Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Pemungut Bola Sampai Anak...

Profil Hartato Sastrosoenarto, yang diangkat sebagai menteri perindustrian dalam kabinet pembangunan IV. (nas)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETJEN (Pur) Achmad Tahir. Menteri Pariqisata, Pos Telekomunikasi. Hari Minggu pagi 13 Maret, Tahir sedang mandi ketika Desan lewat telepon disampaikan istrinya: Presiden Soeharto malam itu memintanya datang di Jalan Cendana 8. Siangnya, seusai mengantar istrinya berbelanja di Pasar Cikini, Tahir berpikir "Jangan-jangan ada teman yang iseng bermain-main. Bisa sakit perut saya kalau pesan telepon itu tidak benar." Setelah dicek, ternyata benar. Maka sekitar pukul 19.00 Tahir menghadap Presiden. Di sana ia bertemu dengan Sekjen Departemen PU Suyono Sosrodarsono, Dirjen Kimia Dasar Hartarto dan Deputi Ketua Bappenas bidang Ekonomi Saleh Afiff. "Kami menghadap satu per satu. Rata-rata tiap oran 15 menit," katanya. Presiden Soeharto menjelaskan keputusannya menunjuk Tahir sebagai Menteri Pariwisata, Pos 8 Telekomunikasi. "Waktu itu saya, wah, ndak bisa menolak. Kepada Presiden saya bilang menerima dan mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya," ujar Tahir. Lahir di Kisaran, Sumatera Utara, 27 Juni 1924, Tahir selalu berbicara dan bersikap bersahaja. "Saya lahir di bangsal, anak seorang masinis kereta api yang gajinya 87 gulden," cerita anak ketiga dari 10 bersaudara, putra H. Achmad yang berasal dari Salatiga ini. Orangtua Tahir penganut Islam yang taat hingga di samping bersekolah, anak-anaknya diwajibkan mengaji di sore hari. Tahir biasa bekerja sejak kecil. Pernah ia menjadi pemungut bola di lapangan tenis ("bergaji 3,5 gulden sebulan dipotong pajak 14 sen," dan pernah juga menjadi penjaja permen di Bioskop Oranje, Medan, "dapat komisi dan nonton gratis"). Pada usia 19 tahun ia memasuki pendidikan militer di zaman pendudukan Jepang. Perkenalan pertama Tahir dengan Rooslila, istrinya, terjadi pada 1946 tatkala Rooslila yang waktu itu aktivis Melati (Mempertinggi Latihan Timur) - sebuah organisasi semacam palang merah - ingin mengadakan sandiwara. "Mereka perlu pakaian perwira dan saya pin)amkan saya punya," tutur Tahir. Dan komandan peleton TKR itu pun terpaksa harus memakai singlet dan celana kapstok selama sandiwara berlangsung, "karena pakaian seragam saya cuma satu," kata Tahir terkekeh-kekeh. Rencananya sebagai Menteri Pariwisata? "Saya optimistis pariwisata akan menjadi salah satu sumber pemasukan buat negara di masa depan. Yang penting, seperti kata Presiden, kita harus punya rasa percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu. Saya tidak suka kata-kata indah. Saya akan mulai dengan action," katanya. Hartarto Sastrosoenarto, Menteri Perindustrian. "Saya menangis begitu acara pengumuman susunan personalia kabinet selesai," kata Hartarto Rabu malam 16 Maret di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta. "Saya bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada Pak Harto. Saya berjanji akan bekerja keras," ucapnya pelan sambil menahan rasa haru. Malam itu dia tak banyak bicara. Berpakaian santai, kaus abu-abu dan celana kelabu serta sandal, ayah lima anak itu belum siap untuk bicara banyak. "Emosi saya belum stabil," katanya. Hartarto dan Ny. Hartini, istrinya, malam itu sibuk menerima telepon serta pelukan selamat dari tetangga dan teman-teman sekantor. Lahir di Delanggu, sekitar 20 km sebelah barat Sala 50 tahun lalu, Hartarto memulai karirnya di Departemen Perindustrian sebagai koordinator teknik di proyek perluasan pabrik kertas Leces pada 1960, setahun setelah tamat dari Universitas New South Wales, Australia, jurusan Teknik Kimia. Hartarto yang tinggi besar (tinggi 178 cm dan berat 85 kg, atau 5 cm lebih rendah dari A.R. Soehoed yang digantikannya) adalah penggemar tenis dan jogging (sekitar 5 km dilaluinya tiap pagi). Tampaknya ia harus mengubah rute lari pagmya: ari seputar Blok M ke seputar Jalan Gatot Subroto, setelah dia dan keluarganya pindah ke kompleks perumahan menteri. Menteri Perindustrian yang baru ini mengaku belum sepenuhnya menguasai semua permasalahan di departemennya. "Saya butuh waktu tiga bulan untuk konsolidasi dan belajar. Setelah itu baru bisa take off," katanya. Soepardjo Roestam, Menteri Dalam Negeri Sepuluh menit menjelang pengumuman susunan kabinet baru, Soepar io keluar dari kamarnya. Dia berpesan kepada ajudannya akan menonton televisi berdua saja dengan istrinya di kamar tidur. "Saya mohon pada acara siaran nanti jangan diganggu," ucapnya. Begitu Presiden menyebut nama Soepardjo Roestam sebagai Mendagri, ajudan, staf pribadi serta para pembantu yang berkumpul menonton televisi di ruang kerja gubernur hampir serentak mengucapkan "Alhamdulillah". Beberapa menit setelah pengumuman usai, Soepardjo keluar dari kamarnya. Pada wartawan TEMPO yang mencegatnya, ia berucap, "Saya benar-benar terharu. Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah memberi taufik dan rahmatnya." Malam itu "Puri Gedeh", rumah Soepardjo yang terletak di kawasan elite Candi Baru Semarang, penuh kembang serta para pejabat Pemda Ja-Teng yang soan. Di wajah Ny. Kardinah Soepardjo yang malam itu memakai baju merah dengan selop putih, tampak bekas tangis bercampur rasa haru dan bahagia. Soepardjo Roestam, kelahiran Sokaraja, Banyumas, 12 Agustus 1926, menjabat ubernur Jawa Tengah sejak 1974. Ayah dua anak yang pernah menjadi ajudan Jenderal Soedirman ini pernah juga meniabat dubes di Malaysia. Ia dikenal sebagai orang yang sangat terbuka, termasuk kepada wartawan. "Bapak tidak sean duduk bersama kami menanyakan keadaan keluarga kami di Wonogiri," ujar Ny. Kamti yang sudah seperempat abad mengikuti keluarga Soepardjo. Harmoko, Menteri Penerangan. Rumah kediaman Asmopawiro di Desa Patihanrowb, Nganjuk, Jawa Timur malam itu sepi. Tak ada tetangga yang ikut nimbrung menonton televisi hitam putih 14 inci yang terletak di ruang tamu, di samping toko kelontongnya. Begitu Presiden menyebut Harmoko sebagai Menteri Penerangan, Ny. Asmopawiro, 65 tahun, memekik "Harmoko ikut menjadi menteri, Pak." Asmopawiro, 80 tahun, tampak lebih tenang. "Ya, ia menjadi Menteri Penerangan," kata ayah kandung Harmoko. Di Jakarta, Rabu malam itu, Harmoko, istri dan ketiga anaknya duduk bersimpuh di karpet ruang tengah rumahnya, di Rawamangun. Harmoko sendiri tetap tenang ketika Presiden Soeharto menyebut namanya sebagai Menpen. Sang istri yang terusik emosinya. Matanya basah ketika menerima ciuman dari saudara-saudaranya. Usai Pak Harto mengumumkan susunan kabinet, Harmoko, 44 tahun, belum segera menyambut jabatan tanan para tamu di rumahnya.- Ia memperbaiki letak duduknya lalu meminta hadirin memanjatkan doa. "Kita doa syukur dulu menurut agama dan kepercayaan kita," ia meminta. Baru setelah itu ia menerima uluran tangan para tamu. Juga kecupan dari anak dan istrinya. Menurut Ny. Asmopawiro, sewaktu masih kecil Harmoko penurut. "Kalau bekerja ia disiplin, sebelum selesai ia tidak akan berhenti," kata Asmopawiro. Pak Asmo petani dan pedagang yang di desanya dikenal sebagai pimpinan rombongan wayang orang, ketoprak dan ludruk - menganggap Harmoko mewarisi bakatnya sebagai pemain wayang orang. "Sewaktu masih sekolah ia sering mengumpulkan teman sebayanya untuk main wayang," ceritanya. Setelah menamatkan SMA di Kediri, menurut Pak Asmo, Harmoko menolak melanjutkan sekolahnya. Asmopawiro kemudian membiarkan putranya memilih sekolah dalang wayang kulit di Himpunan Budaya Surakarta. Tatkala pulang setahun kemudian, Harmoko sudah mampu mendalang. "Lakon Kumbokarno Gugur sering dimainkannya," ujar Pak Asmo. Diam-diam Harmoko ternyata sering mengirim karangan ke majalah berbahasa Jawa Panyebar Semangat di Surabaya. Belakangan Ariadi, kakak tertua Harmoko yang waktu itu menjadi guru di Sala, pulang ke Patihanrowo. Tatkala tahu Harmoko gemar menulis, dikirimnya adiknya ke Jakarta menemui temannya yang bekerja di harian Merdeka, yang tak lain adalah B.M. Diah. Itu terjadi pada 1960. Ia kemudian mendirikan koran Po5 Kota yang berhasil meledak, dan sejak 1973 menjabat ketua pelaksana PWI Pusat. Salah satu gagasan dan istilah yang dicetuskannya adalah "perlu adanya interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat." Ny. Nani Sudarsono, Menteri Sosial. Satu-satunya wanita yang memimpin departemen dalam Kabinet Pembangunan IV ini menganggap kedudukannya sebagai suatu kebahagiaan tersendiri. "Bukan karena saya, tapi karena seorang wanita berhasil memegang sebuah departemen. Dilihat secara nasional, jumlah wanita banyak. Walau secara hukum wanita tidak dibedakan, dalam kenyataannya jumlah wanita yang memegang kunci dalam pemerintahan belum seimbang dengan jumlah pria," katanya. Lahir pada 1928 di Purwodadi, Ny. Nani yang tamat dari Fakulas Hukum UGM ini dikenal sebagai wanita yang sibuk. Berbagai jabatan dipegangnya, antara lain wakil ketua DPP Golkar, anggota Komisi III DPR dan sekjen Kowani Pusat. "Namun kalau waktu makan bersama dan waktu tidur saya harus ada di rumah," ujar ibu dari tiga anak itu. Ia belum bisa menjelaskan rencana kerjanya di Departemen Sosial secara terperinci karena belum mengenal departemen itu sepenuhnya. "Saya akan meneruskan lebih dulu apa yang sudah dirintis menteri sosial sebelumnya," katanya. Karena pekerjaannya menyangkut masalah manusia, departemennya "akan melakukan pendekatan secara manusiawi," katanya. Munawir Sjadzali, Menteri Agama. Rumahnya di Cipete, Jakarta Selatan, terkesan sederhana. Bercat putih, dan tak ada lafaz-lafaz Arab yang menunjukkan religi. Ada beberapa lukisan batik kontemporer menghiasi dinding rumah. Rabu malam itu sambil berdiri ia mendengarkan pengumuman Presiden menenai susunan kabinet, sementara semua keuarganya menyimak acara itu sambil duduk. "Saya harus berhati-hati dalam melangkah. Sebab jabatan saya yang sekarang ini, dari segi misi maupun sasaran, sangat berbeda dengan apa yang saya lakukan selama ini," uJarnya seusai mendengar pengumuman Presiden. Sarjana Ilmu Politik lulusan Georgetown University, AS, pada 1958 dengan skripsi berjudul Pandangan Politik Kontemporer Umat Islam Indonesia, mengharap bisa mengemban Jabatan barunya dengan baik. "Latar belakang saya latar belakang agama," kisahnya. Putra Kiai Mughatlr dari Karanganom, Klaten, yang lahir pada 1925 ini dididik keras dalam bidang agama sejak kecil. "Ayah saya seorang Muhammadiah," katanya. Munawir tin gal d pesantren Jamsaren dan bersekolah c madrasah Mambaul Ulum tamat pada 1942. Dalam perang kemerdekaan ia tergabung dalam Hizbullah. Tahun 1950 ia masuk Departemen Luar Neeri. Sejak itu pula ia meninggalkan keaktifannya sebagai anggota GPII. "Jadi saya ini Korpri tulen. Saya hanya ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Dan karena jabatan ini tugas, saya wajib menjalankannya dengan penuh tanggung jawab," katanya. Munawir pernah menjabat dubes di Kuwait, merangkap Uni Emirat Arab dan Qatar, sebelum diangkat menjadi Dirjen Politik Deplu. Hobinya membaca buku-buku filsafat, dalam bahasa Arab dan Inggris yang dikuasainya. Sejak kecil ia menyukai gambus dan gamelan. "Lagu yang paling mengesankan saya adalah lagu Umi Kalsum Wulidal huda," katanya. Pendiriannya: "Saya ini orang yang tak pernah mempermasalahkan perbedaan mazhab. Persoalan kecil harus kita singkirkan untuk menghadapi persoalan yang lebih besar. Pak Alamsyah sudah memulainya dan berhasil," katanya. Soedjarwo, Menteri Kehutanan. Pengangkatannya sebagai menteri tidak mengagetkan Soedjarwo. "Hutan sudah menjadi darah daging saya, sudah profesi saya," ujarnya beberapa menit setelah susunan Kabinet Pembangunan IV selesai diumumkan. Sejak kecil Soedjarwo yang lahir di Wonogiri, Jawa Tengah pada 1922, sudah mengenal hutan. Ayahnya, Raden Ngabehi Reksosaroyo, adalah pegawai kehutanan Keraton Mangkunegaran denan gelar Panewu Wono Marto. Setelah rulus dari Middelbare Bosbouw School pada 1943, Soedjarwo ditempatkan di Malang. Pada perang kemerdekaan ia menjabat komandan Batalyon Wanara (terdiri dari orang kehutanan). Setelah kemerdekaan, ia meneruskan sekolahnya di Akademi Kehutanan Bogor, tamat 1950. Pada 1964, Soedjarwo yang waktu itu menjabat kepala Dinas Kehutanan Yogyakarta dipanggil menghadap Presiden Soekarno ke Jakarta. Ternyata ia diangkat menjadi Menteri Kehutanan, yang dipegangnya sampai 1966. Tahun itu departemennya diturunkan tingkatnya, dan Soejarwomenjabat Dirjen Kehutanan. Akhir Desember 1982 ia dipensiun, dan banyak yang mengira karirnya sudah tamat. Minggu sore 13 Maret, ketika dipanggil Presiden Soeharto, ia tidak kaget karena sering dipanggil beliau. Soedjarwo adalah bendahara Yayasan Supersemar dan Yayasan Mangadeg serta ketua Paguyuban Pangestu. Ternyata ia dipercayai Pak Harto memimpin departemen baru itu. Mengenai tugasnya yang baru, ia menjanjikan akan menyempurnakan apa yang telah dirintisnya selama ini. "Sebanyak 64% negeri kita terdiri dari hutan. Kalau tidak kita urus, semua tanah di negeri kita akan menjadi padang batu," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus