DESAS-DESUS kontan mati. Kini jelas siapa yang jadi menteri dan
siapa orang jadi bekas menteri. Para pembantu Presiden buat
periode 1983-1988 Sabtu pekan lalu dilantik di Istana Negara.
tiga hari setelah Presiden Soeharto mengumumkannya ke seluruh
Republik lewat pelbagai media. Di ruangan luas Istana Negara
tempat pelantikan berlansung, para menteri baru dan para bekas
menteri hadir semuanya - kecuali Daoed Josoef (lihat
Pendidikan).
Sepintas lalu, kabinet ini bukanlah kabinet superstar.
Setidaknya beberapa bintang pentas politik yang lama - yang
sering menarik perhatian publik karena reputasi serta
pernyataannya - telah tak ada lagi.
Ali Moertopo, yang oleh sebuah penerbitan Barat pernah disebut
sebagai orang No. 2 di Republik Indonesia, sebagai tokoh yang
namanya selalu disebut di tahun-tahun awal Orde Baru, tak ada
lagi dalam daftar Kabinet Pembangunan IV ini.
Jenderal M. Jusuf, yang sejak 1966 dikenal dalam hubungannya
dengan "Surat Perintah 11 Maret" yang bersejarah itu, dan sejak
1978 jadi tokoh yang menarik perhatian karena tindakan dan
ucapannya, juga tak jadi menteri lagi.
Widjojo Nitisastro, "arsitek" ekonomi Orde Baru sejak 1966, -
dan salah satu menteri paling lama di bawah Presiden Soeharto -
termasuk pula yang tak ditunjuk lagi sebagai pembantu Kepala
Negara (lihat: Widjojo Masih Ada).
Rupanya yang lebih diutamakan adalah kapasitas kerja sama.
Presiden sendiri, lewat radio dan TVRI Rabu malam pekan lalu
menyatakan hal itu. "Dalam menentukan personalia Kabinet
Pembangunan IV ini saya sangat memperhatikan faktor-faktor kerja
sama (team work)," demikian kata Kepala Negara. Di samping itu,
juga faktor "kesinambungan dan penyegaran".
Terjemahan pesan Kepala Negara itu agaknya: nama lama tetap
dipertahankan, sepanjang mereka bisa cocok dalam kerja sama.
Nama baru dimunculkan untuk menggantikan yang lama, yang sudah
tak berada dalam daftar sekali lagi.
Tentu saja ada alasan lain kenapa seorang menteri dari periode
1978-1983 tak ditunjuk lagi buat periode 1983-1988 - alasan yang
kadang memang tak perlu dikemukakan ke khalayak ramai. Betapa
pun, kian nyatalah bahwa para menteri, seperti ditentukan oleh
konstitusi, tak berdiri sendiri-sendiri. Mereka hanya pembantu
preslden.
Khususnya kali ini Presiden nampaknya melakukan seleksi praktis
tanpa melibatkan banyak orang - hingga sampai jam-jam terakhir
menjelang pengumuman, hanya sedikit orang yang bisa menduga
tepat slapa menjadi apa. Walhasil, desas-desus pun dapat pasaran
luas di Jakarta selama beberapa pekan.
Itu tak berarti Presiden sama sekali tak mendengarkan pendapat
orang lain. Atau, tak berarti bahwa penilaian Kepala Negara sama
sekali bertentangan dengan penilaian yang berlangsung diam-diam
di kalangan politik. Nama Soepardjo Rustam, misalnya, sudah
beberapa bulan sebelumnya dibslkbisikkan akan jadi menteri -
kalau tidak Menteri Sekretariat Negara, tentu Menteri Dalam
Negeri. Ternyata benar.
Hal yang sama terjadi pada Drs. Moerdiono, sekretaris kabinet.
Pejabat penting di dekat Presiden yang tak mau menonjol ini
sudah lama dipandang sebagai tokoh yang akan semakin
ditampilkan. Pekerja keras dengan orientasi yang luas ini sudah
lama "ditunggu". Ternyata memang muncul.
Demikian pula Ir. Ginandjar Kartasasmita, salah satu pembantu
Menteri Sekretariat Negara Soedharmono. Dalam usia 42 tahun
insinyur dan perwira AURI ini, yang dikenal mengurusi pembelian
barang- arang pemerintah di atas Rp 500 juta - sesuai dengan
Keppres No. 10 - sudah hampir setahun diduga akan diangkat jadi
Menteri Muda. Dugaan ini pun tepat.
Juga H. Harmoko, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang
kini jadi Menteri Penerangan. Sudah lama Harmoko di antara
rekan-rekannya disebut sebagai salah satu calon menteri -
mungkin Menteri Muda - di bidang yang menyangkut media massa.
Sampai jam-jam terakhir memang ada yang mengatakan bahwa Cosmas
Batubara atau Abdul Gafur yang akan menggantikan Ali Moertopo.
Namun siapa yang memperhatikan pertemuan pers dengan Presiden
akan tahu, bahwa Pak Harto senang akan ketua PWI yang giat ini.
Presiden selalu senyum gembira bila mendengarkan pidato Harmoko
- yang memang bisa menyelipkan humor di antara nada laporan.
Proses pemilihan personalia kabinet yang sedemikian mungkin
memang wajar: pada akhirnya, Kepala Negara sendirilah yang harus
memutuskan pilihannya sebagai mandataris. Tapi toh dibanding
dengan tahuntahun awal Orde Baru nampak ada beda. Di masa itu
dikenal lembaga Staf Pribadi (kemudian Asisten Pribadi)
Presiden, dan peranan mereka ini cukup besar. Setidaknya
sebagaimana yang terkesan di luar.
Keadaan seperti itu mungkin memang khas masa itu.
Lembaga-lembaga kenegaraan belum terbentuk serapi sekarang.
Demikian juga aparatur masih merupakan hasil peralihan antara
Orde Lama dan Orde Baru. Tenaga yang potensial untuk diangkat
dalam barisan pemerintahan masih terserak dalam spektrum yang
luas. Pak Harto sendiri belum lama menduduki jabatan kepala
negara - dengan perhatian yang terutama ditujukan pada hal yang
mendesak: perbaikan ekonomi yang buruk.
Kini banyak hal telah berubah. Asisten Pribadi yang seperti dulu
tak ada lagi dibubarkan sebagai lembaga sejak 1974.
Dengan makin baiknya keadaan ekonomi, Kepala Negara punya lebih
banyak kesempatan memikirkan - secara langsung sendiri - bidang
politik dan pererintahan. Bersama dengan itu, kewibawaan kian
terpusat pada diri Presiden, dan terpancar dari sana.
Pusat-pusat pengaruh di luar pun makin berkurang peranannya.
Prosedur serta hirarki makin pasti dan makin mapan. Walhasil, di
tahun 1983 ini, seorang menteri tidak lagi mengesankan sebagai
hasil pencalonan orang lain, melainkan pilihan Pak Harto
sendiri.
Dapat diharapkan memang, bahwa dengan demikian team work akan
lebih baik terutama bila tak ada menteri yang berlaku sebagai
prima donna, yang gemar menonjol sendinan. Koordinasi, yang
masih lemah selama bertahun-tahun, nampaknya kian dirasakan
perlunya untuk periode mendatang.
Dalam kata-kata Presiden pada pidato pelantikan periode
1983-1988 harus "mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi yang
masih besar." Sementara itu Presiden pun memperingatkan, bahwa
penurunan harga minyak bumi yang baru disepakati OPEC "jelas
akan segera terasa akibat-akibatnya kepada pembangunan kita."
Sebesar mana akibat itu, banyak sekali hitungan yang bisa
dilakukan. Namun umumnya diduga bahwa tiap kali harga minyak
bumi turun US$ 1, Indonesia akan kehilangan US$ 300 juta setahun
dari ekspor minyak. Kini, setelah diketahui turunnya harga
minyak bumi itu sampai rata-rata US$ 5 tiap barrel, guncangan
bisa terjadi sekitar USS 1.500 juta pada neraca Republik (lihat:
Ekonomi Bisnis).
Belum jelas bagaimana anggaran harus diatur dalam keadaan
seperti itu. Yang pasti, zaman harga minyak yang tinggi praktis
berakhir. Dewasa Ini, setelah krisis minyak sejak 10 tahun yang
lalu, dunia makin cenderung menggunakan teknologi yang hemat
minyak bumi. Kecenderungan ini tak akan berubah. Dengan kata
lain, Indonesia harus hidup bukan cuma dengan petrodollar -
sementara ekspor lain tetap kerempeng.
"Tugas kita di tahun-tahun yang akan datang sangat berat," kata
Presiden kepada para menterlnya yang baru. Bagi mereka yang
memperhatikan angka-angka statistlk, tugas itu bahkan kolosal.
Presiden menyebut, sebagai contoh "masalah sosialekonomi yang
masih besar," ialah perluasan kesempatan kerja dan kependudukan.
Dan agaknya memang itulah biangnya.
Wakil Ketua Biro Pusat Stastlk Sutiipto Wirosardjono dalam
wawancara dengan Susanto Pudjomartono dari TEMPO pekan lalu
menunjukkan kolosalnya masalah itu dengan angka-angka. "Dalam
waktu 5 sampai 10 tahun yang akan datang," kata Sutjipto,
"pertumbuhan angkatan kerja akan jauh lebih laju dari
pertambahan jumlah penduduk." Dugaan Sutjipto,
"sekurang-kurangnya 5% setahun."
Sementara itu, jumlah penduduk wanita dalam umur kerja yang
benar-benar bekerja saat ini sekitar 30%. Dalam dasawarsa yang
akan datang pertumbuhannya akan sekitar 40-50%. "Ini sendiri
sebetulnya sudah merupakan ledakan angkatan kerja," kata
Sutjipto pula. Padahal tingkat pengangguran justru letaknya
tinggi pada umur-umur muda. Artinya, tingkat pengangguran mereka
yang berumur di bawah 30 tahun lebih tinggi ketimbang yang
berusia di atas 30 tahun.
Apa yang harus dilakukan? Program-program padat karya yang
selama ini di sana-sini bermanfaat - setidaknya memberikan orang
harga diri kembali sebagai orang yang bukan penganggur. Namun
secara statistik belum nampak efeknya. Hal yang mencemaskan
ialah bahwa kenaikan angka kriminalitas - meskipun belum
diteliti benar - nampaknya bergerak di kalangan umur yang kian
muda.
Masalah sosial-ekonomis sebesar itu mau tak mau akan punya
sabetan politik mungkin keras. Dalam keadaan yang kurang
menguntungkan, sabetan itu bisa merusak banyak hal yang sudah
ditata selama satu dasawarsa terakhir ini. Suatu krisis, dengan
begitu banyak penduduk penganggur terlibat di dalamnya, bisa
benar-benar merepotkan.
Agaknya inilah sebabnya untuk urusan tenaga kerja diletakkan
seorang "kuat" bekas Pangkopkamtib Sudomo. Tugas di sini bahkan
lebih ruwet dari soal keamanan. Atau akan jadi perkara keamanan
juga akhirnya.
Apalagi bila basis pendukung pemerintah tak cukup luas. Agaknya
bukan sekadar retorika jika Presiden Soeharto dalam pidato
pelantikan pekan lalu itu juga berseru: "Saya mohon bantuan dan
dukungan dari semua golongan dan lapisan rakyat Indonesia dalam
menjalankan tugas yang berat ini."
Perluasan basis dukungan, untuk menghadapi masa depan yang
sulit, tentu saja tidak berlangsung dengan mudah. Dukungan hanya
datang bila partisipasi diundang. Tapi pengamat sistem politik
Indonesia umumnya menyetujui pendapat, seperti dikatakan Dr.
William Liddle dari Ohio State University, bahwa dalam sistem
hirarkis yang "terlalu melembaga", ada kesulitan untuk membuka
kesempatan lebih luas bagi partisipasi masyarakat.
Sejauh mana sistem hirarkis yang ada sekaran sudah "terlalu
melembaga" masih belum ditelaah benar. Namun nampaknya ada
kecenderungan dalam perilaku kehidupan politik di Indonesia kini
yang tak merangsang hidupnya organisasi-organisasi di
masyarakat, yang geraknya tak diperintah dari atas.
Tentu saja ada harapan bahwa keadaan akan berubah. Presiden
pekan lalu menggunakan kata-kata "saya mohon bantuan". Ada sikap
merendah di sana, dan yang diharapkan ialah "dukungan yang
kreatif" - bukan dukungan yang hanya "setujuuuu . . ." Dan yang
diimbau bukan cuma Golkar, ABRI dan pegawai negeri, tapi lebih
luas.
Dari partai politik. Dari semua umat dan pemimpin agama. Dari
berjuta-juta kaum tani. Dari kaum buruh. Dari nelayan dan
golongan ekonomi lemah. Dari kalangan ilmu pengetahuan. Dari
kalangan pendidikan dan kebudayaan. Dari dunia usaha. Dari pers.
1983-1988 barangkali saja suatu "periode partisipasi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini