LETJEN (Pur) Achmad Tahir. Menteri Pariqisata, Pos Telekomunikasi.
Hari Minggu pagi 13 Maret, Tahir sedang mandi ketika Desan lewat
telepon disampaikan istrinya: Presiden Soeharto malam itu
memintanya datang di Jalan Cendana 8. Siangnya, seusai mengantar
istrinya berbelanja di Pasar Cikini, Tahir berpikir
"Jangan-jangan ada teman yang iseng bermain-main. Bisa sakit
perut saya kalau pesan telepon itu tidak benar."
Setelah dicek, ternyata benar. Maka sekitar pukul 19.00 Tahir
menghadap Presiden.
Di sana ia bertemu dengan Sekjen Departemen PU Suyono
Sosrodarsono, Dirjen Kimia Dasar Hartarto dan Deputi Ketua
Bappenas bidang Ekonomi Saleh Afiff. "Kami menghadap satu per
satu. Rata-rata tiap oran 15 menit," katanya.
Presiden Soeharto menjelaskan keputusannya menunjuk Tahir
sebagai Menteri Pariwisata, Pos 8 Telekomunikasi. "Waktu itu
saya, wah, ndak bisa menolak. Kepada Presiden saya bilang
menerima dan mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya," ujar
Tahir.
Lahir di Kisaran, Sumatera Utara, 27 Juni 1924, Tahir selalu
berbicara dan bersikap bersahaja. "Saya lahir di bangsal, anak
seorang masinis kereta api yang gajinya 87 gulden," cerita anak
ketiga dari 10 bersaudara, putra H. Achmad yang berasal dari
Salatiga ini. Orangtua Tahir penganut Islam yang taat hingga di
samping bersekolah, anak-anaknya diwajibkan mengaji di sore
hari.
Tahir biasa bekerja sejak kecil. Pernah ia menjadi pemungut bola
di lapangan tenis ("bergaji 3,5 gulden sebulan dipotong pajak 14
sen," dan pernah juga menjadi penjaja permen di Bioskop Oranje,
Medan, "dapat komisi dan nonton gratis"). Pada usia 19 tahun ia
memasuki pendidikan militer di zaman pendudukan Jepang.
Perkenalan pertama Tahir dengan Rooslila, istrinya, terjadi pada
1946 tatkala Rooslila yang waktu itu aktivis Melati
(Mempertinggi Latihan Timur) - sebuah organisasi semacam palang
merah - ingin mengadakan sandiwara. "Mereka perlu pakaian
perwira dan saya pin)amkan saya punya," tutur Tahir. Dan
komandan peleton TKR itu pun terpaksa harus memakai singlet dan
celana kapstok selama sandiwara berlangsung, "karena pakaian
seragam saya cuma satu," kata Tahir terkekeh-kekeh.
Rencananya sebagai Menteri Pariwisata? "Saya optimistis
pariwisata akan menjadi salah satu sumber pemasukan buat negara
di masa depan. Yang penting, seperti kata Presiden, kita harus
punya rasa percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu. Saya
tidak suka kata-kata indah. Saya akan mulai dengan action,"
katanya.
Hartarto Sastrosoenarto, Menteri Perindustrian.
"Saya menangis begitu acara pengumuman susunan personalia
kabinet selesai," kata Hartarto Rabu malam 16 Maret di rumahnya
di Kebayoran Baru, Jakarta. "Saya bersyukur pada Tuhan dan
berterima kasih pada Pak Harto. Saya berjanji akan bekerja
keras," ucapnya pelan sambil menahan rasa haru.
Malam itu dia tak banyak bicara. Berpakaian santai, kaus abu-abu
dan celana kelabu serta sandal, ayah lima anak itu belum siap
untuk bicara banyak. "Emosi saya belum stabil," katanya.
Hartarto dan Ny. Hartini, istrinya, malam itu sibuk menerima
telepon serta pelukan selamat dari tetangga dan teman-teman
sekantor.
Lahir di Delanggu, sekitar 20 km sebelah barat Sala 50 tahun
lalu, Hartarto memulai karirnya di Departemen Perindustrian
sebagai koordinator teknik di proyek perluasan pabrik kertas
Leces pada 1960, setahun setelah tamat dari Universitas New
South Wales, Australia, jurusan Teknik Kimia.
Hartarto yang tinggi besar (tinggi 178 cm dan berat 85 kg, atau
5 cm lebih rendah dari A.R. Soehoed yang digantikannya) adalah
penggemar tenis dan jogging (sekitar 5 km dilaluinya tiap pagi).
Tampaknya ia harus mengubah rute lari pagmya: ari seputar Blok
M ke seputar Jalan Gatot Subroto, setelah dia dan keluarganya
pindah ke kompleks perumahan menteri.
Menteri Perindustrian yang baru ini mengaku belum sepenuhnya
menguasai semua permasalahan di departemennya. "Saya butuh waktu
tiga bulan untuk konsolidasi dan belajar. Setelah itu baru bisa
take off," katanya.
Soepardjo Roestam, Menteri Dalam Negeri
Sepuluh menit menjelang pengumuman susunan kabinet baru, Soepar
io keluar dari kamarnya. Dia berpesan kepada ajudannya akan
menonton televisi berdua saja dengan istrinya di kamar tidur.
"Saya mohon pada acara siaran nanti jangan diganggu," ucapnya.
Begitu Presiden menyebut nama Soepardjo Roestam sebagai
Mendagri, ajudan, staf pribadi serta para pembantu yang
berkumpul menonton televisi di ruang kerja gubernur hampir
serentak mengucapkan "Alhamdulillah". Beberapa menit setelah
pengumuman usai, Soepardjo keluar dari kamarnya. Pada wartawan
TEMPO yang mencegatnya, ia berucap, "Saya benar-benar terharu.
Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah memberi taufik dan
rahmatnya."
Malam itu "Puri Gedeh", rumah Soepardjo yang terletak di kawasan
elite Candi Baru Semarang, penuh kembang serta para pejabat
Pemda Ja-Teng yang soan. Di wajah Ny. Kardinah Soepardjo yang
malam itu memakai baju merah dengan selop putih, tampak bekas
tangis bercampur rasa haru dan bahagia.
Soepardjo Roestam, kelahiran Sokaraja, Banyumas, 12 Agustus
1926, menjabat ubernur Jawa Tengah sejak 1974. Ayah dua anak
yang pernah menjadi ajudan Jenderal Soedirman ini pernah juga
meniabat dubes di Malaysia. Ia dikenal sebagai orang yang sangat
terbuka, termasuk kepada wartawan. "Bapak tidak sean duduk
bersama kami menanyakan keadaan keluarga kami di Wonogiri," ujar
Ny. Kamti yang sudah seperempat abad mengikuti keluarga
Soepardjo.
Harmoko, Menteri Penerangan.
Rumah kediaman Asmopawiro di Desa Patihanrowb, Nganjuk, Jawa
Timur malam itu sepi. Tak ada tetangga yang ikut nimbrung
menonton televisi hitam putih 14 inci yang terletak di ruang
tamu, di samping toko kelontongnya. Begitu Presiden menyebut
Harmoko sebagai Menteri Penerangan, Ny. Asmopawiro, 65 tahun,
memekik "Harmoko ikut menjadi menteri, Pak."
Asmopawiro, 80 tahun, tampak lebih tenang. "Ya, ia menjadi
Menteri Penerangan," kata ayah kandung Harmoko.
Di Jakarta, Rabu malam itu, Harmoko, istri dan ketiga anaknya
duduk bersimpuh di karpet ruang tengah rumahnya, di Rawamangun.
Harmoko sendiri tetap tenang ketika Presiden Soeharto menyebut
namanya sebagai Menpen. Sang istri yang terusik emosinya.
Matanya basah ketika menerima ciuman dari saudara-saudaranya.
Usai Pak Harto mengumumkan susunan kabinet, Harmoko, 44 tahun,
belum segera menyambut jabatan tanan para tamu di rumahnya.- Ia
memperbaiki letak duduknya lalu meminta hadirin memanjatkan doa.
"Kita doa syukur dulu menurut agama dan kepercayaan kita," ia
meminta. Baru setelah itu ia menerima uluran tangan para tamu.
Juga kecupan dari anak dan istrinya.
Menurut Ny. Asmopawiro, sewaktu masih kecil Harmoko penurut.
"Kalau bekerja ia disiplin, sebelum selesai ia tidak akan
berhenti," kata Asmopawiro. Pak Asmo petani dan pedagang yang di
desanya dikenal sebagai pimpinan rombongan wayang orang,
ketoprak dan ludruk - menganggap Harmoko mewarisi bakatnya
sebagai pemain wayang orang. "Sewaktu masih sekolah ia sering
mengumpulkan teman sebayanya untuk main wayang," ceritanya.
Setelah menamatkan SMA di Kediri, menurut Pak Asmo, Harmoko
menolak melanjutkan sekolahnya. Asmopawiro kemudian membiarkan
putranya memilih sekolah dalang wayang kulit di Himpunan Budaya
Surakarta. Tatkala pulang setahun kemudian, Harmoko sudah mampu
mendalang. "Lakon Kumbokarno Gugur sering dimainkannya," ujar
Pak Asmo.
Diam-diam Harmoko ternyata sering mengirim karangan ke majalah
berbahasa Jawa Panyebar Semangat di Surabaya. Belakangan Ariadi,
kakak tertua Harmoko yang waktu itu menjadi guru di Sala, pulang
ke Patihanrowo. Tatkala tahu Harmoko gemar menulis, dikirimnya
adiknya ke Jakarta menemui temannya yang bekerja di harian
Merdeka, yang tak lain adalah B.M. Diah. Itu terjadi pada 1960.
Ia kemudian mendirikan koran Po5 Kota yang berhasil meledak, dan
sejak 1973 menjabat ketua pelaksana PWI Pusat. Salah satu
gagasan dan istilah yang dicetuskannya adalah "perlu adanya
interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat."
Ny. Nani Sudarsono, Menteri Sosial.
Satu-satunya wanita yang memimpin departemen dalam Kabinet
Pembangunan IV ini menganggap kedudukannya sebagai suatu
kebahagiaan tersendiri. "Bukan karena saya, tapi karena seorang
wanita berhasil memegang sebuah departemen. Dilihat secara
nasional, jumlah wanita banyak. Walau secara hukum wanita tidak
dibedakan, dalam kenyataannya jumlah wanita yang memegang kunci
dalam pemerintahan belum seimbang dengan jumlah pria," katanya.
Lahir pada 1928 di Purwodadi, Ny. Nani yang tamat dari Fakulas
Hukum UGM ini dikenal sebagai wanita yang sibuk. Berbagai
jabatan dipegangnya, antara lain wakil ketua DPP Golkar, anggota
Komisi III DPR dan sekjen Kowani Pusat. "Namun kalau waktu makan
bersama dan waktu tidur saya harus ada di rumah," ujar ibu dari
tiga anak itu.
Ia belum bisa menjelaskan rencana kerjanya di Departemen Sosial
secara terperinci karena belum mengenal departemen itu
sepenuhnya. "Saya akan meneruskan lebih dulu apa yang sudah
dirintis menteri sosial sebelumnya," katanya. Karena
pekerjaannya menyangkut masalah manusia, departemennya "akan
melakukan pendekatan secara manusiawi," katanya.
Munawir Sjadzali, Menteri Agama.
Rumahnya di Cipete, Jakarta Selatan, terkesan sederhana. Bercat
putih, dan tak ada lafaz-lafaz Arab yang menunjukkan religi. Ada
beberapa lukisan batik kontemporer menghiasi dinding rumah. Rabu
malam itu sambil berdiri ia mendengarkan pengumuman Presiden
menenai susunan kabinet, sementara semua keuarganya menyimak
acara itu sambil duduk.
"Saya harus berhati-hati dalam melangkah. Sebab jabatan saya
yang sekarang ini, dari segi misi maupun sasaran, sangat berbeda
dengan apa yang saya lakukan selama ini," uJarnya seusai
mendengar pengumuman Presiden. Sarjana Ilmu Politik lulusan
Georgetown University, AS, pada 1958 dengan skripsi berjudul
Pandangan Politik Kontemporer Umat Islam Indonesia, mengharap
bisa mengemban Jabatan barunya dengan baik. "Latar belakang saya
latar belakang agama," kisahnya.
Putra Kiai Mughatlr dari Karanganom, Klaten, yang lahir pada
1925 ini dididik keras dalam bidang agama sejak kecil. "Ayah
saya seorang Muhammadiah," katanya. Munawir tin gal d pesantren
Jamsaren dan bersekolah c madrasah Mambaul Ulum tamat pada 1942.
Dalam perang kemerdekaan ia tergabung dalam Hizbullah.
Tahun 1950 ia masuk Departemen Luar Neeri. Sejak itu pula ia
meninggalkan keaktifannya sebagai anggota GPII. "Jadi saya ini
Korpri tulen. Saya hanya ingin mengabdi pada bangsa dan negara.
Dan karena jabatan ini tugas, saya wajib menjalankannya dengan
penuh tanggung jawab," katanya.
Munawir pernah menjabat dubes di Kuwait, merangkap Uni Emirat
Arab dan Qatar, sebelum diangkat menjadi Dirjen Politik Deplu.
Hobinya membaca buku-buku filsafat, dalam bahasa Arab dan
Inggris yang dikuasainya. Sejak kecil ia menyukai gambus dan
gamelan. "Lagu yang paling mengesankan saya adalah lagu Umi
Kalsum Wulidal huda," katanya.
Pendiriannya: "Saya ini orang yang tak pernah mempermasalahkan
perbedaan mazhab. Persoalan kecil harus kita singkirkan untuk
menghadapi persoalan yang lebih besar. Pak Alamsyah sudah
memulainya dan berhasil," katanya.
Soedjarwo, Menteri Kehutanan.
Pengangkatannya sebagai menteri tidak mengagetkan Soedjarwo.
"Hutan sudah menjadi darah daging saya, sudah profesi saya,"
ujarnya beberapa menit setelah susunan Kabinet Pembangunan IV
selesai diumumkan. Sejak kecil Soedjarwo yang lahir di Wonogiri,
Jawa Tengah pada 1922, sudah mengenal hutan.
Ayahnya, Raden Ngabehi Reksosaroyo, adalah pegawai kehutanan
Keraton Mangkunegaran denan gelar Panewu Wono Marto. Setelah
rulus dari Middelbare Bosbouw School pada 1943, Soedjarwo
ditempatkan di Malang. Pada perang kemerdekaan ia menjabat
komandan Batalyon Wanara (terdiri dari orang kehutanan). Setelah
kemerdekaan, ia meneruskan sekolahnya di Akademi Kehutanan
Bogor, tamat 1950.
Pada 1964, Soedjarwo yang waktu itu menjabat kepala Dinas
Kehutanan Yogyakarta dipanggil menghadap Presiden Soekarno ke
Jakarta. Ternyata ia diangkat menjadi Menteri Kehutanan, yang
dipegangnya sampai 1966. Tahun itu departemennya diturunkan
tingkatnya, dan Soejarwomenjabat Dirjen Kehutanan. Akhir
Desember 1982 ia dipensiun, dan banyak yang mengira karirnya
sudah tamat.
Minggu sore 13 Maret, ketika dipanggil Presiden Soeharto, ia
tidak kaget karena sering dipanggil beliau. Soedjarwo adalah
bendahara Yayasan Supersemar dan Yayasan Mangadeg serta ketua
Paguyuban Pangestu. Ternyata ia dipercayai Pak Harto memimpin
departemen baru itu. Mengenai tugasnya yang baru, ia menjanjikan
akan menyempurnakan apa yang telah dirintisnya selama ini.
"Sebanyak 64% negeri kita terdiri dari hutan. Kalau tidak kita
urus, semua tanah di negeri kita akan menjadi padang batu,"
ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini