Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perundungan sampai sekarang masih menjadi momok di banyak lembaga pendidikan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, pada periode 2016-2020 setidaknya 480 anak telah menjadi korban kekerasan di institusi pendidikan.
Di lembaga pendidikan yang bersifat tertutup seperti pesantren, potensi terjadinya perundungan lebih tinggi.
KEKERASAN di lembaga pendidikan tak dapat dibenarkan dengan dalih apa pun. Apalagi jika sekolah sampai memberi toleransi dan menutup-nutupi aksi penganiayaan, seperti yang terjadi di Pondok Modern Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Agustus lalu, Albar Mahdi, santri Gontor asal Palembang, tewas setelah mengikuti kegiatan perkemahan. Ia dianiaya dua seniornya karena menghilangkan perlengkapan tenda. Manajemen Gontor menutupi kasus ini dengan membuat keterangan palsu bahwa Albar meninggal karena sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muslihat menyembunyikan penyebab kematian Albar terbongkar setelah Soimah, ibu korban, memaksa membuka peti jenazah anaknya. Ia menemukan luka lebam dan darah di sekujur tubuh Albar. Pengurus pondok belakangan mengakui adanya penyiksaan dan mengatakan telah mengeluarkan dua terduga pelaku.
Perundungan sampai sekarang masih menjadi momok di banyak lembaga pendidikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, pada periode 2016-2020 setidaknya 480 anak telah menjadi korban kekerasan di institusi pendidikan. Kajian yang sama mencatat sebanyak 437 anak dilaporkan sebagai pelaku perisakan.
Di lembaga pendidikan yang bersifat tertutup seperti pesantren, potensi terjadinya perundungan lebih tinggi. Dalam institusi tertutup—menurut sosiolog Erving Goffman—anggota kelompok diputus relasinya dengan komunitas yang lebih luas dan menjalani kehidupan di bawah birokrasi yang ketat. Tak ada kontrol sosial. Masyarakat, termasuk orang tua murid, kesulitan mengawasi aktivitas di dalamnya.
Tanpa pengawasan dan kontrol yang memadai, siklus kekerasan akan terus berulang. Di beberapa lembaga, perundungan bahkan dianggap sebagai "ritual" yang wajar untuk menggembleng mental peserta didik. Di sisi lain, relasi kuasa yang sedemikian kuat membuat korban takut bersuara.
Pemerintah harus menghentikan kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan anak-anak berhak memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan di institusi pendidikan, baik dari guru maupun sesama peserta didik. Apalagi Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 1990 yang berisi komitmen untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental.
Yang perlu dilakukan, pertama-tama adalah mengevaluasi model belajar dan aktivitas di lembaga-lembaga pendidikan. Harus ada sistem pengawasan dan kontrol yang kuat sehingga menutup peluang terjadinya kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi terhadap siswa dalam proses belajar.
Sekolah-sekolah berasrama, seperti pesantren, mesti dibuat terbuka. Terbuka, artinya pemerintah dan publik dapat mengawasi aktivitas guru serta para muridnya dan boleh terlibat untuk mengoreksi jika terjadi penyimpangan. Jangan sampai ada lagi kegiatan atau "ritual" kekerasan atas nama pembinaan mental yang luput dari pengawasan, termasuk orang tua siswa.
Bagaimanapun, setiap siswa berhak untuk belajar dengan tenang dan aman. Perundungan dan penganiayaan terhadap peserta didik seperti di Pondok Modern Darussalam Gontor 1 jangan sampai terjadi lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo