APA yang diperoleh bila seseorang suatu hari kehilangan
kekuasaannya?
Mungkin kesepian. Tapi barangkali juga kearifan.
"Kosongnya hidup seorang pensiunan sering terasa merawankan
hati," begitulah tulis Nikita Khruschev dalam memoarnya yang
diselundupkan dari Uni Soviet. "Kadang saya tak tahu apa yang
akan saya lakukan dengan diri saya. Saya tak tahu apa yang akan
saya lakukan dengan waktu saya....."
Lalu, seperti dikemukakannya dalam buku kedua Krushchev
Remembers, ia ditolong oleh sebuah kamera. Kamera itu pemberian
Walikota Goteborg, ketika Khruschev, sebagai pejabat tertinggi
negeri besar di Timur itu, mengunjungi Swedia. Di masa setelah
Nikita jatuh dari tahtanya yang perkasa, benda itulah yang
ditimangnya. "Kamera itu membantu saya mengisi kehampaan hidup
saya," tulisnya, terus-terang.
Agaknya bagi Krushchev, kamera itu juga tanda tentang
persahabatan dan kebaikan hati orang lain: dua hal yang tak
terasa bila seseorang berada di mahameru kekuasaan. Di puncak
itu "persahabatan" ibarat tali yang getas, sering palsu. Teman
selalu bisa adi musuh, atau penghambat, yang bila perlu terpaksa
disingkirkan. Di sekitar selau berkerumun para penjilat.
Dan "kebaikan hati"? Dari orang lain, itu terasa cuma sederet
taktik. Apalagi di sebuah negeri yang tak mengizinkan orang
bicara bebas. Di situ para pemimpin dihukum untuk dirundung
selalu curiga, karena tak banyak lagi orang berani
berterus-terang.
Mungkin itulah sebabnya setelah ia tak berkuasa lagi, Khruschev
- dengan sebuah kamera dari Walikota Goteborg - bisa melihat
dunia yang lebih memikat. Sekitar lebih terang. Ada penyesalan
dalam dirinya bahwa, misalnya, sewaktu berkuasa ia telah
menindak Boris Pasternak. Penulis novel Doktor Zhivago ini, yang
menulis begitu indah, dilarang menerbitkan bukunya di dalam
neeri - lalu dimaki-maki oleh hampir seluruh corong komunis di
dunia.
"Bila berurusan dengan pikiran kreatif," tulis Khruschev di masa
pensiunnya, "tindakan administratif selalu paling merusak dan
tak progresif." Ia tahu bahwa penyesalannya dalam hal Doklor
Zhivago mungkin telat, tapi, katanya pula, "lebih baik telat
daripada tidak pernah sama sekali."
Itu adalah kearifan - yang datang setelah kekuasaan hilang.
Seperti diakuinya itu terlambat, tapi kearifan selalu sesuatu
yang berharga untuk disambungkan ke orang lain. Terutama orang
lain yang, terhenyak di kursi kekuasaan, belum menemukannya.
Sebab kekuasaan, selain memberi kemampuan, ternyata juga memberi
ketidakmampuan: "Kalau orang sedang menjabat, bekerja atau
berkuasa, sukar melihat dirinya sendiri. Sukar."
Kata-kata itu tidak datang dari seorang ahli kebatinan,
melainkan dari seorang yang pernah memegang kekuasaan amat besar
di Indonesia: bekas Pangkopkamtib Jenderal Sumitro. Dalam
wawancara dengan TEMPO di tahun 1979 itu ia mengakui pula:
"Bahkan di sana sini saya kurang dapat mengerti perasaan dan
pendapat orang lain."
Mungkinkah karena itu dulu, di abad ke-11, Raja Airlangga dengan
rela turun tahta, lalu masuk hutan menjadi resi? Barangkali.
Dalam pertapaan itu ia pasti lebih gampang melebur habis segala
ilusi keduniawian. Antara lain ilusi bahwa seseorang - betapa
pun besar kekuasaannya, dan betapa pun baik iktikadnya - setiap
saat mampu menaklukkan nafsunya sendiri.
Di pertapaan itu munkin juga ia dapat merenungkn rangkaian
dosanya. Sebab dalam diri seorang penguasa yang berhasil
membikin besar tahta di Kahuripan, intrik, siasat, kepalsuan
dan mungkin juga pembunuhan, bukanlah hal-hal yang dapat
dielakkan.
Apalagi kita tahu riwayatnya yang besar itu, sebagaimana
diibaratkan dalam syair Arjunawiwaha 900 tahun yang silam.
Airlanga menantu Raja Dharmawangsa yang dikaahkan. Dalam usia
16 tahun ia terpaksa bersembunyi di hutan-hutan. Setelah 20
tahun lamanya menguasai satu wilayah kecil di Jawa Timur, ia
baru berangkat menyatukan kembali kerajaan mertuanya yang
terpecah-pecah. Selama tujuh tahun, dengan kekerasan, ia
kemudian menguasai musuh-musuhnya.
Ia memang raja yang berhasil. Ia menjadikan ibukota Kahuripan
didengar di seluruh penjuru, setelah sekian lama kerajaannya tak
dipandang orang. Ia dengan adil mengurusi agama-agama yang
berbeda. Ia membangun tanggul, membebaskan pajak di beberapa
daerah dan menumbuhkan kesusastraan.
Namun prestasi itu bukan tanpa korban dan bukannya tanpa godaan.
Dan Airlangga adalah sedikit dari manusia yang tahu betapa
terbatas dirinya untuk memelihara hati nurani dan menahan
godaan. Ia meninggal sebagai resi, dan dimakamkan di Tirtha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini