Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Penyesalan

Nikita khruschev menyesal pada saat ia menjabat, melarang boris pasternak menerbitkan novel doktor zhivago. kearifan yang datang terlambat. kalau orang sedang berkuasa, sukar melihat dirinya sendiri.

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang diperoleh bila seseorang suatu hari kehilangan kekuasaannya? Mungkin kesepian. Tapi barangkali juga kearifan. "Kosongnya hidup seorang pensiunan sering terasa merawankan hati," begitulah tulis Nikita Khruschev dalam memoarnya yang diselundupkan dari Uni Soviet. "Kadang saya tak tahu apa yang akan saya lakukan dengan diri saya. Saya tak tahu apa yang akan saya lakukan dengan waktu saya....." Lalu, seperti dikemukakannya dalam buku kedua Krushchev Remembers, ia ditolong oleh sebuah kamera. Kamera itu pemberian Walikota Goteborg, ketika Khruschev, sebagai pejabat tertinggi negeri besar di Timur itu, mengunjungi Swedia. Di masa setelah Nikita jatuh dari tahtanya yang perkasa, benda itulah yang ditimangnya. "Kamera itu membantu saya mengisi kehampaan hidup saya," tulisnya, terus-terang. Agaknya bagi Krushchev, kamera itu juga tanda tentang persahabatan dan kebaikan hati orang lain: dua hal yang tak terasa bila seseorang berada di mahameru kekuasaan. Di puncak itu "persahabatan" ibarat tali yang getas, sering palsu. Teman selalu bisa adi musuh, atau penghambat, yang bila perlu terpaksa disingkirkan. Di sekitar selau berkerumun para penjilat. Dan "kebaikan hati"? Dari orang lain, itu terasa cuma sederet taktik. Apalagi di sebuah negeri yang tak mengizinkan orang bicara bebas. Di situ para pemimpin dihukum untuk dirundung selalu curiga, karena tak banyak lagi orang berani berterus-terang. Mungkin itulah sebabnya setelah ia tak berkuasa lagi, Khruschev - dengan sebuah kamera dari Walikota Goteborg - bisa melihat dunia yang lebih memikat. Sekitar lebih terang. Ada penyesalan dalam dirinya bahwa, misalnya, sewaktu berkuasa ia telah menindak Boris Pasternak. Penulis novel Doktor Zhivago ini, yang menulis begitu indah, dilarang menerbitkan bukunya di dalam neeri - lalu dimaki-maki oleh hampir seluruh corong komunis di dunia. "Bila berurusan dengan pikiran kreatif," tulis Khruschev di masa pensiunnya, "tindakan administratif selalu paling merusak dan tak progresif." Ia tahu bahwa penyesalannya dalam hal Doklor Zhivago mungkin telat, tapi, katanya pula, "lebih baik telat daripada tidak pernah sama sekali." Itu adalah kearifan - yang datang setelah kekuasaan hilang. Seperti diakuinya itu terlambat, tapi kearifan selalu sesuatu yang berharga untuk disambungkan ke orang lain. Terutama orang lain yang, terhenyak di kursi kekuasaan, belum menemukannya. Sebab kekuasaan, selain memberi kemampuan, ternyata juga memberi ketidakmampuan: "Kalau orang sedang menjabat, bekerja atau berkuasa, sukar melihat dirinya sendiri. Sukar." Kata-kata itu tidak datang dari seorang ahli kebatinan, melainkan dari seorang yang pernah memegang kekuasaan amat besar di Indonesia: bekas Pangkopkamtib Jenderal Sumitro. Dalam wawancara dengan TEMPO di tahun 1979 itu ia mengakui pula: "Bahkan di sana sini saya kurang dapat mengerti perasaan dan pendapat orang lain." Mungkinkah karena itu dulu, di abad ke-11, Raja Airlangga dengan rela turun tahta, lalu masuk hutan menjadi resi? Barangkali. Dalam pertapaan itu ia pasti lebih gampang melebur habis segala ilusi keduniawian. Antara lain ilusi bahwa seseorang - betapa pun besar kekuasaannya, dan betapa pun baik iktikadnya - setiap saat mampu menaklukkan nafsunya sendiri. Di pertapaan itu munkin juga ia dapat merenungkn rangkaian dosanya. Sebab dalam diri seorang penguasa yang berhasil membikin besar tahta di Kahuripan, intrik, siasat, kepalsuan dan mungkin juga pembunuhan, bukanlah hal-hal yang dapat dielakkan. Apalagi kita tahu riwayatnya yang besar itu, sebagaimana diibaratkan dalam syair Arjunawiwaha 900 tahun yang silam. Airlanga menantu Raja Dharmawangsa yang dikaahkan. Dalam usia 16 tahun ia terpaksa bersembunyi di hutan-hutan. Setelah 20 tahun lamanya menguasai satu wilayah kecil di Jawa Timur, ia baru berangkat menyatukan kembali kerajaan mertuanya yang terpecah-pecah. Selama tujuh tahun, dengan kekerasan, ia kemudian menguasai musuh-musuhnya. Ia memang raja yang berhasil. Ia menjadikan ibukota Kahuripan didengar di seluruh penjuru, setelah sekian lama kerajaannya tak dipandang orang. Ia dengan adil mengurusi agama-agama yang berbeda. Ia membangun tanggul, membebaskan pajak di beberapa daerah dan menumbuhkan kesusastraan. Namun prestasi itu bukan tanpa korban dan bukannya tanpa godaan. Dan Airlangga adalah sedikit dari manusia yang tahu betapa terbatas dirinya untuk memelihara hati nurani dan menahan godaan. Ia meninggal sebagai resi, dan dimakamkan di Tirtha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus