Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Widjojo Masih Ada

Profil dan kariernya sejak dalam kabinet pembangunan I hingga jabatannya sebagai menteri ekuin. (nas)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA tidak tegak di antara para menteri yang dilantik. Ia hanya berdiri di antara para tamu. Untuk pertama kalinya, sejak disusunnya Kabinet Pembanfunan lebih 10 tahun yang lalu, Widjojo Nitisastro tak ikut dalam susunan kabinet baru yang pelantikannya berlangsung di Istana Merdea pekan lalu. Ada yang serasa hilang di situ, agaknya. Tak heran: jika ada "arsitek utama" perekonomian Indonesia sejak Orde Baru, Widjojo-lah orangnya. Sejak 1966, awal pemerintahan Presiden Soeharto, guru besar Fakultas Ekonomi UI yang waktu itu berumur 39 tahun, telah jadi ketua Team Penasihat Ekonomi pada Presiden. Sejak 1968, sampai pekan lalu, ia ketua Bappenas. Majalah AS terkemuka, News Week, pernah menyebutnya sebagai orang yang "tak diragukan lagi punya dampak Individual terbesar . dalam perekonomian Indonesia." Presiden Soeharto, menurut pelbagai sumber, memang sangat mempercayai pembantunya ini. Bahkan ketika sejumlah nama calon wakil presiden disebut di Jakarta nama Widjojo tampil sebagai calon terkuat. Widjojo sendiri membantah, dengan mengatakan bahwa ia "merasa dan menyadari tak memiliki kemampuan" untuk tuas itu. Mereka yang mengenalnya dari dekat tahu bahwa Widjojo bersungguhsungguh ketika mengatakan itu. Tapi )ustru itulah letak kekuatan Widjojo: ia tak dikenal ambisius dengan jabatan. Sebagai Menteri Koordinator Ekuin, ia tetap tak punya ajudan. Meskipun di sidan kabinet ia selalu didudukkan di sebelah Kepala Negara, orang tak pernah merasa ia mencoba menonjolkan kehadirannya di pertemuan mana pun. Bicaranya pelan, meski tidak dingin. Di bawah rambutnya yang kian putih dan kian tipis, sepasang matanya memandang dengan hangat dan antusias, seakan baru menyaksikan keramaian dunia. Tapi iabukannya tanpa pengecam. Sebuah majalah kaum "Kiri Baru" Amerika di tahun 1970 menyebutnya sebagai tokoh gerombolan "Mafia Berkeley". Dengan kata lain: teknokrat ini antek Amerika karena ia dididik di kampus Berkeley, AS. Kecaman itu diambil oper a.l. oleh harian Merdeka, setahun kemudian. Dalam citra itu, Widjojo digambakan telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kuranglebih telah menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat. Di depan publik Widjojo tak pernah bicara tentang soal ini. Tapi mereka yang dekat dengannya, dan para pengagumnya di kalangan intelektuil, cepat membela bahwa tuduhan semacam itu tak benar. Barangkali memang tidak: Widjojo juga yang kemudian gigih mengarahkan sikap Indonesia dalam menghadapi negeri industri di Barat, dalam dialog "Utara-Selatan" antara negara kaya dan negara miskin. Tuduhan seakan-akan ia "menjual negara" dengan strategi ekonominya itu memang yang konon paling tak adil dirasakan Widjojo. Ia dibesarkan dalam keluarga pergerakan. Bapaknya seorang pensiunan penilik sekolah dasar yang kemudian aktif di Parindra dan menggerakkan rukun tani dan jadi obyek mata-mata dinas kepolisian Belanda. Beberapa saudaranya, seraya menolak bekerja untuk pemerintah kolonial jadi guru Taman Siswa. Widjojo sendiri - dalam usia seorang anak kelas I SMT (kini SMA) - bergabung dalam pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP ketika perang pecah di Surabaya di tahun 1945. Seorang teman dekatnya waktu itu, Pansa Tampubolon (pendeta Advent yang kini jadi pemimpin perusahaan Pos Kota Group), bercerita bagaimana Widjojo bertempur dengan granat - juga bayonet - dan hampir gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari di Surabaya. "Widjojo tak pernah melawan perintah," kata Pansa Tampubolon kepada wartawan TEMPO Johannes Batubara awal pekan ini, "walaupun saya - yang pelajar SMP menjadi komandannya." Cerita masa lalu yang tak banyak diketahui itu agaknya menunjukkan satu hal yang kemudian nampak terus dalam diri Widjojo dalam pemerintahan: loyalitas dalam tim merupakan hal yang penting baginya. Dan ia taat kepada "komandan", Pak Harto. Toh di bulan Januari 1966, dalam suatu diskusi besar di kampus UI, ketika oran masih berhati-hati mengecam pemerintah Orde Lama, Widjojo mengutip kalimat ekonom Paul Baran, bahwa seorang intelektuil pada asasnya adalah "seorang pengkritik masyarakat", "juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu dari sejarah." Ia berharap agar civitas academica tak hanya jadi "penjual otak", tapi juga "penggugah hati kecil". Beberapa tahun setelah itu, di dalam pemerintahan Orde Baru, Widjojo tak lagi bersuara sekeras demikian. Kekuasaan dan jabatan memang mau tak mau menyebabkan semangat dan kata-kata lebih terkendali. Toh dalam suatu wawancara dengan TEMPO ia pernah mengatakan keyakinannya: pembangunan ekonomi tak dengan sendinnya harus bertentangan dengan demokrasi, juga pembangunan ekonomi tak dengan sendirinya harus bertentangan dengan keadilan. "Hanya saja, demokrasi dan keadilan tidaklah berlangsung dalam suatu vakum," tambahnya. Kita tak berada dalam sebuah utopia. Tak ada satu kunci yang begitu saja bisa membukakan pintu ke masyarakat yang adil dan makmur. Hidup tidak hitam putih seperti dalam teori. Ada hal-hal yang terpaksa harus diterima. Ada dilema yang justru lebih berat daripada sekadar soal perekonomian. Di hadapan semua itulah Widjojo terpaksa tak bisa tinggal cuma sebagai perencana. 10 tahun yang lalu, ketika ia berkeliling sendiri membongkar sebab kemacetan pupuk, buletin Business News mengkritiknya. Para perencana kini, tulis buletin itu, telah jadi trouble-shooters alias pendobrak kemacetan. Tapi Widjojo bisa mengatakan, dengan benar, bahwa ia mendapat tugas untuk itu. Indonesia memang suatu soal besar yang sering harus dihadapi oleh tenaga yang terbatas, dalam jumlah dan dalam kemampuan. Juga Widjojo Nitisastro, kini 56 tahun, bukan superman. Tapi tak banyak ahli ekonomi yang disegani koleganya seperti dia. Orang yang menggantinya, Ali Wardhana, mengatakan bahwa Widjojo akan tetap ia minta berkantor di Bappenas, sebagai penasihat di bidang Ekuin. Dengan kata lain, ia masih di antara kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus