Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Penguasa yang menentukan

Di bawah pemerintahan, negara mengurusi kemakmuran, meningkatkan kekayaan dan memeratakan hasil. penguasa menyerukan partisipasi, tapi mereka yang menentukan. mekanisme yang kadang disebut sebagai demokrasi.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LECH Walaa bukan ingin menambah sup. "Saya bersedia bekerja dengan upah sepiring sup sehari," katanya, "tapi saya harus merasa bahwa saya punya hak untuk bicara tentang situasi. " Si tokoh mogok dalam gerakan buruh Polandia tidak pertama-uma berminat kepada kesejahteraan. Ucapannya menunjukkan prioritas pokoknya: politik. Sebab memang bukan sup soalnya. Udara dingin dan orang bisa terhoyong dengan perut kosong, tapi antara orang lapar yang punya hak dan orang lapar yang tak punya hak jelas bednya. Pak pemimpin di pucuk kekuasaan negara mungkin mengatakan, bahwa ia sibuk mengurusi kemakmuran dan tak punya waktu untuk kemerdekaan, tapi tidakkah itu cuma alibi? Kemerdekaan, tentu saja, bukanlah segala-galanya, Tetapi mengurusi kemakmuran, meningkatkan kekayaan, memeratakan hasil, mengamankan harmoni sosial--semua itu bukan pekerjaan mudah. Begitu banyak orang terlibat, dan tak satu orang pun --bahkan tak satu kelompok pun -- bisa bekerja berhasil sendirian. Lalu orang pun bicara soal partisipasi. Tapi "partisipasi" bisa menimbulkan hal-hal yang mencemaskan. Ia mengundang lebih banyak mulut, bukan saja untuk diberi makan, tapi untuk bersuara--kadang keras. Ia mencoba memberi kesan bahwa banyak pihak diajak bekerja sama, tapi dengan demikian ia memberi peluang rebutan klaim tentang siapa yang paling banyak berbuat. Barangkali karena itulah pada saat suatu kekuasaan berseru tentang "partisipasi", pada saat itu pula ia berjaga-jaga. Kalian boleh ikut serta bekerja, tapi biarlah kami yang menentukan. Kalian jangan ribut, segala akan beres. Dan mekanisme yang disusun untuk "jangan ribut-tapi-ikut, dong" itu kadang disebut sebagai demokrasi. Yang biasanya kurang diperhatikan ialah faktor waktu. Bagaimana partisipasi yang terbatas, dan demokrasi yang begitu terjaga ketat, bisa bekerja seperti semula dalam proses waktu? Dalam sejarah Tiongkok misalnya tidak cuma sekali orang mencoba sosialisme. Betapa luhurnya cita-cita di balik percobaan itu bisa dilihat dari kata dan perbuatan yang telah diunjukkan. Tapi sementara itu, betapa rapuhnya bangunan yang dibentuk. Ambillah eksperimen Wang An-shih dari abad ke-11. Perdana Menteri ini memaklumkan, bahwa di bawah pemerintahannya, negara mengatur banyak hal. Perdagangan, industri, dan pertanian, dikendalikan. Semua itu, kata Wang, "dengan tujuan membantu beban kaum pekerja dan mencegah mereka terinjak lumat si kaya." Maka petani pun diselamatkan dari para rentenir dengan diberi pinjaman berbunga rendah oleh negara. Orang membuka tanah baru dan dibantu dengan benih dan dana. Pengangguran diatasi dengan mengerahkan pembangunan irigasi besar-besaran. Harga dan upah dikontrol di tiap distrik. Bantuan keuangan diberikan kepada si tua, si tunakarya dan yang sama sekali melarat. Tapi Warlg An-shih tak bertahan lama. Sementara dia mencoba menyelamatkan si miskin dan si pekerja, ia sebenarnya tak mengajak mereka. Ia pun tak bisa mendapatkan akar di bawah itu. Bahkan juga ia tak mendapatkan bantuan dari aparat pemerintahannya sendiri: mereka, karena berada dalam posisi mengatur banyak hal di bidang perekonomian, jadi amat berkuasa dan begitu korup. Dan kita tahu birokrasi yang begini sulit dikontrol, serta sulit pula untuk setia. Pada akhirnya, Wang yang berjasa banyak itu pun sendirian. Ketika bencana alam terjadi, banjir datang begitu pula paceklik, ia dengan mudah disalahkan. Ia jatuh. Eksperimen sosialismenya tak berbekas, dan Cina harus mengalami pergolakan yang pedih sebelum akhirnya mencoba sosialisme baru, di bawah Mao. Seandainya Wang punya akar. Seandainya ia punya banyak orang yang bisa, seperti Lech Walesa kini, "bicara tentang situasi." Seandainya itu semua ada, Wang akan lebih dikenang dan Cina tak usah mengalami kesalahan baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus