Baru-baru ini, saya merasa informasi yang akurat dan bermutu tidak selalu bermanfaat untuk dikonsumsi masyarakat luas. Paling tidak, untuk sementara ini, itulah yang saya alami. Pasalnya, setelah membaca rubrik "Sekadar Pelengkap Tapi Perlu" dan "Nasabah Kakap Takkan Lari" (TEMPO, 18 Mei 1991, Ekonomi & Bisnis) tanpa sadar, saya merasa telah tertipu, luka, malu, tak berdaya, dan entah apa lagi. Akhirnya, memaksa saya bersikap sedikit lancang -- menayangkan pernik-pernik- untuk bertanya kepada Johannes Pieter Pronk, sebelum ia menjual gagasan kepada para anggota IGGI yang bersidang pada pertengahan Juni 1991. Kesimpulan Anda (J.P. Pronk)- setelah melihat corak hidup mereka- bahwa masyarakat pinggiran di indonesia hidup dalam kemiskinan, memang, tidak dapat diingkari. Kami juga tahu, di akhir bulan, anak-anak pegawai rendahan yang berpenghasilan tetap pun ada yang tidak bisa berangkat ke sekolah karena tidak punya ongkos. Bahkan anak-anak petani di Wonosobo terpaksa tidak bisa bersekolah karena orangtua mereka tidak punya apa-apa. Memakai ukuran sistem perlapisan sosial di negeri Anda, mereka mungkin termasuk anggota strate terbawah, yang hanya bisa bermimpi menggapai hidup. Karena itulah, mereka (bangsa kami) harus cepat tegak, bangun, dan membangun agar tidak tertinggal jauh dari saudara sebangsa dan bangsa lain. Caranya, ya begitu, perlu dana bantuan yang besar untuk membangun pembangkit tenaga listrik, jembatan, pelabuhan, sarana pendidikan, dan lain-lain. Masalahnya, saya semula terpana ketika mengetahui rekening milik keluarga diktator Rumania, Nicolae Ceaucescu, sejumlah US$ 400 juta di bank Swiss dibekukan atas permintaan pemerintah Rumania. Itu jumlah kekayaan yang keterlaluan- menurut rasa keadilan saya- di tengah kesengsaraan dan kemiskinan rakyat Rumania. Tapi keterangan pimpinan Union Bank of Switzerland yang mengatakan bahwa justru "nasabah terbesar dan terbanyak"" di sana adalah orang-orang Indonesia. Itu membuat saya merasa malu. Karena sebagian dari bangsa saya sendiri yang telah beruntung tidak sesantun dan sepemurah bangsa Anda yang telah berusaha meringankan beban bangsa kami. Anda tentu bisa membayangkan, kalau rekening keluarga Ceaucescu saja mencapai US$ 400 juta (itu baru yang ketahuan), tentu jauh lebih besar lagi rekening anonim orang-orang super-kaya Indonesia yang mendekam di luar negeri. Dari sumber itu, paling tidak, sepuluh proyek macam waduk Kedungombo tentu bisa dibangun seandainya dana itu ditanam di sini. Sehingga, Anda dan negara-negara donor lainnya pun tidak perlu berpayah-payah datang ke sini memelototi kualitas penggunaan dana bantuan Anda. Cuma, yang membuat saya tidak bisa habis pikir ketika pada garis besarnya Bank Dunia memuji manajemen makro Indonesia, Anda pun berpikir bahwa semua orang akan setuju pemerintah kami "sangat bijaksana" mengelola masalah finansial secara menyeluruh. Di saat negeri kami membutuhkan dana pembangunan- kekayaan saudara-saudara kami bertebaran di luar negeri- bagaimana Anda bisa setuju bahwa kami "sangat bijaksana" mengelola masalah finansial secara menyeluruh? Padahal, semakin banyak dana menumpuk di luar negeri, akan semakin rapuh pula kekuatan ekonomi negara yang bersangkutan. Akibatnya, akan menjadi semacam "abses" yang berbahaya pula bagi kelangsungan pembangunan negara tersebut (Indonesia), yang kebetulan sedang Anda bantu. Posisi Anda sebagai pejuang kemanusiaan, yang mendambakan kesimbangan (keadilan), membuat saya tidak paham dengan persepsi Anda tentang "sangat bijaksana" itu. Kecuali, "abses" yang berbahaya karena bangkrut akibat perlakuan yang eksploatatif dari kekuatan-kekuatan anonim memang berada di luar kepedulian Anda. ASADI RASYID, SH Jalan Krena Depok II Tengah Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini