BAIK di Barat maupun di Timur, terdapat perbedaan persepsi, penafsiran, dan sikap terhadap sakit. Yakni antara dokter dan orang awam. Dokter, karena pendidikannya, cenderung mendasarkan persepsinya terhadap masalah sakit atau sehat pada sikap rasionalitas ilmiah. Sikap itu menekankan pada obyektivitas yang dapat diukur, menekankan pada makna data fisik dan kimiawi yang diperoleh melalui pemeriksaan, memisahkan antara tubuh dan jiwa, dan melihat penyakit sebagai suatu "kesatuan". Pengertian ilmiah di situ berarti bahwa pendapat itu dapat diuji ulang dan diverifikasi melalui penelaahan empirik yang obyektif. Memisahkan antara tubuh dan jiwa tidak berarti melupakan kaitan antara keduanya, tetapi cenderung untuk menganalisanya secara terpisah. Dan melihat penyakit sebagai suatu "kesatuan", itu artinya dokter akan melihat segala kemungkinan yang dapat berkaitan dengan gejalagejala yang ditampilkan si pasien. Semua fakta yang dijumpai tentu mempunyai penyebab dan menjadi tugas dokter untuk menemukan penyebab yang paling logis dari semua gejala itu. Persepsi dokter tentang penyakit dengan demikian sangat dipengaruhi oleh pendidikannya. Sebaliknya, persepsi orang awam terhadap sakit dipengaruhi budaya dan "perilaku sakit". Sakit buat seorang awam merupakan pengalaman subyektif yang tidak nyaman, tetapi ada kalanya disenangi. Karena, dengan sakitnya itu ia dibebaskan dari beberapa tugas sosial dan bahkan mendapat perhatian dari sekitarnya. Sebaliknya, ada pula kelompok budaya yang memandang seorang yang tidak tahan sakit sebagai orang yang lemah, seperti suku-suku Indian dalam cerita Karl May. Dalam kelompok yang demikian, orang akan berusaha untuk tidak melenguh meskipun sakit. Karena itu, setiap kelompok budaya dan bahkan tiap individu, akan melihat sakit secara berbeda-beda. Tiap individu atau masyarakat juga memiliki konsep yang beragam tentang penyebab penyakit. Dari yang disebabkan oleh perubahan dalam tubuh penderita itu sendiri, ke penyebab yang berasal dari orang lain, sampai yang berasal dari alam sekitar, dan penyebab yang supranatural. Maka, dapat dipahami jika orang sakit akan mencari pertolongan kepada orang yang dianggapnya dapat menyembuhkan penyakitnya, sesuai dengan persepsi orang itu tentang sakit. Cecil Helman dalam bukunya yang berjudul Culture, Health, and Illness, menyatakan bahwa ada tiga cara orang sakit mencari penyembuhan. Yang pertama melalui the popular sector, yaitu dari mengobati diri sendiri sampai menuruti nasihat keluarga atau tetangga. Yang kedua melalui the folk sector, melalui dukun-dukun. Dan yang ketiga melalui the professional sector, atau melalui dokter yang prakteknya mendapat pengawasan pemerintah. Sering pula orang sakit mencari penyembuhan dari ketiga sektor tadi sekaligus. Perlukah antara ketiganya dipertentangkan? Tidak perlu, karena mencari kesembuhan sepenuhnya menjadi hak dari setiap orang yang sakit. Hanya saja, agar cara menyembuhkan sendiri dapat lebih terarah, perlu adanya penerangan agar si sakit tahu kapan cara itu efektif dan kapan harus mencari pertolongan orang lain, terutama dokter. Akan halnya the folk sector atau dukun, memang sulit bagi para dokter untuk menerimanya. Bukan karena mereka takut bersaing, tetapi karena teori tentang penyakit dan cara penyembuhannya tidak dapat ditelaah secara ilmiah. Dalam arti tidak didasarkan atas kriteria yang jelas, serta dapat diuji ulang. Katakanlah dalam masalah AIDS. Istilah AIDS, kriteria untuk dapat disebut sebagai AIDS, serta kriteria sembuh, semuanya dikembangkan oleh ilmu kedokteran. Maka, jika ada dukun yang mengklaim dapat menyembuhkan AIDS, seharusnya ia dapat membuktikannya berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan ilmu kedokteran. Dari diagnosa sampai ke kriteria kesembuhan. Demikian pula tentang kanker, atau kencing manis, dan sebagainya. Jika ada dukun yang mengklaim mampu menyembuhkan penyakit-penyakit itu, dan bersedia membuktikannya secara berulang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan ilmu kedokteran, tentu tidak akan ada seorang dokter pun yang dapat menentangnya. Karena kehidupan sehari-hari dukun biasanya larut dalam kehidupan budaya masyarakat setempat, biasanya ia mempunyai persepsi tentang penyakit yang sama dengan penduduk sekitarnya. Atau paling tidak, mampu menjelaskan proses terjadinya penyakit sesuai dengan persepsi masyarakat setempat. Lain halnya dengan dokter yang persepsinya tentang penyakit, meskipun didasari pengetahuan ilmiah, dapat jauh berbeda dengan persepsi masyarakat awam. Maka, pada masyarakat tradisional, para dukun akan lebih mudah menarik kepercayaan orang daripada dokter. Satu hal yang positif dari cara dukun dalam masyarakat tradisional mengobati orang sakit ialah kemampuannya melihat penderita secara holistik. Yakni tidak melihat pasien sebagai kumpulan organ-organ tubuh, sebagaimana dilakukan oleh para dokter. Bahkan, mereka melibatkan seluruh keluarga dan kerabat penderita dalam upacara penyembuhan. Upacara besale pada suku Anak Dalam (Kubu) bahkan melibatkan hampir seluruh kampung. Proses penyembuhan itu dilakukan melalui upacara yang menegangkan, tetapi sekaligus menarik, dengan menempatkan para penderita di tengah-tengah lingkaran keluarga dan kerabat. Secara psikologis ini memberi dukungan moril bagi penderita. Demikian pula cara manang di kalangan suku Dayak Iban dalam upacara mengembalikan "ruh" orang yang sakit. Cara itu melibatkan seluruh keluarga si sakit. Dalam masyarakat yang lebih modern di perkotaan, anehnya, banyak dukun yang justru bersikap "teknis" dalam menyembuhkan penyakit, dan meniru pola dokter. Hanya saja tanpa didasari pendekatan yang ilmiah. Karena tanpa perlu pendidikan khusus atau izin praktek, sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang palsu. Seperti juga dokter, banyaknya pasien saja belum dapat dijadikan indikator kepintaran mereka. Adalah nasib baik para dukun, karena lembaga konsumen tidak akan mempersoalkan jika mereka merugikan penderita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini