LECH Walaa bukan ingin menambah sup. "Saya bersedia bekerja
dengan upah sepiring sup sehari," katanya, "tapi saya harus
merasa bahwa saya punya hak untuk bicara tentang situasi. "
Si tokoh mogok dalam gerakan buruh Polandia tidak pertama-uma
berminat kepada kesejahteraan. Ucapannya menunjukkan prioritas
pokoknya: politik.
Sebab memang bukan sup soalnya. Udara dingin dan orang bisa
terhoyong dengan perut kosong, tapi antara orang lapar yang
punya hak dan orang lapar yang tak punya hak jelas bednya. Pak
pemimpin di pucuk kekuasaan negara mungkin mengatakan, bahwa ia
sibuk mengurusi kemakmuran dan tak punya waktu untuk
kemerdekaan, tapi tidakkah itu cuma alibi?
Kemerdekaan, tentu saja, bukanlah segala-galanya, Tetapi
mengurusi kemakmuran, meningkatkan kekayaan, memeratakan hasil,
mengamankan harmoni sosial--semua itu bukan pekerjaan mudah.
Begitu banyak orang terlibat, dan tak satu orang pun --bahkan
tak satu kelompok pun -- bisa bekerja berhasil sendirian. Lalu
orang pun bicara soal partisipasi.
Tapi "partisipasi" bisa menimbulkan hal-hal yang mencemaskan. Ia
mengundang lebih banyak mulut, bukan saja untuk diberi makan,
tapi untuk bersuara--kadang keras. Ia mencoba memberi kesan
bahwa banyak pihak diajak bekerja sama, tapi dengan demikian ia
memberi peluang rebutan klaim tentang siapa yang paling banyak
berbuat.
Barangkali karena itulah pada saat suatu kekuasaan berseru
tentang "partisipasi", pada saat itu pula ia berjaga-jaga.
Kalian boleh ikut serta bekerja, tapi biarlah kami yang
menentukan. Kalian jangan ribut, segala akan beres. Dan
mekanisme yang disusun untuk "jangan ribut-tapi-ikut, dong" itu
kadang disebut sebagai demokrasi.
Yang biasanya kurang diperhatikan ialah faktor waktu. Bagaimana
partisipasi yang terbatas, dan demokrasi yang begitu terjaga
ketat, bisa bekerja seperti semula dalam proses waktu?
Dalam sejarah Tiongkok misalnya tidak cuma sekali orang mencoba
sosialisme. Betapa luhurnya cita-cita di balik percobaan itu
bisa dilihat dari kata dan perbuatan yang telah diunjukkan. Tapi
sementara itu, betapa rapuhnya bangunan yang dibentuk.
Ambillah eksperimen Wang An-shih dari abad ke-11. Perdana
Menteri ini memaklumkan, bahwa di bawah pemerintahannya, negara
mengatur banyak hal. Perdagangan, industri, dan pertanian,
dikendalikan. Semua itu, kata Wang, "dengan tujuan membantu
beban kaum pekerja dan mencegah mereka terinjak lumat si kaya."
Maka petani pun diselamatkan dari para rentenir dengan diberi
pinjaman berbunga rendah oleh negara. Orang membuka tanah baru
dan dibantu dengan benih dan dana. Pengangguran diatasi dengan
mengerahkan pembangunan irigasi besar-besaran. Harga dan upah
dikontrol di tiap distrik. Bantuan keuangan diberikan kepada si
tua, si tunakarya dan yang sama sekali melarat.
Tapi Warlg An-shih tak bertahan lama. Sementara dia mencoba
menyelamatkan si miskin dan si pekerja, ia sebenarnya tak
mengajak mereka. Ia pun tak bisa mendapatkan akar di bawah itu.
Bahkan juga ia tak mendapatkan bantuan dari aparat
pemerintahannya sendiri: mereka, karena berada dalam posisi
mengatur banyak hal di bidang perekonomian, jadi amat berkuasa
dan begitu korup. Dan kita tahu birokrasi yang begini sulit
dikontrol, serta sulit pula untuk setia.
Pada akhirnya, Wang yang berjasa banyak itu pun sendirian.
Ketika bencana alam terjadi, banjir datang begitu pula paceklik,
ia dengan mudah disalahkan. Ia jatuh. Eksperimen sosialismenya
tak berbekas, dan Cina harus mengalami pergolakan yang pedih
sebelum akhirnya mencoba sosialisme baru, di bawah Mao.
Seandainya Wang punya akar. Seandainya ia punya banyak orang
yang bisa, seperti Lech Walesa kini, "bicara tentang situasi."
Seandainya itu semua ada, Wang akan lebih dikenang dan Cina tak
usah mengalami kesalahan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini