Sekarang ini, sedang mewabah kisah-kisah masa silam, yang disiarkan lewat sandiwara radio-radio niaga. Salah satu yang paling menonjol adalah "Mahkota Mayangkara" karangan S. Tijab. Kisah sandiwara itu merupakan lanjutan dari serial "Tutur Tinular", yang juga sempat diangkat ke layar putih. Sebagai sesama pengarang, secara pribadi saya bersyukur dan ikut simpati atas karier pengarangnya yang sukses. Dalam arti materi dan nama. Namun, di balik itu, saya perlu memberi catatan, bahwa kisah itu dirangkum dalam serialnya hampir keseluruhannya dengan motivasi tragis-romantis. Di sana-sini masalah berbau sadistis. Padahal, tidak sedikit sandiwara itu didengar dan disimak secara telaten oleh anak-anak. Apakah dengan demikian tidak timbul pengaruh yang negatif, yakni tumbuhnya sifat-sifat sadistis dan pola berpikir cepat terangsang emosional semu? Menampilkan akhlak yang baik dalam sebuah pentas atau repertoar tidak selamanya langsung menciptakan adegan sarcastism: si akhlak baik menghabisi si akhlak jahat atau sebaliknya. Pengarang mestinya dituntut lebih arif dan banyak melakukan studi referensi. Artinya, efek psikologis benar-benar dihayati sedemikian rupa akan menghasilkan naskah yang estetis, kuat, dan kaya bunga-bunga humanism. Sayang sekali bahwa seorang pengarang identik dengan seorang intelektual yang tidak abai akan hal-hal demikian. Bukan maksud saya menggurui, tapi kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi hakikat dan martabat moral amat tersentuh akan kemungkinan-kemungkinan buruk di belakang hari, setelah kita dipertandai batu nisan. Memang kondisi dewasa ini belum menguntungkan untuk merombak nasib pengarang. Pengarang di tanah air ini mayoritasnya terbelenggu dengan apa yang disebut kemiskinan struktural sebagaimana kelompok besar bangsa ini. Namun, kemiskinan materi tidak berarti tidak mau menjaga kekayaan rohani. Justru menjaga kekayaan rohani itulah sebenarnya tugas mulia seorang pengarang. YUNUS MUKRI ADI Pekajangan 9/24 Pekalongan 51172 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini