Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Kabinet Masa Sulit Anatomi Sebuah Kabinet

Susunan kabinet pembangunan IV, proses pemilihan calon menteri dan profil sebagian menteri baru. (nas)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESAS-DESUS kontan mati. Kini jelas siapa yang jadi menteri dan siapa orang jadi bekas menteri. Para pembantu Presiden buat periode 1983-1988 Sabtu pekan lalu dilantik di Istana Negara. tiga hari setelah Presiden Soeharto mengumumkannya ke seluruh Republik lewat pelbagai media. Di ruangan luas Istana Negara tempat pelantikan berlansung, para menteri baru dan para bekas menteri hadir semuanya - kecuali Daoed Josoef (lihat Pendidikan). Sepintas lalu, kabinet ini bukanlah kabinet superstar. Setidaknya beberapa bintang pentas politik yang lama - yang sering menarik perhatian publik karena reputasi serta pernyataannya - telah tak ada lagi. Ali Moertopo, yang oleh sebuah penerbitan Barat pernah disebut sebagai orang No. 2 di Republik Indonesia, sebagai tokoh yang namanya selalu disebut di tahun-tahun awal Orde Baru, tak ada lagi dalam daftar Kabinet Pembangunan IV ini. Jenderal M. Jusuf, yang sejak 1966 dikenal dalam hubungannya dengan "Surat Perintah 11 Maret" yang bersejarah itu, dan sejak 1978 jadi tokoh yang menarik perhatian karena tindakan dan ucapannya, juga tak jadi menteri lagi. Widjojo Nitisastro, "arsitek" ekonomi Orde Baru sejak 1966, - dan salah satu menteri paling lama di bawah Presiden Soeharto - termasuk pula yang tak ditunjuk lagi sebagai pembantu Kepala Negara (lihat: Widjojo Masih Ada). Rupanya yang lebih diutamakan adalah kapasitas kerja sama. Presiden sendiri, lewat radio dan TVRI Rabu malam pekan lalu menyatakan hal itu. "Dalam menentukan personalia Kabinet Pembangunan IV ini saya sangat memperhatikan faktor-faktor kerja sama (team work)," demikian kata Kepala Negara. Di samping itu, juga faktor "kesinambungan dan penyegaran". Terjemahan pesan Kepala Negara itu agaknya: nama lama tetap dipertahankan, sepanjang mereka bisa cocok dalam kerja sama. Nama baru dimunculkan untuk menggantikan yang lama, yang sudah tak berada dalam daftar sekali lagi. Tentu saja ada alasan lain kenapa seorang menteri dari periode 1978-1983 tak ditunjuk lagi buat periode 1983-1988 - alasan yang kadang memang tak perlu dikemukakan ke khalayak ramai. Betapa pun, kian nyatalah bahwa para menteri, seperti ditentukan oleh konstitusi, tak berdiri sendiri-sendiri. Mereka hanya pembantu preslden. Khususnya kali ini Presiden nampaknya melakukan seleksi praktis tanpa melibatkan banyak orang - hingga sampai jam-jam terakhir menjelang pengumuman, hanya sedikit orang yang bisa menduga tepat slapa menjadi apa. Walhasil, desas-desus pun dapat pasaran luas di Jakarta selama beberapa pekan. Itu tak berarti Presiden sama sekali tak mendengarkan pendapat orang lain. Atau, tak berarti bahwa penilaian Kepala Negara sama sekali bertentangan dengan penilaian yang berlangsung diam-diam di kalangan politik. Nama Soepardjo Rustam, misalnya, sudah beberapa bulan sebelumnya dibslkbisikkan akan jadi menteri - kalau tidak Menteri Sekretariat Negara, tentu Menteri Dalam Negeri. Ternyata benar. Hal yang sama terjadi pada Drs. Moerdiono, sekretaris kabinet. Pejabat penting di dekat Presiden yang tak mau menonjol ini sudah lama dipandang sebagai tokoh yang akan semakin ditampilkan. Pekerja keras dengan orientasi yang luas ini sudah lama "ditunggu". Ternyata memang muncul. Demikian pula Ir. Ginandjar Kartasasmita, salah satu pembantu Menteri Sekretariat Negara Soedharmono. Dalam usia 42 tahun insinyur dan perwira AURI ini, yang dikenal mengurusi pembelian barang- arang pemerintah di atas Rp 500 juta - sesuai dengan Keppres No. 10 - sudah hampir setahun diduga akan diangkat jadi Menteri Muda. Dugaan ini pun tepat. Juga H. Harmoko, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kini jadi Menteri Penerangan. Sudah lama Harmoko di antara rekan-rekannya disebut sebagai salah satu calon menteri - mungkin Menteri Muda - di bidang yang menyangkut media massa. Sampai jam-jam terakhir memang ada yang mengatakan bahwa Cosmas Batubara atau Abdul Gafur yang akan menggantikan Ali Moertopo. Namun siapa yang memperhatikan pertemuan pers dengan Presiden akan tahu, bahwa Pak Harto senang akan ketua PWI yang giat ini. Presiden selalu senyum gembira bila mendengarkan pidato Harmoko - yang memang bisa menyelipkan humor di antara nada laporan. Proses pemilihan personalia kabinet yang sedemikian mungkin memang wajar: pada akhirnya, Kepala Negara sendirilah yang harus memutuskan pilihannya sebagai mandataris. Tapi toh dibanding dengan tahuntahun awal Orde Baru nampak ada beda. Di masa itu dikenal lembaga Staf Pribadi (kemudian Asisten Pribadi) Presiden, dan peranan mereka ini cukup besar. Setidaknya sebagaimana yang terkesan di luar. Keadaan seperti itu mungkin memang khas masa itu. Lembaga-lembaga kenegaraan belum terbentuk serapi sekarang. Demikian juga aparatur masih merupakan hasil peralihan antara Orde Lama dan Orde Baru. Tenaga yang potensial untuk diangkat dalam barisan pemerintahan masih terserak dalam spektrum yang luas. Pak Harto sendiri belum lama menduduki jabatan kepala negara - dengan perhatian yang terutama ditujukan pada hal yang mendesak: perbaikan ekonomi yang buruk. Kini banyak hal telah berubah. Asisten Pribadi yang seperti dulu tak ada lagi dibubarkan sebagai lembaga sejak 1974. Dengan makin baiknya keadaan ekonomi, Kepala Negara punya lebih banyak kesempatan memikirkan - secara langsung sendiri - bidang politik dan pererintahan. Bersama dengan itu, kewibawaan kian terpusat pada diri Presiden, dan terpancar dari sana. Pusat-pusat pengaruh di luar pun makin berkurang peranannya. Prosedur serta hirarki makin pasti dan makin mapan. Walhasil, di tahun 1983 ini, seorang menteri tidak lagi mengesankan sebagai hasil pencalonan orang lain, melainkan pilihan Pak Harto sendiri. Dapat diharapkan memang, bahwa dengan demikian team work akan lebih baik terutama bila tak ada menteri yang berlaku sebagai prima donna, yang gemar menonjol sendinan. Koordinasi, yang masih lemah selama bertahun-tahun, nampaknya kian dirasakan perlunya untuk periode mendatang. Dalam kata-kata Presiden pada pidato pelantikan periode 1983-1988 harus "mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi yang masih besar." Sementara itu Presiden pun memperingatkan, bahwa penurunan harga minyak bumi yang baru disepakati OPEC "jelas akan segera terasa akibat-akibatnya kepada pembangunan kita." Sebesar mana akibat itu, banyak sekali hitungan yang bisa dilakukan. Namun umumnya diduga bahwa tiap kali harga minyak bumi turun US$ 1, Indonesia akan kehilangan US$ 300 juta setahun dari ekspor minyak. Kini, setelah diketahui turunnya harga minyak bumi itu sampai rata-rata US$ 5 tiap barrel, guncangan bisa terjadi sekitar USS 1.500 juta pada neraca Republik (lihat: Ekonomi Bisnis). Belum jelas bagaimana anggaran harus diatur dalam keadaan seperti itu. Yang pasti, zaman harga minyak yang tinggi praktis berakhir. Dewasa Ini, setelah krisis minyak sejak 10 tahun yang lalu, dunia makin cenderung menggunakan teknologi yang hemat minyak bumi. Kecenderungan ini tak akan berubah. Dengan kata lain, Indonesia harus hidup bukan cuma dengan petrodollar - sementara ekspor lain tetap kerempeng. "Tugas kita di tahun-tahun yang akan datang sangat berat," kata Presiden kepada para menterlnya yang baru. Bagi mereka yang memperhatikan angka-angka statistlk, tugas itu bahkan kolosal. Presiden menyebut, sebagai contoh "masalah sosialekonomi yang masih besar," ialah perluasan kesempatan kerja dan kependudukan. Dan agaknya memang itulah biangnya. Wakil Ketua Biro Pusat Stastlk Sutiipto Wirosardjono dalam wawancara dengan Susanto Pudjomartono dari TEMPO pekan lalu menunjukkan kolosalnya masalah itu dengan angka-angka. "Dalam waktu 5 sampai 10 tahun yang akan datang," kata Sutjipto, "pertumbuhan angkatan kerja akan jauh lebih laju dari pertambahan jumlah penduduk." Dugaan Sutjipto, "sekurang-kurangnya 5% setahun." Sementara itu, jumlah penduduk wanita dalam umur kerja yang benar-benar bekerja saat ini sekitar 30%. Dalam dasawarsa yang akan datang pertumbuhannya akan sekitar 40-50%. "Ini sendiri sebetulnya sudah merupakan ledakan angkatan kerja," kata Sutjipto pula. Padahal tingkat pengangguran justru letaknya tinggi pada umur-umur muda. Artinya, tingkat pengangguran mereka yang berumur di bawah 30 tahun lebih tinggi ketimbang yang berusia di atas 30 tahun. Apa yang harus dilakukan? Program-program padat karya yang selama ini di sana-sini bermanfaat - setidaknya memberikan orang harga diri kembali sebagai orang yang bukan penganggur. Namun secara statistik belum nampak efeknya. Hal yang mencemaskan ialah bahwa kenaikan angka kriminalitas - meskipun belum diteliti benar - nampaknya bergerak di kalangan umur yang kian muda. Masalah sosial-ekonomis sebesar itu mau tak mau akan punya sabetan politik mungkin keras. Dalam keadaan yang kurang menguntungkan, sabetan itu bisa merusak banyak hal yang sudah ditata selama satu dasawarsa terakhir ini. Suatu krisis, dengan begitu banyak penduduk penganggur terlibat di dalamnya, bisa benar-benar merepotkan. Agaknya inilah sebabnya untuk urusan tenaga kerja diletakkan seorang "kuat" bekas Pangkopkamtib Sudomo. Tugas di sini bahkan lebih ruwet dari soal keamanan. Atau akan jadi perkara keamanan juga akhirnya. Apalagi bila basis pendukung pemerintah tak cukup luas. Agaknya bukan sekadar retorika jika Presiden Soeharto dalam pidato pelantikan pekan lalu itu juga berseru: "Saya mohon bantuan dan dukungan dari semua golongan dan lapisan rakyat Indonesia dalam menjalankan tugas yang berat ini." Perluasan basis dukungan, untuk menghadapi masa depan yang sulit, tentu saja tidak berlangsung dengan mudah. Dukungan hanya datang bila partisipasi diundang. Tapi pengamat sistem politik Indonesia umumnya menyetujui pendapat, seperti dikatakan Dr. William Liddle dari Ohio State University, bahwa dalam sistem hirarkis yang "terlalu melembaga", ada kesulitan untuk membuka kesempatan lebih luas bagi partisipasi masyarakat. Sejauh mana sistem hirarkis yang ada sekaran sudah "terlalu melembaga" masih belum ditelaah benar. Namun nampaknya ada kecenderungan dalam perilaku kehidupan politik di Indonesia kini yang tak merangsang hidupnya organisasi-organisasi di masyarakat, yang geraknya tak diperintah dari atas. Tentu saja ada harapan bahwa keadaan akan berubah. Presiden pekan lalu menggunakan kata-kata "saya mohon bantuan". Ada sikap merendah di sana, dan yang diharapkan ialah "dukungan yang kreatif" - bukan dukungan yang hanya "setujuuuu . . ." Dan yang diimbau bukan cuma Golkar, ABRI dan pegawai negeri, tapi lebih luas. Dari partai politik. Dari semua umat dan pemimpin agama. Dari berjuta-juta kaum tani. Dari kaum buruh. Dari nelayan dan golongan ekonomi lemah. Dari kalangan ilmu pengetahuan. Dari kalangan pendidikan dan kebudayaan. Dari dunia usaha. Dari pers. 1983-1988 barangkali saja suatu "periode partisipasi".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus