dugaan bahwa Sultan kurang sepaham dengan pemerintah juga terbantah menjelang Pemilu 1982. Sewaktu dalam kampanye pemilu di duga Golkar di Yogyakarta akan terdesak oleh PPP dan PDI, Sultan diminta turun tangan. Ngarsa Dalem pun turun sendiri berkampanye. Golkar pun unggul. Hanya, dalam kampanye Pemilu 1987, meski sudah dijadwalkan, Sultan tak bisa ikut berkampanye karena alasan kesehatan. *** Untuk mencari pengganti Sri Sultan, agaknya tidak terlalu sulit. Bukankah pada awal munculnya Orde Baru, selain Sri Sultan, ada tokoh lain yang sangat dekat dengan Pak Harto? Tokoh itu tiada lain adalah Adam Malik, yang ketika itu menjabat Ketua DPR/MPR. Ketika itu, mereka - Soeharto, Sri Sultan, dan Adam Malik - terkenal sebagai triumvirat. Sri Sultan membantu Soeharto dalam bidang ekuin, sementara Adam Malik bidang politik. Tapi menurut Adam Malik sendiri ketika itu, namanya tidak pernah tercantum dalam daftar calon wapres, sampai 20 Maret 1978 setelah Sri Sultan mundur. "Pada hari terakhir baru saya dipanggil Pak Harto. Saya minta tempo dua hari, untuk meyakinkan diri apakah Sri Sultan benar-benar mau mundur. Saya lalu bicara dulu dengan beliau, baru setelah itu saya bersedia," katanya. Adam ternyata pandai menimbulkan citra sebagai pendamping presiden yang dekat dengan rakyat. Ia memang juru bicara yang lincah, bersemangat. "Si Kancil" ini adalah politikus ber pengalaman dengan naluri politik yang tajam. Ia mudah bergaul, pandai menyenangkan lawan bicaranya. Lima tahun setelah jadi wapres, 1983, bekas wartawan itu berkata tentang jabatan puncaknya itu, "Saya tidak pernah berbeda pendapat dengan Pak Harto. Secara konstitusional, tugas wapres sebetulnya sangat sederhana: membantu presiden dan mewakilinya jika presiden berhalangan. Jadi, tidak ada tanggung jawab langsung. " Jadi, merupakan "ban serep" dengan kartu mati? "Agar supaya kartu kita tidak mati, ya kita harus menghidupkannya dengan mengikuti semua gerakan presiden," katanya. Bagaimana dengan tugas pengawasan yang jadi porsi wapres? "Saya panggil aparat pengawasan itu dan menugaskan mereka bertindak sesuatu. Dan mereka menjawab hal itu sedang dilaksanakan. Tapi apakah benar pengawasan ke bawah itu benar mereka laksanakan? Karena itu, saya selalu minta adanya kontrol di luar aparat kontrol yang resmi, misalnya pers," ujar Adam Malik ketika itu. Adam Malik ternyata hanya menjabat wapres untuk satu masa jabatan. Beberapa waktu setelah ia kembali jadi orang sipil, kesehatannya berangsur-angsur merosot. Dan pada 5 September 1984, ia meninggal di Bandung karena kanker hati. *** Menjelang SU MPR 1983, nama calon wapres periode 1983-1988 sama sekali belum terdengar. Sampai suatu pagi ketika delegasi F-KP menghadap Pak Harto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar di Cendana. Usai pertemuan itu, ketua F-KP Soekardi mengungkapkan nama sang calon: Umar Wirahadikusumah. Banyak orang kaget, sebab nama Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini sebelumnya memang "tidak masuk hitungan". Umar didukung oleh, Fraksi ABRI, dan Fraksi Utusan Daerah. Melalui serangkaian tukar pikiran, ketika itu rupanya ada "kesamaan pandangan" antara Pak Harto dan trifraksi untuk mengajukan Umar sebagai calon tunggal. Salah satu alasannya, pada waktu situasi kritis meletusnya G-30-S/PKI (1965), Umar, yang ketika itu menjabat Pangdam V/Jaya, merupakan orang paling dekat dan paling dahulu membantu Pak Harto menumpas PKI. Atas dasar itu, tentu Umar pun akan membantu Pak Harto seperti itu dalam menghadapi segala kesulitan bangsa di masa datang. Selain itu, rupanya ada keinginan Golkar untuk meningkatkan fungsi pengawasan. Maka, ketika sejumlah calon diajukan, begitu sampai pada kriteria bahwa calon wapres antara lain harus mampu meningkatkan fungsi pengawasan, tinggal satu nama yang ada, yaitu Umar Wirahadikusumah. Calon wapres ini, kabarnya ketika itu ditawari jabatan tersebut pada 21 Februari 1983, ketika ia dipanggil ke Cendana. Sebagaimana mestinya seorang prajurit yang baik, Umar pun menyatakan ksediaannya dan siap menjalankan tugas. Umar Wirahadikusumah, kini 64 tahun, mengesankan sebagai seorang pendiam. Ia dikenal sebagai Muslim yang taat, juga pejabat yang jujur, bersih, dan sederhana. Istrinya, Nyonya Karlina, kini 58 tahun, selalu tampak sederhana, tapi rapi dan anggun. Dalam Bulan Bahasa, Oktober 1980, ia terpilih sebagai salah seorang dari 10 "Pemakai Bahasa Indonesia Paling Baik". B.H.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus